Video yang dirilis oleh Brigade Izzuddin al-Qassam, sayap militer Hamas, kembali mengguncang opini publik Israel dan memperdalam polarisasi politik dalam negeri negara tersebut.
Rekaman yang menampilkan tawanan asal Israel-Amerika, Idan Alexander, menyampaikan kritik keras terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan bahkan menyindir mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Dalam video yang dirilis pada Sabtu (12/4/2025) itu, Alexander menuduh Netanyahu telah meninggalkan para tawanan Israel yang masih ditahan di Jalur Gaza dan menjadi penghalang utama tercapainya kesepakatan pertukaran tawanan.
Ia juga mempertanyakan sikap Presiden Trump, seraya berkata, “Mengapa saya harus menjadi korban dari kebohongan Netanyahu?”
Tepat sasaran di tengah krisis politik
Analis politik Ahmad Al-Hila menilai publikasi video tersebut dilakukan dalam momen yang sangat strategis.
“Ketika warga Israel turun ke jalan di berbagai kota memprotes pemerintahan Netanyahu, dan ketika proses negosiasi antara Hamas dan Israel terus berlangsung, video ini muncul sebagai tekanan psikologis yang kuat,” ujarnya.
Diketahui, saat ini delegasi Hamas sedang bersiap untuk mengunjungi Kairo dalam rangka melanjutkan pembicaraan mengenai gencatan senjata.
Selain itu, kemungkinan pertukaran tawanan, di tengah laporan tentang adanya tawaran baru dari pihak Israel.
Ahmad Al-Hila menambahkan bahwa video ini juga menyoroti tekanan terhadap pemerintahan AS.
“Idan Alexander merupakan salah satu tawanan yang masuk dalam daftar prioritas yang diajukan oleh pemerintah Amerika Serikat,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa video ini dapat menambah tekanan terhadap Washington untuk segera mendorong tercapainya kesepakatan.
Menurut laporan sebelumnya, Hamas telah menyatakan kesediaannya untuk membebaskan Alexander serta empat jenazah tawanan lainnya sebagai respon terhadap usulan Amerika. Namun, Israel dikatakan telah menarik diri dari kesepakatan tersebut.
Netanyahu dinilai gagalkan kesepakatan
Al-Hila menyoroti bahwa kesepakatan sebelumnya telah disusun oleh mediator dari Qatar, Mesir, dan AS, termasuk utusan khusus AS, Steven Witkoff.
Ia menuding Netanyahu, dengan dukungan dari sebagian anggota Kongres dan pejabat di Gedung Putih, sebagai pihak yang membatalkan kesepakatan yang telah dirintis oleh Adam Boehler, utusan khusus AS untuk urusan tawanan yang ditunjuk oleh Presiden Trump.
Menurut Al-Hila, Netanyahu menggunakan kesempatan tersebut untuk melanjutkan serangan militer di Gaza, meskipun pendekatan militer yang ditempuh selama lebih dari 15 bulan belum membuahkan hasil.
“Hamas sebenarnya telah menerima tawaran terbaru dari para mediator pada 27 Maret lalu tanpa syarat. Justru Netanyahu yang menambahkan syarat baru yang tidak realistis, termasuk tuntutan perlucutan senjata penuh Hamas dan pengambilalihan total Gaza,” ungkapnya.
Media dan tentara Israel mulai bergerak
Sementara itu, analis urusan Israel, Ihab Jabareen, menilai bahwa video-video dari kelompok perlawanan Palestina telah mempermalukan pemerintahan Netanyahu di hadapan rakyat Israel dan juga publik internasional.
Ia menyebut media Israel kini mulai menyuarakan tuntutan masyarakat yang mempersoalkan kegagalan pemerintah membebaskan para tawanan.
“Ini memperkuat tekanan dari dalam, menciptakan kondisi kelelahan politik dan sosial di Israel, serta memperbesar jurang perpecahan antara masyarakat sipil, militer, dan elit politik,” kata Jabareen.
Jabareen juga mencatat bahwa munculnya petisi penolakan dari tentara cadangan, serta penolakan dari kalangan militer dan akademisi terhadap kelanjutan perang, merupakan indikator serius dari krisis kepercayaan yang sedang berkembang di Israel.
Reaksi dari AS
Mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Thomas Warrick, menyebut bahwa video tersebut bisa saja menambah kemarahan publik di AS.
Namun ia meragukan bahwa hal ini akan mengubah sikap Presiden Trump yang selama ini memberikan keleluasaan penuh kepada Netanyahu dalam mengatur operasi militernya.
“Trump membiarkan Netanyahu mengambil keputusan militer sendiri, berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang berupaya memberikan batasan,” ujar Warrick.
Diketahui, tahap pertama dari kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tawanan yang berlangsung selama 42 hari telah berakhir pada awal Maret lalu.
Namun, Israel gagal melanjutkan ke tahap kedua dan kembali melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza pada 18 Maret 2025.