Thursday, March 6, 2025
HomeBeritaAnalisis Haaretz sebut Hamas ungguli militer Israel dalam Taufan Al Aqsa

Analisis Haaretz sebut Hamas ungguli militer Israel dalam Taufan Al Aqsa

Sebuah analisis baru dari surat kabar Haaretz yang diterbitkan Selasa ini menyoroti serangkaian kegagalan besar yang dialami militer Israel.

Mereka dianggap gagal dalam menghadapi serangan “Taufan Al-Aqsa” yang dilancarkan oleh perlawanan Palestina pada 7 Oktober 2023.

Analisis yang ditulis oleh analis militer surat kabar tersebut, Amos Harel, didasarkan pada investigasi parsial yang dilakukan oleh para perwira aktif dan cadangan dengan pangkat antara kolonel dan letnan kolonel di militer Israel.

Hasilnya menunjukkan bahwa investigasi ini mengungkap serangkaian kesalahan strategis dan taktis yang menyebabkan salah satu kekalahan militer terburuk dalam sejarah Israel.

Analisis ini juga menggambarkan gambaran suram mengenai menurunnya standar keamanan dan prosedur pertahanan di sepanjang perbatasan Gaza.

Runtuhnya garis pertahanan depan dengan cepat

Harel berpendapat bahwa serangan yang dilakukan oleh Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, terhadap Kibbutz Kfar Gaza dan Kamp Militer Nahal Oz menyebabkan ratusan korban tewas dan terluka di pihak Israel. Selain itu, terjadi juga penculikan besar-besaran,

“Menunjukkan bahwa kegagalan ini bukan sekadar akibat elemen kejutan, tetapi berakar pada melemahnya kepatuhan terhadap prosedur militer dasar, yang mengarah pada runtuhnya garis pertahanan Israel dengan cepat,” tulisnya.

Analis militer ini mengungkap bahwa Hamas memanfaatkan lemahnya kesiapan militer Israel di perbatasan.

Serangan yang dilakukan secara serentak berhasil melumpuhkan kemampuan unit pertahanan Israel dalam jam-jam pertama.

Pada waktu itu, permukiman dan pangkalan militer mengalami kekurangan pasukan terlatih dan siap bertempur.

“Sebagai contoh, di Kibbutz Kfar Gaza, 14 anggota unit darurat menghadapi serangan sengit dari 250 pejuang Palestina, yang menyebabkan separuh dari mereka terbunuh dalam jam-jam pertama. Tidak ada satu pun tentara Israel yang bertugas aktif di dalam kibbutz saat serangan terjadi, kecuali Brigadir Jenderal Yisrael Shomer, yang berada di rumahnya tanpa senjata dan terpaksa bertarung dengan pisau dapur sebelum akhirnya mendapatkan senjata dari salah satu korban tewas,” jelasnya.

Sementara itu, di Kamp Militer Nahal Oz, menurut Harel, situasinya lebih suram.

“Meskipun terdapat sekitar 90 tentara bersenjata, sebagian besar dari Batalyon Golani ke-13,” tambahnya.

Investigasi yang dilakukan militer Israel mengungkap bahwa Hamas menyadari bahwa kamp tersebut merupakan pusat gravitasi penting bagi struktur pertahanan militer Israel.

“Oleh karena itu, katanya, perencana sayap militer Hamas menetapkan waktu 15 menit antara menerobos pagar pembatas dan mencapai tembok tinggi di sekitar kamp,” katanya.

Mereka, lanjutnya, berpegang teguh pada rencana mereka hingga akhirnya kamp tersebut benar-benar jatuh.

Harel menyatakan bahwa persiapan pertahanan di kamp tersebut sangat lemah. Sementara Hamas, yang telah berlatih selama bertahun-tahun untuk menguasai kamp-kamp militer, berhasil menembus pertahanan dengan relatif mudah.

Hamas meluncurkan ratusan roket dan mortir dalam menit-menit pertama serangan, yang memperparah kelumpuhan yang dialami pasukan Israel.

Keunggulan taktis Hamas

Harel menyoroti bahwa investigasi ini menunjukkan bahwa Hamas tidak hanya mengandalkan kejutan militer.

Tetapi, Hamas juga berhasil memaksakan keunggulan taktis melalui koordinasi yang sangat baik antara unit-unitnya.

Hamas mengeksploitasi titik-titik lemah dalam struktur pertahanan Israel.

Misalnya, katanta, di Kamp Militer Nahal Oz, yang menampung sekitar 90 tentara dari Batalyon Golani ke-13, perlawanan Palestina mampu menembus pertahanan karena desain dinding kamp yang memiliki titik-titik lemah yang terekspos.

“Latihan panjang Hamas dalam menguasai kamp-kamp militer menjadi faktor penentu, di mana mereka membangun replika mini dari Kamp Nahal Oz untuk melatih para pejuangnya dalam serangan, yang membantu mereka melaksanakan operasi dengan sangat presisi,” tegas Harel.

Saat serangan dimulai, katanya, Hamas menembakkan ratusan roket dan mortar. Akibatnya, melumpuhkan kemampuan pertahanan tentara Israel dan memaksa banyak dari mereka bersembunyi.

Tentara Israel sendiri mengabaikan ancaman serangan darat yang datang dari arah barat.

Harel juga mengungkap bahwa Hamas telah merencanakan sebelumnya untuk menghambat bala bantuan militer Israel dengan menyiapkan penyergapan di jalan-jalan menuju pemukiman yang menjadi target serangan.

Hal ini secara signifikan memperlambat kedatangan pasukan Israel ke lokasi pertempuran.

Pada saat pasukan cadangan berhasil tiba, Hamas telah mencapai sebagian besar tujuannya, baik dalam hal membunuh, menculik, maupun menghancurkan lokasi-lokasi militer Israel.

“Hamas telah membuktikan kemampuannya dalam melakukan operasi yang kompleks dan multi-dimensi, yang menunjukkan perkembangan signifikan dalam kapasitas militer dan perencanaan strategisnya,” ujarnya.

Tidak ada peringatan intelijen

Investigasi ini juga menunjukkan bahwa militer Israel sebenarnya telah mengetahui beberapa tanda peringatan sebelum serangan terjadi. Tetapi tanda-tanda tersebut tidak ditindaklanjuti dengan serius.

Beberapa laporan intelijen mencatat adanya aktivitas mencurigakan di perbatasan Gaza. Tetapi pimpinan militer mengabaikannya dan tidak meneruskan informasi tersebut ke unit-unit di lapangan.

Analisis Haaretz juga mengungkap bahwa sistem komando dan kontrol militer Israel benar-benar runtuh pada momen-momen krusial. Dampaknya, koordinasi antar-unit menjadi hampir mustahil.

Selain itu, Divisi Gaza dari militer Israel secara praktis dinetralkan dalam 2 jam pertama serangan.

Akhirnya, pasukan di medan tempur berada dalam posisi yang sangat sulit untuk mengatur pertahanan dan melakukan perlawanan yang efektif.

Lebih jauh lagi, investigasi menunjukkan bahwa kegagalan ini bukan hanya terjadi di medan perang. Namun, juga merupakan hasil dari akumulasi kelalaian dalam persiapan pertahanan selama bertahun-tahun.

Terdapat banyak kekurangan dalam peralatan militer, di mana unit-unit Israel tidak memiliki persediaan granat tangan, rudal anti-tank, dan senapan mesin yang cukup untuk menghadapi serangan skala besar.

Analis militer Haaretz menegaskan bahwa laporan investigasi ini adalah salah satu laporan paling jujur yang mengakui besarnya kegagalan yang dihadapi militer Israel pada 7 Oktober 2023.

“Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa tentara Israel tidak siap menghadapi serangan terkoordinasi semacam ini, dan budaya ketidaksigapan serta kelalaian dalam prosedur militer menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan bencana ini,” katanya.

Harel menyimpulkan bahwa terjadi penurunan signifikan dalam kapabilitas militer Israel. Ia mengutip pernyataan salah satu penyelidik yang mengatakan, “Kami di militer Israel telah melupakan cara bertahan.”

Dia menambahkan bahwa investigasi ini juga menunjukkan bahwa pasukan Israel tidak siap menghadapi skenario ekstrem. Sejumlah lebih dari 5.000 pejuang bersenjata menyerang lebih dari 100 titik di perbatasan Gaza.

“Ketika bencana mulai terjadi di depan mata mereka, para pemimpin militer Israel kesulitan membayangkan kemungkinan terburuk yang masih menanti mereka,” tulisnya.

Analisis ini menutup dengan menekankan bahwa kepemimpinan militer Israel kini menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali kepercayaan di dalam tubuh militer dan di kalangan masyarakat Israel, setelah investigasi yang terus berlangsung mengungkap lebih banyak detail mengejutkan tentang betapa rapuhnya sistem pertahanan di perbatasan Gaza.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular