Peringatan ke-38 berdirinya Hamas hadir di tengah situasi yang sangat kompleks, baik bagi perjuangan Palestina secara umum maupun bagi Hamas secara khusus.
Gerakan ini masih berupaya memulihkan diri setelah perang brutal yang selama dua tahun terakhir menargetkan struktur organisasi, kekuatan militer, serta eksistensi politiknya.
Meski Hamas berhasil bertahan menghadapi perang panjang yang bertujuan mencabut dan menyingkirkannya dari panggung politik dan militer Palestina, tantangan besar masih membayangi perjalanan gerakan ini.
Tantangan-tantangan tersebut menghambat kelanjutan proyek perjuangan yang sejak awal berdirinya, pada 1987, berlandaskan perlawanan dan pembebasan.
Dalam konteks ini, Direktur Pusat Studi Politik Palestina, Rami Khreis, menilai bahwa peringatan berdirinya Hamas tahun ini jatuh pada momen yang luar biasa rumit.
Ia menyoroti bahwa lebih dari dua tahun telah berlalu sejak perang pemusnahan di Jalur Gaza, yang disertai eskalasi di Tepi Barat, serta 2 tahun sejak Operasi Thufan Al-Aqsha.
Perang tersebut, menurutnya, telah merenggut nyawa sejumlah besar pemimpin dan kader utama Hamas.
Tantangan yang saling bertaut
Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, Khreis menjelaskan bahwa Hamas menghadapi serangkaian tantangan internal yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tantangan-tantangan tersebut antara lain:
- Kebutuhan mendesak untuk melakukan restrukturisasi internal, termasuk penataan ulang barisan dan kepemimpinan organisasi, guna menutup kekosongan yang ditinggalkan oleh gugurnya banyak pemimpin gerakan.
- Tantangan internal berupa upaya menjaga semangat dan moral kader, terutama di kalangan generasi muda, menyusul besarnya korban jiwa yang dialami Hamas selama perang.
- Tantangan keamanan dan militer yang masih sangat kuat, seiring berlanjutnya ancaman langsung dari Israel, termasuk kebijakan pembunuhan terencana atau operasi pembunuhan tokoh-tokoh penting gerakan.
- Tekanan politik dan sosial yang kian menguat, khususnya di tengah berlanjutnya perpecahan internal Palestina yang berdampak luas pada kondisi politik secara keseluruhan.
- Tekanan internasional dan media yang masif, dalam kerangka kampanye Israel untuk mencemarkan citra Hamas dan mereduksi legitimasi politiknya di mata dunia.
- Tantangan dalam mengelola hubungan dan aliansi regional, serta kebutuhan untuk menyeimbangkan relasi dengan berbagai aktor berpengaruh di kawasan.
- Tantangan simbolik dan moral yang tidak kalah penting, yakni menjaga citra Hamas sebagai kekuatan perlawanan yang efektif, khususnya di hadapan generasi baru di Jalur Gaza.
Prioritas Hamas ke depan
Tantangan-tantangan yang dipaparkan Khreis tersebut beriringan dengan pidato Ketua Hamas di Gaza, Khalil Al-Hayya.
Dalam pidatonya, Al-Hayya memaparkan prioritas gerakan untuk fase mendatang dalam menghadapi risiko dan ancaman yang menyelimuti perjuangan Palestina.
Ia menegaskan komitmen Hamas untuk terus mendorong langkah-langkah penghentian perang, sekaligus mengintensifkan upaya bantuan kemanusiaan.
Tujuannya, guna mengakhiri penderitaan rakyat Gaza dan menekan krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh perang pemusnahan.
Al-Hayya juga menyerukan pentingnya kerja bersama seluruh kekuatan dan faksi Palestina demi mewujudkan persatuan nasional dan membangun referensi nasional yang inklusif.
Selain itu, ia menekankan perlunya gerak aktif di tingkat regional dan internasional, termasuk menjalin komunikasi dengan kekuatan global.
Tujuannya, untuk memperluas dukungan terhadap perjuangan Palestina, mengakhiri pendudukan, dan mewujudkan kemerdekaan nasional.
Dalam pidatonya, Al-Hayya juga mendorong optimalisasi seluruh potensi media untuk terus mengungkap dan mengekspos kejahatan pendudukan Israel di Gaza, Tepi Barat, Yerusalem, serta di dalam penjara-penjara Israel.
Ia menegaskan pentingnya upaya hukum untuk mengejar Israel, mengisolasinya secara politik, serta mengadili para pemimpinnya di pengadilan internasional atas kejahatan perang yang mereka lakukan.
Isu tahanan Palestina, menurutnya, harus tetap menjadi prioritas utama Hamas dan faksi-faksi perlawanan, disertai upaya meningkatkan kondisi kemanusiaan mereka sebagai bagian dari jalan menuju pembebasan total.
Mengelola fase berikutnya
Pandangan serupa disampaikan penulis dan analis politik Palestina, Wissam Afifa.
Ia sependapat bahwa Hamas menghadapi tantangan dan prioritas besar pascaperang pemusnahan, yang ditandai oleh kelelahan sumber daya manusia dan tekanan keamanan akibat pembunuhan tokoh-tokohnya serta intensitas tekanan intelijen.
Afifa menilai Hamas juga menghadapi tekanan politik yang bertujuan menyingkirkannya dari pemerintahan Gaza dalam skema “hari setelah perang”.
Menurutnya, penanganan tantangan tersebut mensyaratkan pemisahan yang jelas antara peran Hamas sebagai gerakan politik dan pengelolaan pemerintahan.
Ia mengusulkan penerimaan pemerintahan sipil teknokratis Palestina yang memiliki kredibilitas, serta pengelolaan isu persenjataan sebagai tahapan sementara yang bersifat kondisional.
Pembekuan senjata, katanya, hanya dapat dilakukan dengan jaminan politik dan keamanan yang jelas, bukan melalui pelucutan sepihak.
Afifa juga menekankan perlunya mengaitkan setiap pengaturan keamanan dengan perlindungan warga sipil, pembukaan perlintasan, kepulangan para pengungsi, serta proses rekonstruksi Gaza.
Selain itu, ia menyerukan perluasan kesepakatan nasional internal dan adopsi narasi eksternal yang berfokus pada gencatan senjata jangka panjang dan jalur politik dengan jaminan nyata.
Tujuannya, agar Hamas tidak terjebak dalam skenario pengucilan atau perang pengurasan tanpa akhir.


