Tepi Barat Palestina kian tercekik. Di tengah intensitas kekerasan dan perluasan permukiman, para analis menilai Israel semakin dekat dengan langkah pencaplokan resmi wilayah tersebut.
Menurut mereka, ini bukan sekadar ambisi teritorial, melainkan bagian dari rencana strategis dan ideologis yang telah lama dirancang oleh para pemimpin sayap kanan Israel.
Peneliti senior di Pusat Studi Al Jazeera, Dr. Luqman Makki, menilai bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tengah berupaya mewujudkan proyek Zionis klasik.
Proyek tersebut berlandaskan pandangan tokoh ideologis Ze’ev Jabotinsky: mendirikan Israel Raya di kedua sisi Sungai Yordan.
“Telah tiba waktunya bagi Israel untuk mencaplok Tepi Barat. Bagi Israel, wilayah ini adalah persoalan teologis dan kitab suci, sedangkan Gaza adalah isu keamanan—dan itu hanya awal,” kata Makki.
Namun demikian, kendala demografis tetap menjadi tantangan utama bagi Israel. Jumlah penduduk Palestina yang besar di Tepi Barat, khususnya di kota-kota seperti Jenin, Tulkarm, dan Tubas, dianggap menjadi hambatan bagi upaya integrasi penuh wilayah ini ke dalam negara Israel.
Berdasarkan data Otoritas Palestina untuk Perlawanan terhadap Tembok dan Permukiman, terjadi sekitar 1.700 insiden kekerasan oleh tentara Israel dan pemukim selama bulan April 2024 di berbagai wilayah Tepi Barat.
Para pemukim yang dipersenjatai secara penuh melakukan penyerangan sistematis untuk mengisolasi komunitas Palestina dan memperluas kontrol atas lahan.
Analis urusan Israel, Dr. Muhannad Mustafa, mencatat bahwa percepatan pembangunan permukiman mengalami lonjakan signifikan sejak perang Gaza dimulai.
Hal itu didorong oleh ekspektasi bahwa pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump akan mendukung pencaplokan Tepi Barat.
Pada 2024, sekitar 10.000 unit permukiman telah disetujui, jumlah yang setara dengan total selama tiga bulan pertama tahun tersebut saja.
Menurut Mustafa, para pemukim melihat momen ini sebagai peluang historis untuk mengubah struktur geografis, demografis, dan hukum Tepi Barat secara menyeluruh.
Ia juga menyebut Menteri Keuangan Bezalel Smotrich sebagai “penguasa sipil dan nyata” atas wilayah itu.
Dalam pandangan penulis dan analis politik Muhammad Al-Qeeq, semua yang terjadi di lapangan adalah bagian dari perencanaan sistematis yang didukung penuh oleh pemerintahan Netanyahu.
Ia menyebut bahwa baik Smotrich maupun Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir adalah dua pilar utama dalam kabinet Netanyahu yang mendorong arah kebijakan menuju “negara bagi para pemukim”.
Menurutnya, percepatan tindakan para pemukim berkaitan erat dengan proyek perluasan Israel atas biaya rakyat Palestina dan negara-negara tetangga.
Ia menilai bahwa Netanyahu tidak memiliki pilihan lain selain mempertahankan aliansinya dengan tokoh-tokoh ekstrem sayap kanan tersebut.
Sejak 7 Oktober 2023, serangan militer dan pemukim di Tepi Barat telah menyebabkan sekitar 1.000 warga Palestina gugur, 7.000 terluka, dan lebih dari 17.000 ditangkap, menurut data otoritas Palestina.
Apa yang dapat diharapkan?
Al-Qeeq memperkirakan bahwa peningkatan jumlah pos permukiman ilegal akan disertai dengan eskalasi kekerasan terhadap warga Palestina, lebih banyak penggerebekan militer, dan pembatasan lebih besar terhadap desa-desa yang berdekatan dengan tembok pemisah.
Pemerintah Israel juga kemungkinan akan memperluas operasi militer ke kamp-kamp pengungsi.
Namun demikian, menurut Mustafa, proyek sayap kanan Israel di Tepi Barat tidak sepenuhnya tanpa tantangan.
Selain masalah demografi, ada upaya untuk mengubah citra permukiman menjadi bersifat ekonomi alih-alih ideologis, guna menarik lebih banyak warga Yahudi yang sebelumnya enggan menetap di wilayah itu.
Menariknya, ekspektasi akan munculnya intifada besar-besaran di Tepi Barat tidak terwujud, yang malah mendorong pihak sayap kanan untuk melaju lebih agresif.
Netanyahu disebut sedang meniru model Gaza untuk menghancurkan kamp-kamp di Tepi Barat secara militer, serta mempercepat penyelesaian melalui pembangunan permukiman.
Respons Arab dan internasional
Makki menekankan bahwa proyek ini bukan hanya ancaman bagi Palestina, tapi juga bagi Yordania.
“Jika proyek sayap kanan Israel berhasil, maka itu akan terjadi atas kerugian eksistensial bagi Yordania dan keamanannya,” tegasnya.
Ia menyerukan kepada negara-negara Arab, terutama yang menjalin hubungan dengan Israel, agar menekan Washington dan mengambil tindakan konkrit.
Ia mengingatkan bahwa diam terhadap apa yang terjadi hanya akan memperparah krisis.
Di sisi internasional, Makki mencatat bahwa fragmentasi wilayah Tepi Barat tidak banyak memicu penolakan serius dari Barat, kecuali beberapa sanksi simbolik terhadap pemukim ekstrem.
Sementara itu, Al-Qeeq menyoroti kebimbangan posisi Eropa yang terjepit antara tekanan Amerika dan kekhawatiran akan migrasi besar-besaran dari kawasan.
Dalam pandangannya, kartu permainan tidak lagi berada di tangan rakyat Palestina, tetapi di tangan kekuatan kepentingan global.
Hal itu bergerak dinamis di tengah persaingan Amerika–Eropa dan fokus geopolitik baru terhadap Ukraina dan Rusia.
Pencaplokan Tepi Barat oleh Israel bukan lagi sekadar wacana, tetapi sebuah proyek terstruktur yang dijalankan dengan kekuatan militer, dukungan politik ekstrem, dan pembenaran ideologis.
Di tengah ketidakpastian regional dan global, nasib Tepi Barat dan rakyat Palestina kini terletak di persimpangan jalan antara perlawanan yang tak seimbang dan permainan kekuasaan internasional yang terus berubah.