Thursday, August 28, 2025
HomeBeritaANALISIS - Bagaimana media Prancis melegitimasi pembunuhan jurnalis di Gaza?

ANALISIS – Bagaimana media Prancis melegitimasi pembunuhan jurnalis di Gaza?

Laman Orian 21 menyoroti bagaimana media Prancis menyikapi kabar pembunuhan jurnalis Al Jazeera, Anas al-Sharif, bersama empat rekannya.

Menurut laporan itu, berita tersebut seharusnya menjadi tajuk utama di media Prancis pada Senin pagi, dengan pengingat bahwa Israel tidak hanya melarang jurnalis masuk ke Gaza, tetapi juga menargetkan jurnalis yang menjadi mata dunia atas tragedi di sana.

Namun kenyataannya berbeda. Sementara Israel menyebut insiden itu sebagai “tewasnya seorang teroris” dan Al Jazeera menyebutnya “pembunuhan seorang jurnalis”, sejumlah media Prancis memilih narasi lain.

France 24 menggambarkannya sekadar “peluru di tengah”, sementara France Info menggunakan bahasa serupa.

Lebih jauh, kanal France 2 bahkan memberi panggung langsung kepada juru bicara militer Israel, Olivier Rafowicz.

Dominasi narasi Israel

Dalam tulisan yang ditandatangani Sarah Gharira, Orian 21 mempertanyakan bagaimana mungkin narasi Israel tetap dominan di media Prancis, padahal perang genosida di Gaza telah berlangsung hampir dua tahun.

Hal itu terjadi di tengah fakta bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menghadapi surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Sementara pengadilan di negara lain tengah memproses tentara Israel pemegang kewarganegaraan ganda.

Yang lebih mencemaskan, menurut pemimpin redaksi situs itu, solidaritas profesi jurnalis yang biasanya kuat justru berhenti di perbatasan Timur Tengah.

Padahal, laporan menyebut lebih dari 200 jurnalis telah tewas di Gaza. Pertanyaannya, berapa banyak nama yang terus ditambahkan dalam daftar itu?

Israel, lanjut penulis, berhasil bergeser dari posisi “penyangkalan” menuju “pengakuan tanggung jawab”.

Mereka tidak lagi menutup-nutupi, cukup menyatakan bahwa seorang jurnalis memiliki “keterkaitan dengan Hamas” untuk melegitimasi pembunuhan.

Jurnalis Israel Yuval Abraham menyingkap adanya satuan khusus bernama cellule de légitimation (satuan legitimasi) di tubuh intelijen militer Israel sejak 7 Oktober 2023.

Tugasnya: mencari informasi yang bisa membenarkan operasi militer, termasuk mengaitkan jurnalis dengan Hamas.

Tak heran, beberapa jam setelah kematian Anas al-Sharif, foto-fotonya bersama sejumlah pemimpin Hamas, termasuk Yahya Sinwar, beredar luas di media sosial—dibagikan di antara banyak jurnalis Prancis.

Pertanyaan pun muncul: apakah foto itu bukti kolaborasi, atau sekadar potret yang lazim dimiliki banyak koresponden yang bekerja di wilayah konflik? Ironisnya, jurnalis Prancis Laurence Ferrari pun pernah tertangkap kamera tersenyum di samping Netanyahu, seorang pemimpin yang kini berstatus buronan hukum internasional.

“Tak ada yang benar-benar tak bersalah di Gaza”

Menurut Gharira, persoalan utama bukan pada rasa ingin tahu media Prancis tentang siapa Anas al-Sharif, melainkan pada kerangka pikir yang mendasari pemberitaan itu.

Di benak sebagian ruang redaksi, Anas al-Sharif mungkin “tidak sepenuhnya tak bersalah”.

Jika media masih menganggap wajar menyajikan narasi Israel, meski hampir semua lembaga hukum internasional menyebut apa yang terjadi di Gaza sebagai genosida.

Hal itu berakar dari warisan narasi “perang melawan teror”: bahwa yang diperangi adalah kaum barbar.

Dari sinilah muncul standar ganda. Jurnalis Barat yang marah besar bila seorang wartawan tewas di Ukraina akibat Rusia, tidak ragu memberi ruang bagi propaganda Israel ketika menyangkut Gaza.

Seorang jurnalis Israel yang terang-terangan mendukung ekstremisme pemerintah Netanyahu, berseru “matilah orang Arab”, atau ikut menghalangi bantuan kemanusiaan ke Gaza, tetap akan dipandang “tak bersalah”.

Sebaliknya, jurnalis Palestina yang merekam penderitaan rakyatnya diperlakukan seakan-akan memiliki dosa bawaan.

Kesimpulannya, tulis Gharira, dalam kerangka politik dan media Barat, Israel tidak pernah dipandang membunuh—bahkan ketika warga Palestina berguguran. Israel selalu disebut sedang “membela diri” atau “membalas” serangan teror.

Adapun para korban, terutama yang berasal dari dunia Arab, dianggap pada dasarnya memang pantas dicurigai.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular