Wednesday, July 9, 2025
HomeBeritaANALISIS - Apa dampak penyergapan Beit Hanoun terhadap perhitungan politik Netanyahu dengan...

ANALISIS – Apa dampak penyergapan Beit Hanoun terhadap perhitungan politik Netanyahu dengan Trump?

Ketika perundingan tidak langsung antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina terus bergulir di Doha, Qatar, sorotan dunia beralih ke Washington, D.C., tempat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump kembali menjamu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Ini adalah pertemuan ketiga mereka dalam beberapa bulan terakhir, dengan satu agenda utama: Gaza.

Netanyahu datang ke Gedung Putih sebagai pemimpin yang sedang diburu Mahkamah Pidana Internasional.

Namun ia tetap percaya diri, membanggakan apa yang disebutnya sebagai “pencapaian” di Gaza dan Iran. Namun situasi di lapangan tak selamanya berpihak padanya.

Tak lama sebelum pertemuan kedua dengan Trump, sebuah serangan mendadak di Beit Hanoun, Jalur Gaza utara, mengguncang opini di Tel Aviv.

Serangan yang diklaim dilakukan oleh Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, menewaskan lima tentara Israel dan melukai 14 lainnya.

Serangan itu tidak hanya menyulitkan Netanyahu di medan perang, tapi juga merusak narasi kemenangan yang coba ia bangun di hadapan Presiden AS.

Pertanyaan pun mengemuka: bagaimana Netanyahu bisa meyakinkan Trump bahwa dirinya mampu mengendalikan Gaza dan menundukkan Hamas, jika kenyataannya pasukannya sendiri belum aman dari serangan mendadak?

Di Washington, baik Trump maupun Netanyahu menyuarakan niat yang sama—mengakhiri konflik di Gaza.

Trump kembali menekankan bahwa ia ingin menemukan “solusi final” atas konflik tersebut.

Bahkan, utusan khusus AS, Steven Witkoff, menyampaikan optimisme bahwa kesepakatan dapat tercapai pada akhir pekan ini.

Menurutnya, dari empat isu utama yang diperdebatkan oleh Hamas dan Israel, kini hanya tersisa satu.

Namun Netanyahu, yang menyebut proses negosiasi ini “kompleks”, menegaskan bahwa dirinya memantau perkembangan setiap jam, dan bersikeras bahwa “Hamas tidak akan dibiarkan menguasai Gaza”.

Baginya, hasil akhir dari perang ini harus mencakup pembebasan semua sandera, kejatuhan Hamas, dan jaminan bahwa Gaza tidak lagi menjadi ancaman.

Sementara itu, dari Doha, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed Al-Ansari, menjelaskan bahwa pembicaraan masih pada tahap menyusun kerangka umum. Negosiasi teknis dan mendalam belum dimulai.

Namun pengamat menilai, panggung sesungguhnya bukan di Doha, melainkan di Washington.

Posisi AS dipandang sebagai kunci, dan tekanan dari Gedung Putih sangat dibutuhkan jika Netanyahu hendak menerima kesepakatan damai.

Sebuah survei terbaru bahkan menunjukkan bahwa 70% warga Israel tak lagi yakin perang di Gaza akan membuahkan kemenangan militer.

Wacana dan tuntutan

Menurut analis politik Israel, Netanyahu ingin mengakhiri perang, tetapi dengan syarat-syarat yang menguntungkannya secara politis.

Ia datang ke Washington untuk mencari jaminan. Hamas tidak akan kembali berkuasa, bahwa senjata mereka akan disita, dan bahwa para pemimpin kelompok itu akan disingkirkan dari Gaza. Inilah “hari setelah perang” yang coba ia negosiasikan.

Wacana yang kini mencuat di kalangan pembuat kebijakan Israel adalah kemungkinan mundur dari Gaza, namun tetap menjaga zona penyangga dan terus melakukan operasi militer bila dianggap perlu.

Semua ini bergantung pada dukungan dan jaminan dari AS. Banyak pihak menduga Netanyahu akan mengulur waktu dalam perundingan di Doha sampai ia selesai menyusun kepingan kesepakatan strategisnya dengan Trump.

Namun Netanyahu bukan satu-satunya yang membawa kepentingan ke meja perundingan.

Rakyat Palestina pun memiliki aspirasi sendiri—untuk tetap tinggal di tanah mereka, memilih pemimpin mereka sendiri, dan melihat Gaza serta Tepi Barat dipimpin oleh satu pemerintahan yang mewakili suara bersama.

Lebih dari itu, mereka menolak untuk tunduk kepada kehendak penjajahan. Dalam situasi yang timpang ini, mereka berusaha terus menguras kekuatan lawan melalui kerugian militer yang signifikan.

Hal inilah yang terus dilakukan oleh faksi-faksi perlawanan, menurut pengamat militer Mayjen (Purn) Fayez Al-Duwairi.

Ia menyebut bahwa kelompok perlawanan masih memegang “kartu kekuatan”, termasuk sandera dan persenjataan, yang membuat mereka mampu melancarkan operasi seperti serangan terkoordinasi di Beit Hanoun—operasi yang disebutnya sebagai aksi militer bermutu tinggi.

Di tengah gempuran diplomasi dan desingan senjata, satu hal menjadi jelas. Meskipun Netanyahu mencoba menggiring narasi kemenangan di Gedung Putih, medan Gaza tetap punya cara untuk bicara sendiri.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular