Friday, June 13, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Akankah solidaritas rakyat dengan Gaza perkuat isolasi internasional terhadap Israel?

ANALISIS – Akankah solidaritas rakyat dengan Gaza perkuat isolasi internasional terhadap Israel?

Gelombang solidaritas rakyat terhadap Gaza terus meluas. Berbagai inisiatif masyarakat sipil muncul untuk menembus blokade Israel yang telah mencekik Jalur Gaza sejak dimulainya serangan militer besar-besaran pada 7 Oktober 2023.

Di tengah gempuran yang oleh banyak pihak disebut sebagai “perang pemusnahan”, muncul pertanyaan penting: apakah gelombang solidaritas ini memperdalam isolasi Israel dan meruntuhkan narasi yang dibangunnya di panggung internasional?

Salah satu bentuk aksi terbaru datang dari kawasan Maghrib dan Eropa. “Konvoi Keteguhan” yang berangkat dari Tunisia telah melintasi Tripoli dan kini tiba di kota Zliten, Libya, menuju perbatasan Rafah di Mesir.

Konvoi ini hadir hanya berselang beberapa hari setelah insiden penyerangan oleh pasukan Israel terhadap kapal bantuan “Madelen” pada Senin dini hari.

Secara paralel, aksi jalan kaki lintas negara dari Den Haag (Belanda) ke Jenewa (Swiss) juga sedang berlangsung sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Gaza.

Aksi-aksi ini bukan sekadar simbolik; mereka membawa pesan kuat ke berbagai pihak.

Presiden Tunisia keempat, Moncef Marzouki, dalam pernyataannya kepada program Ma Wara’a al-Khabar menilai rangkaian aksi tersebut sebagai “gelombang solidaritas global” yang membawa lima pesan penting:

  1. Kepada rakyat Gaza: Kalian tidak sendiri.
  2. Kepada rakyat Arab: Bola salju telah mulai bergulir.
  3. Kepada Israel: Jika kalian terus melampaui batas, kalian akan menghadapi penolakan dan kecaman mutlak, baik di dunia Arab maupun global.
  4. Kepada pemerintah Barat: Demonstrasi yang merebak mulai memaksa perubahan sikap.
  5. Kepada para pemimpin Arab: Waspadai bahaya strategis ini, sejarah mencatat bahwa ledakan sosial pernah terjadi setelah penindasan total seperti pada 2010.

Sementara itu, Direktur Kampanye Solidaritas Palestina di Inggris, Ben Jamal, menegaskan bahwa Israel kini telah berubah menjadi negara “nakal” yang mengabaikan hukum kemanusiaan internasional dan semakin terisolasi.

Ia menyoroti meningkatnya seruan penghentian hubungan dagang dan kerja sama militer dengan Tel Aviv.

Namun, Jamal juga memberi catatan penting. Menurutnya, meski demonstrasi dan aksi solidaritas sangat penting secara moral dan politis, langkah tersebut masih bersifat simbolik.

Yang paling mendesak saat ini, ujarnya, adalah mengakhiri genosida di Gaza, memaksa Israel menarik pasukannya, dan membuka akses bantuan kemanusiaan melalui badan-badan internasional.

Lebih lanjut, Jamal menyebut bahwa gelombang protes ini muncul karena kegagalan pemerintah-pemerintah dunia dalam menghentikan kekejaman di Gaza.

Meski beberapa negara mulai mengubah retorika resminya, langkah konkret untuk menghentikan keterlibatan atau dukungan terhadap Israel belum benar-benar tampak.

Posisi kritis Mesir

Terkait Konvoi Keteguhan, Marzouki menilai pemerintah Mesir berada dalam posisi politis yang sensitif.

Menurutnya, membiarkan konvoi melanjutkan perjalanan menuju Rafah akan mengurangi tekanan terhadap Kairo, sebaliknya, menghalanginya justru akan menambah tekanan.

Konvoi ini membawa lebih dari 1.500 orang dari Tunisia dan Aljazair, dengan sekitar 20 bus dan 350 kendaraan pribadi.

“Jangan menyeret diri dalam konfrontasi yang sia-sia,” kata Marzouki kepada pemerintah Mesir.

Ia menegaskan bahwa Israel adalah pihak yang tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan bahwa bersekutu dengannya hanya akan mendatangkan kerugian strategis.

Komentar ini muncul setelah permintaan Israel kepada Mesir untuk mencegah konvoi tersebut mencapai Gaza.

Bahkan, muncul kekhawatiran bahwa komandan militer Libya yang kontroversial, Khalifa Haftar, mungkin dilibatkan untuk menghentikan konvoi sebelum memasuki wilayah Mesir.

Antara rakyat dan pemerintah

Marzouki juga menyoroti pandangan umum di kalangan penguasa Arab pasca-Arab Spring.

Menurutnya, mereka meyakini bahwa rakyat telah “dikalahkan”, dan kelanggengan kekuasaan hanya bisa diraih melalui kompromi dengan Israel dan Amerika Serikat (AS).

Namun, ia mengingatkan bahwa langkah-langkah normalisasi yang diambil sebagian negara Arab justru akan menimbulkan aib historis jika diteruskan.

“Tidak ada yang bisa menghentikan kehendak rakyat,” tegasnya.

Gerakan solidaritas sipil, menurutnya, telah menjalankan fungsi vital dalam mengingatkan dunia akan tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Gaza.

Sebagai contoh terbaru, aliansi lebih dari 80 organisasi serikat pekerja, gerakan solidaritas, dan lembaga hak asasi manusia dari seluruh dunia mengumumkan peluncuran inisiatif “Pawai Global Menuju Gaza”.

Aksi ini dirancang sebagai perjalanan darat massal menuju Gaza, sebagai respons terhadap kondisi kemanusiaan yang memburuk.

Ben Jamal menegaskan kembali pentingnya mobilisasi rakyat untuk menekan pemerintah mereka agar menghentikan kekerasan Israel.

Menurutnya, sudah 20 bulan rakyat Gaza menjadi sasaran blokade, pembunuhan, kelaparan, dan pengusiran sistematis oleh militer Israel, yang didukung penuh oleh AS.

Serangan ini telah menewaskan dan melukai sekitar 182 ribu warga Palestina—mayoritas anak-anak dan perempuan.

Sebanyak lebih dari 11 ribu orang dinyatakan hilang, dan ratusan ribu lainnya terusir dari tanah mereka, dengan kelaparan yang telah merenggut nyawa, termasuk anak-anak.

Dunia internasional terus mengeluarkan seruan dan bahkan keputusan hukum dari Mahkamah Internasional agar kekejaman ini dihentikan. Namun, sejauh ini, Israel tetap bergeming.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular