Friday, July 25, 2025
HomeBeritaANALISIS - Dunia ikut bertanggung jawab atas kelaparan Gaza jika tak bongkar...

ANALISIS – Dunia ikut bertanggung jawab atas kelaparan Gaza jika tak bongkar blokade Israel

Seruan internasional untuk menyelamatkan rakyat Palestina di Gaza telah kehilangan maknanya.

Di tengah bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dunia resmi, baik global maupun regional, tetap bungkam atas kejahatan sistematis yang dilakukan Israel terhadap lebih dari 2 juta warga sipil.

Mereka terjebak dan mati perlahan akibat kelaparan yang disengaja dan terstruktur—dengan dukungan penuh Amerika Serikat.

Selama berbulan-bulan, tidak satu pun pernyataan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Kesehatan Dunia, atau berbagai pelapor dan lembaga HAM di bawah payung PBB mampu menjamin masuknya sepotong roti pun ke Jalur Gaza.

Kelaparan menyeluruh kini benar-benar melanda, dengan wilayah tersebut telah memasuki fase kelima dari malnutrisi parah.

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut situasi di Gaza sebagai “kengerian yang tak tertandingi dalam sejarah modern”, memperingatkan bahwa “kelaparan telah mengetuk setiap pintu”.

Namun, unjuk rasa dan kampanye publik yang berlangsung di berbagai negara belum mampu menggoyahkan pemerintah-pemerintah dunia yang tetap memilih jalan diplomasi lunak—sekadar menyatakan “peninjauan ulang” hubungan dengan Israel tanpa tindakan konkret.

Sanksi sebagai jalan keluar

Ketika berbagai lembaga internasional telah menegaskan bahwa Israel secara sistematis menyebabkan kelaparan massal di Gaza.

Satu-satunya langkah nyata untuk menghentikannya, menurut Pelapor Khusus PBB untuk wilayah pendudukan Palestina, Francesca Albanese, adalah menjatuhkan sanksi terhadap Israel dan menghentikan seluruh kerja sama ekonomi dan militer dengannya.

Namun, tanggung jawab moral dan hukum tidak berhenti pada Israel semata. Albanese menekankan bahwa semua negara yang memiliki akses laut ke Mediterania—berdasarkan hukum internasional—wajib mengerahkan armada untuk mengirim bantuan pangan, obat-obatan, dan susu bayi ke Gaza.

Dalam wawancaranya dengan program “Masar al-Ahdath” (Arah Peristiwa), ia menegaskan bahwa keengganan negara-negara tersebut juga menjadikan mereka ikut bertanggung jawab atas tragedi yang terjadi.

Lebih dari itu, Francesca Albanese menyebut keterlibatan Amerika Serikat dalam genosida Israel terhadap rakyat Palestina bukanlah hal baru.

“AS mendukung ini sejak 1967,” tegasnya.

Ia juga sambil mengkritik keras sikap negara-negara Arab yang terus membisu.

Meski Mahkamah Internasional telah menyatakan adanya kemungkinan serius terjadinya genosida di Gaza, banyak negara tetap menjadikan isu ini sekadar bahan diskusi politik, bukan sebagai panggilan moral untuk bertindak segera.

Preseden menunjukkan bahwa tekanan internasional bisa berdampak. Saat Asosiasi Dokter Inggris menghentikan kerja sama dengan asosiasi dokter Israel, sikap lembaga medis di Israel pun berubah.

Hal serupa terjadi di kalangan akademisi, yang mulai terisolasi akibat boikot global.

Namun, AS tetap menomorsatukan “keamanan” di atas bantuan kemanusiaan. Washington menganggap akar dari krisis kemanusiaan adalah konflik bersenjata, dan menuding Hamas sebagai penyebab utama penderitaan warga Gaza.

Mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS, Thomas Warrick, bahkan menegaskan bahwa Hamas yang bersalah karena “menolak setiap usulan gencatan senjata”.

Ironisnya, Warrick mengabaikan fakta bahwa Hamas telah menerima proposal Amerika sejak Maret lalu—sebagaimana disampaikan pejabat Israel sendiri.

Termasuk Menteri Pertahanan Israel Katz yang terang-terangan menyebut bantuan kemanusiaan sebagai “alat tekanan politik”.

Kendati mengakui bahwa Israel tidak melakukan cukup untuk mengalirkan bantuan ke Gaza, Warrick tampak tak tergugah oleh kenyataan bahwa ratusan warga sipil gugur setiap hari. Baginya, yang lebih penting adalah menjauhkan Hamas dari masa depan Gaza.

Penolakan realitas oleh Israel

Sementara itu, militer Israel terus menyangkal keterlibatannya dalam krisis kelaparan. Mereka menyebut semua tuduhan sebagai “propaganda Palestina”, bahkan menuduh bahwa cuplikan visual kelaparan yang beredar berasal dari Yaman, bukan Gaza.

Hal ini disampaikan oleh pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa.

Sejumlah analis Israel juga mengungkap bahwa dalam narasi resmi, rakyat Palestina tidak dianggap sebagai manusia setara.

Bahkan, sebagian yang menentang operasi militer darat Israel terbaru di Deir al-Balah bukan karena empati terhadap dua juta warga yang terperangkap, melainkan karena kekhawatiran terhadap nasib 20 tawanan Israel yang masih hidup.

Francesca Albanese menyatakan bahwa Israel dengan sengaja telah menghentikan bahkan makanan dasar sejak Maret lalu.

“Tidak jelas apa yang ingin dicapai negara-negara yang memilih diam atas semua ini,” katanya.

Bahkan ide untuk mengirim bantuan secara paksa ke Gaza masih sulit diwujudkan tanpa keberanian kolektif komunitas internasional—yang sebagian besar terus berada di bawah pengaruh kebijakan AS.

Hal ini ditegaskan analis politik Sari Orabi, yang mengingatkan bahwa 56 negara Arab dan Islam belum menjalankan satu pun janji yang diumumkan dalam KTT Riyadh satu setengah tahun lalu.

Menurut Orabi, banyak dari negara-negara tersebut bahkan menindak warganya sendiri yang mencoba menunjukkan solidaritas, termasuk Otoritas Palestina yang berkuasa di Tepi Barat.

Ia juga menyebut Mesir—yang memiliki perbatasan langsung dengan Gaza—tak menunjukkan inisiatif apa pun untuk mengubah realitas kemanusiaan di wilayah tersebut.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular