Serangkaian perkembangan terbaru membuka peluang bagi Israel untuk membatalkan atau setidaknya mengubah status surat penangkapan yang dikeluarkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Galant.
Hal ini disampaikan oleh kolumnis Israel Yahiel Gutman dalam tulisannya di harian Maariv.
Sebagaimana diketahui, pada November lalu ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap keduanya atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama agresi Israel ke Jalur Gaza.
Keputusan tersebut menjadikan negara-negara anggota ICC berkewajiban secara hukum untuk menangkap dan menyerahkan Netanyahu serta Galant jika keduanya memasuki wilayah yurisdiksi negara tersebut.
Gutman memperingatkan agar Israel tidak meremehkan dampak serius dari keputusan ICC tersebut.
Menurutnya, surat perintah itu membawa konsekuensi jangka panjang terhadap posisi internasional Israel dan juga terhadap kemampuan negara tersebut untuk melanjutkan operasinya di masa mendatang.
Dampak nyata
Sejak keputusan itu diumumkan, Netanyahu secara signifikan mengurangi kunjungan luar negerinya, kecuali ke Amerika Serikat (AS) dan Hongaria—yang telah menarik diri dari keanggotaan ICC.
Di sisi lain, sejumlah negara Uni Eropa serta Kanada mulai menyerukan sanksi terhadap Israel terkait situasi kemanusiaan di Gaza.
Gutman mencatat bahwa absennya kontak langsung dan personal antara Netanyahu dan para pemimpin negara-negara Barat semakin kentara. Hal ini mengindikasikan isolasi diplomatik yang perlahan tetapi nyata.
Perkembangan luar biasa
Meski demikian, Gutman menyoroti adanya sejumlah perkembangan yang dapat menjadi celah bagi Israel.
Salah satu di antaranya adalah kebijakan keras yang diterapkan pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump terhadap ICC, termasuk sanksi yang membuat sebagian aktivitas lembaga tersebut lumpuh.
Menurut Gutman, bahkan staf berkewarganegaraan AS yang bekerja di ICC sempat menerima peringatan bahwa mereka bisa ditangkap jika kembali ke AS.
Selain itu, beberapa organisasi non-pemerintah internasional menghentikan kerja samanya dengan ICC.
Di samping itu, Gutman mencatat bahwa Jaksa ICC, Karim Khan—yang memimpin proses penerbitan surat penangkapan—saat ini sedang menjalani cuti sementara akibat tuduhan pelanggaran etika seksual. Situasi ini disebutnya sebagai peluang bagi Israel.
Gutman juga mengklaim bahwa majelis banding ICC telah menerima sebagian gugatan yang diajukan Israel terhadap surat penangkapan tersebut, dan telah memerintahkan diskusi tambahan terkait yurisdiksi ICC dalam menangani warga negara Israel.
Ia menyebut bahwa perkembangan ini bisa dimanfaatkan untuk mendorong penggantian surat penangkapan dengan “surat pemanggilan” yang hanya mengharuskan Netanyahu dan Galant hadir dan bekerja sama dengan proses hukum, tanpa ancaman penahanan langsung.
Peluang emas
Gutman menekankan pentingnya Israel memanfaatkan momen ini. Ia menyebut bahwa harga dari surat penangkapan sangat mahal, tidak hanya secara simbolik, tetapi juga secara hukum.
Potensi dampaknya bisa meluas ke ranah hukum domestik di berbagai negara, termasuk terhadap prajurit Israel.
Namun demikian, posisi resmi ICC menunjukkan arah yang berbeda. Bulan lalu, ICC menolak permintaan Israel untuk menangguhkan pelaksanaan surat penangkapan, dengan menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang cukup untuk menerima permohonan tersebut.
Penolakan tersebut menjadi sinyal kuat bahwa ICC tetap teguh pada proses hukumnya, terlepas dari tekanan politik maupun banding yang diajukan Israel.
Sejumlah pakar hukum menegaskan, pembatalan surat penangkapan mustahil dilakukan selama kejahatan yang dituduhkan masih berlangsung dan bukti-bukti yang diajukan belum gugur.