Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan arah politik dan militernya: melanjutkan pendudukan di Kota Gaza dan hanya membuka ruang bagi kesepakatan menyeluruh sesuai syarat Tel Aviv.
Pernyataan ini mematahkan spekulasi bahwa tekanan internal dan desakan luar negeri akan mengembalikannya ke meja perundingan dalam kerangka “kesepakatan parsial”.
Menurut pengamat politik Israel, Mohannad Mustafa, sikap keras Netanyahu merupakan konsekuensi dari strategi yang sejak awal menekankan jalan militer.
Baginya, penguasaan penuh atas Kota Gaza adalah “mata rantai terakhir” untuk menundukkan Hamas.
Netanyahu, yang kini masih menjadi buruan Mahkamah Pidana Internasional, terus menempuh jalur ini tanpa menghiraukan kritik dalam negeri maupun desakan dunia internasional.
Dukungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap kubu kanan-ideologis di Israel, kata Mustafa, membuat Netanyahu semakin percaya diri.
Bagi Netanyahu, Gaza bukan sekadar medan pertempuran yang serupa dengan pengalaman Israel di Lebanon, Suriah, atau bahkan melawan Iran.
Gaza, menurutnya, adalah “soal hidup dan mati”, sehingga protes publik maupun seruan elit politik-militer untuk menghentikan perang tidak lagi penting.
Negosiasi sebagai taktik
Penulis dan analis politik Sari Orabi menilai, ketika Netanyahu melangkah ke meja perundingan, itu bukan dalam rangka mencari solusi.
Negosiasi digunakan sebagai instrumen taktis untuk menopang strategi militer, menenangkan opini publik di Israel, Palestina, dan dunia, sambil tetap melanjutkan “perang pemusnahan”.
Dengan skenario penyerahan total yang diinginkan Netanyahu, Orabi menilai Hamas dan faksi perlawanan lain tidak punya pilihan kecuali melanjutkan konfrontasi.
Apalagi, operasi militer sebelumnya yang disebut “Kereta Gideon 1” gagal menjatuhkan Hamas, baik secara politik maupun militer.
Kegagalan demi kegagalan operasi militer Israel justru memunculkan kekhawatiran baru di kalangan elit keamanan Israel.
Perlawanan Hamas terbukti masih mampu memasang jebakan dan beradaptasi dengan perubahan situasi lapangan, meskipun keseimbangan kekuatan tetap berat sebelah, memihak Israel.
Visi “kemenangan mutlak”
Netanyahu terus menggaungkan konsep “kemenangan mutlak” dengan 5 syarat.
Yaitu, perlucutan senjata Hamas dan seluruh Gaza, pemulangan sandera, kontrol keamanan penuh Israel, serta pemerintahan sipil alternatif bagi Hamas maupun Otoritas Palestina.
Stasiun televisi Channel 13 melaporkan, satu-satunya skenario yang kini digadang Netanyahu adalah penundukan Hamas sepenuhnya disertai kesepakatan komprehensif berdasarkan lima syarat tersebut.
Namun, secara militer, peluang keberhasilan dianggap tipis. Menurut analis militer Mayor Jenderal (Purn) Fayez al-Duwairi, operasi “Kereta Gideon 2”—yang dimaksudkan sebagai pendudukan penuh atas Kota Gaza—besar kemungkinan berakhir dengan kegagalan, sebagaimana “Kereta Gideon 1” dan “Rencana Para Jenderal” sebelumnya.
Duwairi menjelaskan, “Rencana Para Jenderal” semula ditujukan untuk menguasai seluruh kawasan utara Gaza dari poros Netzarim.
Sedangkan “Kereta Gideon 1” berupaya mendorong pengungsian massal ke selatan, hingga Rafah, sebelum menegakkan kontrol penuh di daratan Gaza. Namun, kedua rencana itu kandas.
Menurutnya, “Kereta Gideon 2” lebih menyerupai “Rencana Para Jenderal” daripada “Kereta Gideon 1”.
Faktor utama kegagalannya, kata Duwairi, adalah ketidakmampuan militer Israel mengikuti pola baru yang diterapkan perlawanan dalam mengelola medan tempur.
Selain itu, terdapat kontradiksi antara tujuan militer di lapangan dengan misi diplomatik mengembalikan sandera.
“Sandera tetap menjadi kartu truf utama di tangan Hamas, di samping kekuatan senjata,” ujar Duwairi.
Ia menambahkan bahwa Netanyahu dan para menterinya tampak meyakini bahwa nyawa para sandera tidak sepenting agenda ideologis mereka.
Pandangan itu justru berseberangan dengan suara publik Israel yang menuntut prioritas pada pemulangan sandera.