Ketegangan di Jalur Gaza kembali memuncak. Saat perundingan gencatan senjata dan pertukaran tawanan terus berlangsung di Doha, sayap militer Hamas, Brigade Izzuddin al-Qassam, merilis video yang mengguncang publik Israel dan dinilai sebagai pukulan terhadap “martabat nasional Israel”.
Video tersebut memperlihatkan upaya pejuang Hamas dalam menyergap dan mencoba menangkap seorang tentara Israel di wilayah timur Khan Younis, Gaza selatan.
Namun, tentara itu akhirnya tewas dan senjatanya diambil, sementara tubuhnya ditinggalkan.
Tayangan tersebut menunjukkan sang tentara tidak bertempur gagah berani seperti yang selama ini diklaim media Israel, melainkan melarikan diri dari medan pertempuran.
Media-media Israel menyebut rekaman itu sebagai mengerikan dan tidak cocok bagi yang berhati lemah.
Selain membantah narasi resmi pemerintah, tayangan itu juga dinilai mencederai mitos ketangguhan tentara Israel yang selama ini dibangun dengan cermat.
“Ini adalah hantaman serius terhadap kepercayaan antara masyarakat Israel dan militernya,” ujar pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa, dalam program Masar al-Ahdats.
Ia menilai publik Israel kini mulai meragukan citra tentara mereka yang sebelumnya dianggap nyaris tak terkalahkan.
Bagi mantan penasihat keamanan nasional AS, Michael Feifel, video itu juga menjadi bukti bahwa pertempuran di Gaza masih sangat sengit, meski diplomasi untuk menghentikan perang tengah berlangsung.
Negosiasi melalui pesan api
Militer Israel sendiri menghadapi tekanan besar. Sejak Kepala Staf baru, Herzi Halevi, digantikan oleh Eyal Zamir, perlawanan Hamas justru meningkat tajam.
Serangan balasan dari pihak perlawanan tidak hanya lebih banyak, tetapi juga lebih mematikan.
Menurut analis militer Elias Hanna, militer Israel gagal memperhitungkan tekad tempur Hamas yang terus tumbuh dan bertransformasi dengan menghadirkan kader-kader baru yang berpengalaman di medan tempur.
“Ini bukan perang konvensional. Ini adalah perang ketahanan dan pengurasan yang menuntut strategi berbeda,” katanya.
Bagi Hamas, peningkatan intensitas serangan bukan hanya soal taktik militer. Menurut penulis dan analis politik Ahmad al-Hila, ini merupakan bentuk “negosiasi dengan api”. Artinya, pertempuran dilancarkan untuk memperkuat posisi tawar dalam perundingan, sekaligus mengingatkan bahwa Gaza akan terus menjadi luka terbuka dalam kesadaran kolektif Israel.
Al-Hila menambahkan, langkah ini juga menyasar kunjungan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, ke Washington.
“Ini tekanan militer yang dirancang untuk mengguncang meja diplomasi,” ujarnya.
Sejumlah pengamat pun menilai, Israel kini menghadapi dua pilihan sulit: melanjutkan agresi yang tidak menjanjikan kemenangan jelas, atau menerima kegagalan strategi militer dan mulai membuka jalur politik yang konkret.
Namun, di tengah tuntutan untuk mundur dari Gaza, Netanyahu masih menunjukkan sikap keras.
Dalam pernyataannya baru-baru ini, ia mengancam akan melanjutkan operasi militer jika dalam 60 hari Hamas belum dilucuti dan dibubarkan.
Tetap bertahan atau mundur?
Isu utama yang kini mengemuka adalah apakah Israel akan tetap mempertahankan kehadiran militernya di Gaza atau menarik diri sepenuhnya.
Militer Israel masih bercokol di poros strategis Morag di Gaza selatan, dan posisi ini bisa menjadi titik awal ofensif baru jika perundingan gagal.
Namun, Hamas menuntut penarikan penuh agar mereka bisa mengatur ulang barisan dan mempersiapkan tahap selanjutnya.
“Jika pasukan Israel tetap bertahan, itu berarti mereka ingin melanjutkan dari tempat terakhir mereka berhenti,” ujar Elias Hanna.
Secara politis, Netanyahu dinilai enggan berkomitmen untuk menarik diri karena percaya posisi itu adalah kartu tekanan terhadap Hamas.
Selain itu, wacana pembangunan “kota kemanusiaan” di Gaza terus digulirkan oleh pemerintah Israel, sebagai solusi permanen pascaperang.
Namun ide itu tidak mendapat dukungan penuh dari militer Israel karena dianggap terlalu mahal dan akan menjebak pasukan dalam peran seperti polisi sipil.
Menurut laporan lembaga penyiaran publik Israel, pembangunan kota itu diperkirakan menghabiskan dana 20 miliar shekel atau sekitar 6 miliar dolar AS—setara dengan separuh anggaran tahunan Kementerian Pertahanan Israel.
Dalam situasi ini, Kepala Staf Eyal Zamir berusaha menampilkan narasi kemenangan digital lewat statistik dan peta operasional.
Namun di balik itu, ia mengisyaratkan bahwa tujuan Israel untuk menghancurkan Hamas dan melucuti persenjataannya nyaris mustahil tercapai melalui jalur militer semata.
“Pilihan terbaik adalah solusi politik. Agar tentara bisa beristirahat, menyusun ulang, dan membangun kembali persediaannya,” kata Hanna.
Pesan itu, seperti tayangan video yang mengguncang Israel, membawa satu sinyal yang makin jelas: perang di Gaza telah melampaui batas kekuatan militer, dan jalan keluar harus dicari melalui strategi lain—dengan diplomasi, bukan peluru.