Monday, August 18, 2025
HomeBeritaANALISIS - Bagaimana roket dan operasi perlawanan gagalkan agresi militer Israel?

ANALISIS – Bagaimana roket dan operasi perlawanan gagalkan agresi militer Israel?

Operasi militer Israel bertajuk “Arubat Gideon” di Jalur Gaza dinilai sebagai salah satu kegagalan paling besar dalam sejarah militer Israel.

Kendati pimpinan tentara mengumumkan keberhasilan penuh dengan klaim menguasai 75 persen wilayah Gaza, para analis menegaskan bahwa sasaran politik dan militer operasi itu tidak pernah benar-benar tercapai.

Menurut pengamat militer dan strategi, Brigadir Jenderal Elias Hanna, operasi tersebut tidak mampu menerjemahkan tujuan politik menjadi capaian nyata di lapangan.

“Israel mengerahkan sumber daya besar, tetapi hasil yang diinginkan tidak pernah diwujudkan,” ujarnya.

Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Eyal Zamir, sebelumnya berusaha menenangkan publik dengan menyatakan bahwa tentara menjamin Gaza tidak lagi menjadi ancaman.

Namun, menurut para pakar, terdapat perbedaan mendasar antara “masuk” ke suatu wilayah dan “menguasai” wilayah itu secara efektif.

Fakta di lapangan menunjukkan perlawanan bersenjata Palestina masih aktif, dari Beit Hanoun, Shuja’iyya, hingga Khan Younis.

Bahkan, di kawasan perbatasan yang disebut Israel sudah “aman”, pertempuran tetap berlangsung.

Lebih jauh, roket-roket masih ditembakkan dari Gaza menuju wilayah perbatasan Israel. Serangan itu membuktikan bahwa klaim Israel atas penguasaan penuh hanyalah ilusi.

“Setiap kali pasukan Israel menetap di area tertentu, justru memberikan sasaran baru bagi perlawanan,” kata Hanna.

Israel, tambahnya, hanya berhasil memecah Gaza menjadi kantong-kantong wilayah tanpa kendali menyeluruh.

Dimensi politik

Dari sisi politik, banyak pengamat menilai Arubat Gideon sejak awal lebih bermuatan ideologi ketimbang strategi militer.

Tujuan utamanya dianggap bukan semata operasi keamanan, melainkan upaya menduduki Gaza dan mendorong penduduk sipil keluar ke arah selatan.

Meski pemerintah Israel telah melakukan perubahan besar—mengganti Menteri Pertahanan dan Kepala Staf, membuka kembali akses pembelian senjata dari AS, serta mengalokasikan anggaran besar pada Maret 2025—operasi itu tetap gagal.

Menurut pakar isu Israel, Muhannad Mustafa, kelemahan utama operasi terletak pada waktu pelaksanaannya.

Situasi politik dan sosial pada Mei 2025 berbeda jauh dengan Oktober 2023. Tidak ada konsensus politik dan dukungan masyarakat yang solid, sehingga operasi yang dicitrakan sebagai ideologis, bukan defensif, kehilangan legitimasi.

Israel, kata Mustafa, lebih banyak memikirkan cara mengubah operasi militer menjadi kenyataan politik, tanpa menyinggung isu penting seperti nasib tawanan Israel, kemungkinan gencatan senjata, atau solusi politik lainnya.

Ketidakjelasan arah inilah yang akhirnya menjadikan operasi itu buntu.

Dari sisi militer, tentara Israel kini menghadapi kelelahan serius setelah 21 bulan pertempuran beruntun.

Bukan hanya personel, tetapi juga perlengkapan dan persenjataan membutuhkan perbaikan menyeluruh.

“Gaza telah menjadi beban terbesar dan rintangan utama bagi proyek regional Israel,” ujar Hanna.

Menurutnya, perang di wilayah sempit berukuran 365 kilometer persegi itu sepenuhnya adalah perang perkotaan, bukan sekadar perang gerilya seperti sering digambarkan.

Kondisi ini menuntut strategi baru, pembenahan struktur, dan peningkatan kapasitas militer yang tidak mudah dilakukan.

Sebagai catatan, Dewan Keamanan Israel (kabinett) pada awal Mei 2025 telah mengesahkan rencana Arubat Gideon.

Operasi ini dirancang dalam tiga tahap dengan lima instrumen tekanan untuk memaksa Hamas melepas tawanan Israel dan membongkar struktur militernya.

Israel mengerahkan puluhan ribu pasukan cadangan, dengan tujuan akhir menduduki Gaza sepenuhnya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hasil yang jauh berbeda.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular