Sunday, July 27, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Bagi Trump, pelucutan senjata Hamas lebih penting daripada nyawa 2...

ANALISIS – Bagi Trump, pelucutan senjata Hamas lebih penting daripada nyawa 2 juta warga Gaza

Harapan akan tercapainya kesepakatan gencatan senjata yang sempat tumbuh dalam beberapa hari terakhir kembali pupus.

Amerika Serikat (AS) dan Israel secara tiba-tiba mengumumkan bahwa mereka akan mengevaluasi pendekatan baru untuk membebaskan tawanan, sembari menuding Hamas sebagai pihak yang menggagalkan perjanjian damai.

Mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Thomas Warrick, menyalahkan Hamas atas bencana kelaparan di Jalur Gaza karena menolak proposal terbaru.

Dalam komentarnya, ia menegaskan bahwa mantan Presiden AS Donald Trump memahami skala krisis kemanusiaan di Gaza, namun tidak akan melepaskan tuntutannya atas pelucutan senjata Hamas.

Yang mengejutkan, Bashara Bahbah—utusan AS yang dekat dengan Trump—mengungkapkan bahwa dalam proposal terakhir.

Hamas menawarkan untuk menyerahkan kendali administratif atas Gaza kepada sebuah komite teknokrat sebagai langkah awal menuju penyerahan kekuasaan kepada Otoritas Palestina. Namun, tawaran ini ditolak oleh Israel.

AS pilih senjata ketimbang manusia

Dalam wawancara di program Masar al-Ahdath (Jalur Peristiwa), Warrick membela posisi Israel dan AS dengan menyatakan bahwa meskipun Hamas bersedia melepaskan kekuasaan, mereka tetap menolak melepaskan senjata.

Hal itu, menurutnya, bisa memungkinkan mereka kembali menguasai Gaza kapan saja setelah perang berakhir.

Pernyataan ini bertentangan langsung dengan keterangan Bahbah, yang justru menyebut penolakan Israel terhadap usulan penyerahan Gaza kepada Otoritas Palestina sebagai cerminan niat terselubung untuk mendorong eksodus massal warga sipil.

Pandangan ini sejalan dengan kekhawatiran yang sebelumnya disuarakan oleh banyak negara dan organisasi kemanusiaan internasional.

Di tengah situasi kemanusiaan yang oleh PBB dan lembaga-lembaga internasional digambarkan sebagai salah satu bencana terburuk dalam sejarah modern, Israel justru menghancurkan puluhan ribu ton bantuan kemanusiaan.

Laporan dari media penyiaran Israel menyebut bahwa pasukan militer negara itu memusnahkan makanan dan suplai bantuan lain yang seharusnya diperuntukkan bagi warga Gaza.

Alih-alih mengutuk tindakan tersebut, Presiden Trump justru mempertegas dukungannya terhadap langkah Israel dengan menyatakan bahwa operasi militer harus terus berlanjut hingga Hamas benar-benar dihancurkan.

Militer Israel menyalahkan lembaga-lembaga internasional atas kegagalan distribusi bantuan kemanusiaan, meskipun mereka sendirilah yang menggempur gudang, markas, dan bahkan membunuh staf PBB.

Israel kemudian mengumumkan bahwa bantuan akan dijatuhkan dari udara—kebijakan yang langsung dikritik keras.

Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini menyebut langkah itu sebagai “hanya debu di mata”.

Sedangkan Komite Penyelamatan Internasional (IRC) menggambarkannya sebagai “pengalihan brutal dari kenyataan bahwa Gaza butuh solusi nyata, bukan sandiwara udara.”

Warrick sendiri mengakui bahwa metode pengiriman lewat udara tidaklah efektif. Ia menyarankan pembukaan jalur darat sebagai solusi yang lebih logis, meskipun kembali menegaskan bahwa bantuan harus dipastikan tidak jatuh ke tangan Hamas.

Narasi AS dan Israel bahwa Hamas menyita bantuan juga mendapat bantahan dari pejabat militer Israel sendiri.

Dalam laporan The New York Times, beberapa pejabat Israel menyebut bahwa tidak ada bukti bahwa Hamas mencuri bantuan, dan justru menyayangkan hancurnya sistem distribusi PBB yang sebelumnya dinilai efektif dan terpercaya.

Menurut analis politik Palestina, Iyad al-Qarra, semua ini menunjukkan bahwa Israel tidak tertarik pada stabilitas atau penyelesaian.

“Bantuan yang masuk dalam jumlah kecil hanya diberikan kepada milisi-milisi lokal yang bekerja sama dengan pendudukan,” ujarnya.

Sementara itu, pakar urusan Israel, Ihab Jabareen, menilai bahwa diplomasi Israel telah kehilangan rasionalitas dan berubah menjadi populisme berbalut agama.

Ia menunjuk pada kecenderungan para pemimpin Israel, termasuk Netanyahu, yang kerap mengutip nubuat-nubuat dari Kitab Yesaya dan merujuk pada konsep “teologi militer” yang menyucikan perang, apa pun caranya.

Mitos keagamaan dan strategi genosida

Jabareen memperingatkan bahwa masalah utama bukan lagi sekadar bagaimana bantuan bisa masuk ke Gaza.

Tetapi bahwa perang ini sendiri telah diangkat menjadi semacam “epos Talmudik” yang membenarkan pembunuhan dan pengusiran.

Hal itu berdasarkan keyakinan bahwa tanah itu milik eksklusif “umat pilihan Tuhan,” dan bahwa semua orang di luar kelompok itu dianggap tidak layak hidup di tanah tersebut.

Ia mengingatkan bahwa jika AS gagal menyadari dimensi keagamaan yang mengakar dalam strategi militer Israel saat ini, maka dunia akan menyaksikan konsekuensi jangka panjang yang sangat berbahaya.

Menurut Jabareen, Israel saat ini sedang melepaskan diri dari narasi Holocaust, menggantikannya dengan tafsir keagamaan yang membenarkan kekerasan dan penindasan atas nama keyakinan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular