Saturday, July 26, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Akankah Turki dan Israel bentrok di Suriah?

ANALISIS – Akankah Turki dan Israel bentrok di Suriah?

Langkah Turki yang belakangan semakin intensif memperkuat kekuatan militernya, serta dukungan terbuka terhadap pemerintahan baru Suriah pasca runtuhnya rezim Bashar al-Assad, telah memicu kegelisahan di Tel Aviv.

Pertanyaan pun menyeruak: apakah Ankara dan Israel tengah meluncur menuju benturan langsung di wilayah yang telah lama menjadi ajang tarik-menarik pengaruh regional itu?

Kekhawatiran Israel kian menguat setelah Turki, dengan restu Jerman, berhasil mengamankan kesepakatan pembelian 40 jet tempur Typhoon.

Penguatan armada tempur ini, yang telah diajukan Ankara sejak empat tahun silam, dianggap memperbesar potensi pengaruh militer Turki di kawasan.

Ketegangan juga dipicu oleh pernyataan resmi Kementerian Pertahanan Turki yang mengonfirmasi bahwa pemerintah baru Suriah meminta bantuan Ankara dalam membangun kapasitas pertahanan negaranya.

Bagi Israel, ini merupakan sinyal jelas bahwa peran Turki di Suriah akan terus membesar—baik secara militer maupun politik.

Saling tuding pun tak terhindarkan. Dalam sebuah pernyataan keras, Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan menuding Israel sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ketidakstabilan di Suriah.

Ia juga menuduh Tel Aviv mengeksploitasi isu sektarian demi menggagalkan pembentukan pemerintahan pusat yang kuat di negara tersebut.

Persaingan proyek regional

Menurut Bialal al-Shobaki, Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Hebron, ada tiga kekuatan utama yang saat ini berusaha memproyeksikan pengaruhnya di Timur Tengah: Israel, Turki, dan Iran.

Namun, konflik berkepanjangan yang melibatkan Iran telah membuat pengaruh Teheran surut, menyisakan Turki sebagai satu-satunya pesaing nyata bagi proyek regional Israel.

Al-Shobaki menyebut bahwa pendekatan Turki terhadap isu Suriah menjadi sumber kekesalan tersendiri bagi Israel.

Ankara menolak skenario pembentukan negara-negara kecil di wilayah Suriah serta menentang eksistensi kelompok Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di wilayah timur laut, yang dianggap sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasional Turki.

Sementara itu, peneliti politik Mahmoud Alloush menyatakan bahwa Turki telah menjadi tantangan strategis bagi Israel sejak dua dekade terakhir.

Menurutnya, kebangkitan peran Turki di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan menandai dimulainya kompetisi geopolitik yang semakin sengit antara kedua negara.

Alloush menambahkan bahwa Damaskus kini melihat Ankara sebagai mitra strategis penting untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan.

Presiden Suriah yang baru, Ahmad al-Sharaa, disebut sedang berupaya membangun kemitraan regional yang dapat mengimbangi dominasi Israel, sambil tetap menjaga hubungan fungsional dengan Washington.

Antara kesiapan dan keseimbangan

Namun, menurut akademisi dari Universitas Pertahanan Nasional Turki, Mehmet Ozkan, tidak tepat menyebut hubungan Ankara-Tel Aviv sebagai persaingan terbuka.

Ia menegaskan bahwa pembelian jet tempur Typhoon semata-mata bertujuan meningkatkan kapasitas pertahanan Turki dalam kerangka kerja sama NATO.

Kendati demikian, Ozkan tidak menampik bahwa konflik antara Iran dan Israel telah mengganggu keseimbangan strategis di kawasan.

Hal ini mendorong Turki untuk memperkuat pertahanan demi mengamankan wilayah perbatasannya.

Ozkan menilai terdapat perbedaan mendasar dalam visi strategis kedua negara terhadap masa depan Suriah.

Sementara Turki mendambakan terbentuknya negara yang kuat dan stabil di perbatasannya, Israel justru lebih senang membatasi ruang gerak dan ambisi geopolitik negara-negara lain di wilayah tersebut.

Potensi benturan?

Apakah persaingan ini akan bermuara pada konfrontasi langsung?

Al-Shobaki menyampaikan keyakinannya bahwa peluang tercapainya kesepahaman antara Turki dan Israel masih terbuka, sebagaimana yang sebelumnya pernah dilakukan Tel Aviv dengan Moskwa.

Namun, ia menegaskan bahwa masalah utama bagi Israel adalah mencegah Turki menggagalkan agenda-agenda strategisnya di Suriah.

Sementara itu, Alloush menilai bahwa dinamika saat ini telah membawa kedua negara pada ambang benturan geopolitik di Suriah.

Hal inilah yang menyebabkan Ankara—menurutnya—menunda pembentukan aliansi militer formal atau pembangunan pangkalan permanen di Suriah.

Turki kini mengandalkan pemerintahan Presiden Donald Trump untuk menengahi perbedaan dengan Israel, karena Washington diyakini menginginkan keseimbangan kekuatan antara sekutu-sekutunya di kawasan.

Terkait hal ini, Alloush menyebut bahwa Amerika Serikat (AS) tak akan membiarkan persaingan tersebut berubah menjadi konflik terbuka.

Ia mengacu pada sejumlah kesepahaman antara Turki dan Israel yang diklaim berlangsung di bawah pengawasan Washington—meskipun sifatnya masih rapuh.

Ozkan pun sependapat. Ia menyebut kemungkinan konfrontasi langsung antara Turki dan Israel cukup kecil, terlebih dengan hubungan baik antara Presiden Erdogan dan Presiden Trump, serta adanya kesamaan pandangan mengenai masa depan Suriah.

Namun demikian, tantangan besar bagi Ankara, menurut Alloush, adalah bagaimana memanfaatkan keberadaan Trump di Gedung Putih untuk mencapai kesepahaman strategis dengan Israel soal Suriah.

Sebuah upaya yang tidak mudah di tengah medan konflik yang semakin kompleks dan dinamis.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular