Monday, July 28, 2025
HomeBeritaANALISIS - Ini yang disembunyikan Israel di balik izin masuk bantuan ke...

ANALISIS – Ini yang disembunyikan Israel di balik izin masuk bantuan ke Gaza

Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan menutup rapat akses ke Gaza, otoritas Israel mengumumkan pada Minggu pagi bahwa mereka akan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut.

Bantuan akan dikirim melalui jalur udara serta koridor darurat sementara, menyusul tekanan internasional yang kian tak terbendung dan peringatan akan ancaman kelaparan massal yang kian nyata di Jalur Gaza.

Namun, di balik langkah yang sekilas tampak sebagai bentuk kemurahan hati, tersimpan dimensi strategis dan politik yang erat kaitannya dengan tekanan internasional yang dialami Israel, serta dinamika perang yang masih berlangsung di beberapa front.

Di bawah tekanan dunia

Selama dua pekan terakhir, peringatan keras terus berdatangan dari berbagai lembaga internasional mengenai ancaman kelaparan yang meluas di Gaza.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Komite Palang Merah Internasional, dan Organisasi Kesehatan Dunia — bersama lebih dari 200 lembaga lokal dan internasional — melaporkan keruntuhan total dalam distribusi pangan dan air bersih, terutama di wilayah Deir al-Balah, Khan Younis, dan selatan Kota Gaza.

Laporan terbaru Deutsche Welle mengutip pernyataan pejabat Program Pangan Dunia, yang menyebut situasi di Gaza sebagai “bencana kemanusiaan berlapis”.

Angka kekurangan gizi pada anak-anak meningkat tiga kali lipat sejak Juni. Beberapa wilayah bahkan sama sekali tidak menerima suplai makanan selama berminggu-minggu.

Tanggapan keras datang dari 25 negara, yang secara terbuka mendesak Israel untuk segera mencabut blokade dan memperlancar aliran bantuan ke Gaza.

Negara-negara tersebut menolak segala bentuk upaya untuk mengubah komposisi demografis wilayah Palestina yang diduduki, dan mengecam pembunuhan warga sipil, termasuk anak-anak.

Organisasi Oxfam juga menuntut Israel menghentikan penggunaan pangan sebagai senjata perang, menyebut blokade menyeluruh yang terus diberlakukan sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan”.

Tekanan itu mengarah langsung ke jantung diplomasi Israel. Prancis dan Jerman termasuk negara yang secara eksplisit mengancam akan meninjau kembali kerja sama dagang dan militer.

Hal itu dilakukan jika Israel tidak segera mengambil langkah nyata untuk menghindari keruntuhan total sistem kesehatan dan ketahanan pangan di Gaza.

Financial Times melaporkan bahwa para pejabat Uni Eropa telah memperingatkan Israel bahwa krisis kemanusiaan sebesar ini akan menggerus legitimasi dukungan politik dan militer dari Barat.

Citra di ambang runtuh

Makin buruknya kondisi di Gaza telah memicu reaksi moral internasional yang tajam.

Sorotan media global atas kelaparan dan kehancuran memaksa banyak pihak kembali mempertanyakan tanggung jawab hukum Israel sebagai kekuatan pendudukan menurut hukum internasional.

Menjelang sidang khusus Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa, yang akan membahas blokade atas Gaza sebagai potensi kejahatan terhadap warga sipil, Israel dituntut untuk memperbaiki citranya yang terpuruk.

Situs berita Amerika Axios melaporkan bahwa Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) mendesak Israel untuk mengambil “langkah-langkah darurat”.

Tujuannya, guna menunjukkan respons kemanusiaan. Mereka memperingatkan bahwa kelanjutan blokade total hanya akan menyulitkan dukungan politik dari Barat dan menguatkan kelompok-kelompok penentang Israel di AS dan Eropa.

Dalam konteks ini, keputusan membuka sebagian jalur bantuan dibaca sebagai strategi untuk mengurangi tekanan moral terhadap Israel,

Selain itu, juga menunjukkan kepada dunia bahwa mereka “bersedia membantu ketika keadaan mendesak”, tanpa sepenuhnya meninggalkan prioritas militer.

Namun, bagi rakyat Gaza dan otoritas Palestina, langkah Israel itu tidak cukup.

Dalam pernyataannya, Hamas menuduh Israel sedang mencoba “memutihkan citra” dan menghindar dari tanggung jawab atas kebijakan kelaparan yang mereka terapkan sejak awal perang.

Hamas menyebut langkah Israel sebagai bagian dari “manajemen kelaparan”, bukan upaya penghentian krisis.

Hamas juga menganggap pengiriman bantuan lewat udara sebagai manuver “menyesatkan” untuk menghindari desakan agar blokade dicabut sepenuhnya.

Mereka mengklaim bahwa lebih dari 1.000 warga Gaza telah meninggal dunia akibat kelaparan yang disengaja.

Menurut Hamas, kontrol penuh Israel atas alur bantuan — baik melalui jalur darat maupun udara — tetap membahayakan keselamatan warga sipil.

Mereka menyerukan penghentian agresi dan pembukaan penuh perlintasan darat di bawah pengawasan PBB.

Mereka juga mengingatkan masyarakat internasional agar tidak terperangkap dalam narasi “kemanusiaan semu” dari Israel.

Di pihak lain, Kantor Media Pemerintah Gaza kembali menegaskan bahwa untuk menghindari bencana yang lebih besar, dibutuhkan sedikitnya 600 truk bantuan setiap harinya.

Mereka menyebut solusi sesungguhnya bukan pada distribusi simbolis atau terbatas, melainkan pada pembukaan total semua jalur bantuan dan penghapusan blokade yang telah berlangsung selama hampir dua dekade.

Gambaran baru militer Israel

Dalam beberapa pekan terakhir, tekanan terhadap militer dan pemerintahan Israel meningkat tajam di dalam negeri.

Kritik diarahkan pada kegagalan menyelesaikan perang di Gaza secara cepat dan kegagalan dalam mengembalikan tawanan yang ditahan oleh Hamas.

Dalam upaya memperbaiki citra yang kian tergerus di mata internasional, pemerintah Israel memutuskan untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan melalui jalur udara dan pembukaan koridor darat sementara.

Langkah ini dilakukan secara terkoordinasi dengan lembaga internasional seperti UNRWA dan Program Pangan Dunia (WFP), untuk menampilkan kembali citra “militer yang bermoral”.

Menurut harian Yedioth Ahronoth, keputusan ini diambil dalam pertemuan keamanan terbatas yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, bersama Menteri Keamanan Israel Katz dan Kepala Staf Eyal Zamir.

Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa “pemberian akses terbatas bagi bantuan tidak akan mengganggu operasi militer, bahkan justru bisa memperbaiki citra Israel di mata dunia.”

Seorang sumber militer yang dikutip media yang sama menegaskan bahwa lokasi-lokasi pengiriman bantuan lewat udara “telah dipilih secara hati-hati, jauh dari titik pertempuran”.

Hal ini menunjukkan bahwa langkah ini “tidak menjadi bagian dari kesepakatan politik apa pun dengan Hamas.”

Selain aspek pencitraan, keputusan Israel kali ini juga dipandang sebagai langkah politis untuk menggeser dominasi Mesir dan Qatar dalam proses negosiasi kemanusiaan dengan Gaza.

Israel mengambil jalur bantuan di luar kerangka kesepakatan tiga pihak tradisional, dan melakukannya berdasarkan syarat yang ditetapkannya sendiri — tanpa merujuk pada mediator Arab.

Langkah ini membawa pesan ganda: Israel ingin menunjukkan bahwa keputusan kemanusiaan dapat diambil secara sepihak tanpa tekanan eksternal.

Hal itu juga ekaligus mencoba mendefinisikan ulang peran lembaga internasional sebagai pihak netral dalam distribusi bantuan, alih-alih bergantung pada dorongan politik para mediator regional.

Dalam wawancara yang dikutip Times of Israel, seorang pejabat dari otoritas militer Koordinasi Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT) menyatakan bahwa Israel tidak pernah melarang masuknya truk bantuan, tetapi PBB yang gagal dalam pendistribusian.

“Kini kami sedang mendefinisikan ulang siapa sebenarnya mitra yang bertanggung jawab dalam proses kemanusiaan,” katanya.

Senjata kelaparan

Meski telah membuka koridor bantuan, Israel belum menunjukkan tanda-tanda penghentian ofensif militer.

Sebaliknya, dalam pernyataan resmi, komando militer menegaskan bahwa mereka “akan terus menggempur infrastruktur terorisme,” dan bahwa bantuan kemanusiaan “tidak berarti perubahan dalam aturan pertempuran.”

Hal ini menegaskan bahwa langkah hari ini tidak bisa dibaca sebagai perubahan strategi perang, melainkan hanya manuver taktis untuk meredakan tekanan internasional dengan tetap mempertahankan kendali politik dan militer penuh di lapangan.

Israel tampaknya ingin menyeimbangkan antara tekanan militer dan kelonggaran kemanusiaan terbatas.

Sebagai cara menunda ledakan diplomatik global tanpa memberikan konsesi berarti dalam hal politik atau negosiasi.

Oleh karena itu, pembukaan jalur bantuan kemanusiaan oleh Israel lebih tepat dibaca sebagai langkah terpaksa yang dipicu oleh tekanan diplomatik dan kebutuhan taktis.

Ini bukanlah perubahan mendasar dalam kebijakan, sebab penggunaan kelaparan sebagai senjata tetap menjadi bagian dari strategi militer yang enggan ditanggalkan.

Beberapa pengamat memperkirakan bahwa bantuan ini tidak akan terorganisasi dengan baik.

Justru, kemungkinan besar akan dijadikan alat oleh militer Israel untuk menambah kekacauan di lapangan, yang pada akhirnya menghambat distribusi kepada warga yang benar-benar membutuhkan.

Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, memperingatkan bahwa pengiriman bantuan lewat udara hanyalah “pengalih perhatian” dari tragedi sesungguhnya, dan takkan menghentikan krisis kelaparan.

Ia menyebut metode ini justru membahayakan nyawa warga sipil yang kelaparan dan bisa menyebabkan jatuhnya korban jiwa lebih lanjut.

Dengan demikian, meskipun langkah ini penting untuk menunda keruntuhan total sektor kemanusiaan di Gaza, namun tetap bersifat terbatas dan rapuh.

Tidak ada jaminan kesinambungan bantuan, apalagi jika tidak dibarengi dengan kemauan politik sejati untuk mengubah pendekatan militer dan membuka jalan bagi solusi diplomatik yang adil dan permanen.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular