Faksi-faksi perlawanan Palestina tampaknya tengah berupaya menetapkan aturan baru dalam menghadapi Israel.
Terutama jika para mediator dan penjamin kesepakatan gagal menekan Tel Aviv untuk menghentikan pelanggaran terhadap gencatan senjata di Gaza.
Pada Minggu kemarin, delegasi tingkat tinggi Hamas mengadakan pembicaraan di Kairo bersama Kepala Intelijen Mesir, Hassan Rashad.
Pertemuan tersebut membahas implementasi fase kedua gencatan senjata serta perkembangan situasi di Gaza yang semakin kompleks.
Menurut juru bicara Hamas, Hazem Qassem, delegasi itu menekankan kepada Rashad pentingnya menahan Israel agar menghentikan seluruh pelanggaran yang berpotensi merusak kesepakatan yang sedang berjalan.
Qassem menggambarkan proses menuju fase kedua sebagai “sangat rumit”.
Ia juga menegaskan bahwa pasukan penjaga stabilitas internasional yang akan dibentuk harus ditempatkan di antara warga Palestina dan tentara pendudukan Israel.
Pengamat politik Ahmad al-Tanani menilai bahwa pertemuan ini lahir dari kekhawatiran kelompok perlawanan bahwa Israel ingin memperpanjang fase pertama gencatan senjata selama memungkinkan.
Kecuali jika Israel berhasil memaksakan agenda tertentu pada fase berikutnya.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, al-Tanani mengatakan bahwa Israel berusaha mempertahankan situasi “bukan-perang dan bukan-damai”.
Sebuah kondisi yang memungkinkannya merumuskan kembali operasi militernya di Gaza sambil tetap berada di bawah payung perjanjian.
Kunjungan delegasi Hamas ke Kairo juga mencerminkan tingkat keseriusan yang tinggi.
Delegasi itu mencakup tokoh-tokoh pucuk pimpinan: Ketua Dewan Kepemimpinan Hamas Muhammad Darwish, Khaled Meshaal, Khalil al-Hayya, Nizar Awdallah, Ghazi Hamad, dan Zaher Jabarin.
Komposisi ini, menurut al-Tanani, menunjukkan bahwa Hamas tidak sekadar melakukan kunjungan diplomatik, melainkan sedang berupaya mengambil keputusan strategis.
Kehadiran delegasi Hamas juga berbarengan dengan kunjungan pimpinan Front Populer dan Jihad Islam, yang menurut al-Tanani mencerminkan adanya kesepahaman antar-faksi untuk menghentikan situasi yang berusaha diciptakan Israel.
Al-Tanani memperkirakan bahwa fase mendatang akan ditandai oleh perubahan sikap perlawanan terhadap pelanggaran Israel.
Menurutnya, pelanggaran-pelanggaran tersebut sudah tidak mungkin dibiarkan tanpa respons, baik berupa tindakan di lapangan maupun lewat tekanan politik oleh para mediator dan penjamin perjanjian.
Ia juga menilai bahwa perlawanan siap menetapkan rules of engagement baru dengan Israel.
Namun, ia menekankan bahwa saat ini kelompok perlawanan tetap mengedepankan prinsip “menghindari alasan” untuk menjaga kelangsungan kesepakatan.
Hal itu karena mereka memandang gencatan senjata mengandung keuntungan strategis bagi rakyat Palestina.
Al-Tanani meyakini bahwa Hamas mungkin membahas kemungkinan menyerahkan administrasi Gaza kepada komite Palestina yang baru.
Hal itu sebagai upaya menutup celah yang kerap digunakan Israel sebagai dalih untuk memperluas agresinya, baik secara militer maupun dalam aspek kemanusiaan.
Ia menambahkan bahwa faksi-faksi perlawanan tidak akan selamanya menerima keadaan yang dipaksakan Israel.
Pesan Israel kepada Hamas
Di sisi lain, analis urusan Israel, Adel Shadeed, menilai bahwa Israel memperlakukan pelanggaran yang mereka lakukan seolah bagian dari perjanjian.
Dalam kacamata Israel, gencatan senjata memberi ruang bagi mereka untuk mempertahankan kemampuan “membalas, menghancurkan, dan menekan” tanpa melanggar batasan formal.
Shadeed menambahkan bahwa militer Israel sedang menekan pemerintah agar tetap mempertahankannya di Gaza tanpa harus bertanggung jawab atas pengelolaan kehidupan sipil.
Mereka ingin peran administratif itu dialihkan kepada entitas lain yang bisa dibentuk lewat perjanjian baru.
Meski intensitas pertempuran menurun, Pemerintahan Benjamin Netanyahu tetap bergeming pada tujuan-tujuan awal perang: pengusiran, penataan ulang wilayah, dan perluasan permukiman.
Ada kelompok besar dalam koalisi pemerintah yang berharap bahwa pemangkasan bantuan kemanusiaan dan perluasan operasi militer akan memaksa warga Gaza pergi—yang oleh Israel disebut sebagai “migrasi sukarela”.
Shadeed memprediksi pelanggaran Israel kemungkinan besar akan meningkat dalam waktu dekat, terlebih karena tindakan tersebut mendapatkan toleransi dari Amerika Serikat (AS).
Ia mengatakan bahwa Netanyahu—yang berstatus buronan Mahkamah Kriminal Internasional—berusaha menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya pengambil keputusan di Gaza.
Meskipun semua pihak mengetahui bahwa keputusan strategis sebenarnya berada di tangan Washington.
Pada akhirnya, Shadeed menyimpulkan bahwa Netanyahu ingin mengirimkan pesan tegas kepada Hamas: bahwa Hamas tidak lebih kuat daripada Hizbullah, yang pernah dikenai skema aturan tertentu oleh Israel.
Dalam pandangannya, Israel akan berupaya menerapkan pola serupa di Gaza, kecuali jika AS turun tangan untuk menghentikan langkah tersebut.


