Amerika Serikat (AS) tengah menyusun mekanisme baru yang melibatkan perusahaan-perusahaan swasta guna mengoordinasikan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Langkah ini dilakukan di tengah blokade total Israel yang telah berlangsung selama tiga bulan, sementara ancaman kelaparan besar mulai membayangi seluruh wilayah tersebut.
Mekanisme baru tersebut akan dikelola oleh sebuah lembaga amal swasta yang baru dibentuk, Gaza Humanitarian Foundation (GHF).
Tujuan utamanya adalah mendistribusikan makanan dan kebutuhan pokok dalam kerangka upaya bersama AS dan Israel untuk mengambil alih kendali atas sistem distribusi bantuan kemanusiaan.
Sejumlah laporan media yang mengutip citra satelit menyebut bahwa Israel tengah menyiapkan serangkaian lokasi yang akan difungsikan sebagai pusat distribusi bantuan.
Dalam rencana yang diumumkan oleh Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, pada Jumat lalu, GHF akan mendirikan empat titik distribusi yang dirancang untuk melayani kebutuhan sekitar 1,2 juta jiwa—sekitar 60 persen dari total populasi Gaza.
Pengamanan lokasi-lokasi distribusi tersebut akan dilakukan oleh kontraktor keamanan swasta asal Amerika.
Untuk menerima bantuan, warga Gaza akan diarahkan untuk berpindah ke wilayah selatan, ke zona khusus yang telah dikurung oleh militer Israel.
Meski demikian, rincian terkait pendanaan, pelaksana teknis di lapangan, maupun kerangka waktu implementasi rencana tersebut belum diungkapkan.
Di sisi lain, ketersediaan pasokan bantuan di Gaza kian menipis akibat blokade ketat yang tidak kunjung mereda.
“Seluruh rencana ini mustahil untuk dilaksanakan,” ujar Ahmed Bayram, Penasihat Media Regional Timur Tengah dan Afrika Utara dari Norwegian Refugee Council (NRC), kepada The New Arab.
Ia menambahkan bahwa rencana tersebut menciptakan preseden berbahaya.
“Dengan memberikan kekuasaan kepada pihak pendudukan untuk merancang sistem bantuan berdasarkan kepentingannya sendiri. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang masa depan distribusi bantuan kemanusiaan,” imbuhnya.
Sejumlah organisasi kemanusiaan menyatakan penolakan tegas terhadap sistem baru ini, yang secara langsung menggantikan peran lembaga-lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
PBB sendiri mengecam skema tersebut karena melewati jalur distribusi resmi yang telah ada, dan secara drastis mengurangi titik akses bantuan dari 400 lokasi sebelum blokade total menjadi hanya 4.
“Pihak otoritas Israel sudah mengendalikan sepenuhnya masuknya bantuan ke Gaza. Penambahan lapisan kendali baru justru memperburuk keterlambatan distribusi, mengurangi jumlah pasokan penting, dan memperdalam penderitaan warga sipil yang telah terjebak dalam pengepungan,” kata Khalid Elsheikh, Direktur Eksekutif Doctors Without Borders (MSF) di Uni Emirat Arab, kepada TNA.
Ia menegaskan bahwa sistem bantuan harus menjamin akses bebas dan merata ke seluruh wilayah Gaza.
Para pakar kemanusiaan memperingatkan bahwa rencana tersebut berpotensi membebani sistem bantuan secara keseluruhan.
Sehingga nyaris mustahil untuk memastikan distribusi yang adil dan merata kepada ratusan ribu warga.
Mereka juga mencatat bahwa warga Palestina secara rutin menghadapi serangan saat berusaha mengakses bantuan.
“Bayangkan sebuah populasi yang sedang dilanda kelaparan, dipaksa mengungsi, dan dibombardir secara bersamaan, lalu diminta mengantre makanan di zona berpagar yang dijaga oleh kontraktor militer swasta?” tanya Bushra Khalidi, Kepala Kebijakan untuk Wilayah Palestina di Oxfam, dalam konferensi pers pada Rabu lalu.
Dengan hanya segelintir titik distribusi bantuan yang direncanakan dalam skema pemerintahan Trump, warga Palestina yang mengungsi kemungkinan besar harus menempuh jarak jauh sambil memikul ransum berat demi keluarganya.
“Menjadikan bantuan kemanusiaan sebagai alat untuk mendorong perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain adalah tindakan yang sama sekali tidak dapat diterima,” ujar Jonathan Crickx, Kepala Komunikasi UNICEF untuk Palestina, dalam wawancara dengan The New Arab.
Ia menegaskan bahwa pekerja kemanusiaan seharusnya mendistribusikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan di mana pun mereka berada.
Crickx menyampaikan bahwa setidaknya 1,9 juta warga Palestina telah terusir dari tempat tinggal mereka di seluruh Jalur Gaza akibat serangan udara Israel, pertempuran darat, serta kondisi keamanan dan kelangkaan pangan yang memburuk.
“Kami menilai mekanisme ini tidak realistis secara praktis, bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, dan berisiko menciptakan ketidakamanan serius, di samping gagal memenuhi kewajiban Israel di bawah hukum internasional,” demikian pernyataan Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dalam sebuah dokumen internal yang diperoleh CNN pekan lalu.
Lembaga-lembaga PBB mendesak Israel untuk segera mengakhiri pengepungan atas Gaza yang telah berlangsung lebih dari 10 pekan, serta membuka akses kemanusiaan tanpa hambatan.
Namun, permintaan tersebut hingga kini belum direspons oleh pihak otoritas Israel.
Para pengamat menilai, inisiatif AS itu justru memperkuat agenda Israel untuk mendorong warga Palestina yang terkepung agar pindah dari wilayah utara menuju selatan Gaza, dekat perbatasan Mesir—dan pada akhirnya keluar dari wilayah tersebut.
Skema ini dianggap sebagai bentuk keterlibatan langsung dalam pemindahan paksa penduduk.
PBB mencatat bahwa 90 persen populasi di Gaza telah mengungsi selama masa perang, sebagian besar bahkan lebih dari satu kali.
Proposal kontroversial tersebut pada dasarnya menyerahkan kendali distribusi bantuan di Gaza kepada sistem pasokan yang banyak mengacu pada rencana Israel dalam beberapa pekan terakhir.
Skema ini mengabaikan peran lembaga-lembaga bantuan internasional serta berpotensi melemahkan kerangka hukum kemanusiaan global.
“Bagaimana mungkin memenuhi kebutuhan 2,1 juta orang dengan sistem seperti ini?” tanya Crickx.
Ia menyebut bahwa cetak biru distribusi bantuan versi Israel hanya mengizinkan sekitar 60 truk masuk ke Gaza per hari—jauh di bawah angka 650 truk per hari yang biasa masuk selama masa jeda gencatan senjata.
Padahal, jumlah itu pun masih dianggap hanya cukup untuk kebutuhan dasar.
Sejak awal Maret, blokade penuh Israel telah menghentikan seluruh pasokan bantuan ke Jalur Gaza.
Kondisi ini mendorong warganya ke jurang kelaparan, ditandai dengan rantai pasok yang nyaris lumpuh total, pemadaman listrik menyeluruh, krisis air bersih, serta sistem layanan kesehatan yang porak-poranda.
Otoritas Palestina bahkan secara resmi menetapkan Gaza sebagai zona kelaparan pekan lalu.
Sepulang dari kunjungan lapangan terakhirnya ke Gaza beberapa hari lalu, Kepala Komunikasi UNICEF untuk Negara Palestina menggambarkan situasi di lapangan sebagai “benar-benar katastropik.”
Ia menyatakan dengan tegas bahwa 1,1 juta anak-anak di wilayah itu terancam nyawa akibat kekurangan gizi, apabila pengepungan total terus berlanjut.
“Pasukan pendudukan Israel menargetkan seluruh aspek dari sistem kesehatan di Gaza, termasuk kemampuan tubuh masyarakat kami untuk bertahan hidup,” ujar Dr Mohammed Salha, Direktur Rumah Sakit Al Awda di Gaza Utara, dalam pernyataan resmi yang dibagikan kepada sejumlah lembaga swadaya masyarakat.
Organisasi bantuan utama yang aktif di wilayah Palestina telah menolak bekerja sama dengan rencana Israel yang memberlakukan sistem distribusi bantuan di bawah kendali militer.
Mereka menilai, mekanisme tersebut berpotensi memanfaatkan bantuan sebagai senjata dan malah memperparah penderitaan warga sipil.
Meski Israel berulang kali menuduh Hamas menyalahgunakan dan meraup keuntungan dari bantuan yang masuk ke Gaza, kelompok bantuan menegaskan bahwa sebagian besar bantuan pangan memang sampai ke tangan warga yang membutuhkan.
Mereka justru memandang pelarangan total Israel terhadap bantuan kemanusiaan sebagai penyebab utama krisis kelaparan yang melanda wilayah tersebut.
Pejabat bantuan secara tegas menyatakan ketidakmampuan mereka untuk berpartisipasi dalam skema AS-Israel, khawatir bahwa program itu melanggar “prinsip kemanusiaan dasar” sekaligus melanggar hukum internasional.
“Skema ini memaksa perpindahan lebih lanjut, mengekspos ribuan orang pada bahaya,” kata Tom Fletcher, Kepala Urusan Kemanusiaan PBB, kepada Dewan Keamanan.
Program ini, lanjutnya, membatasi bantuan hanya untuk satu bagian Gaza, sementara kebutuhan mendesak di tempat lain diabaikan.
Bantuan dibuat bergantung pada tujuan politik dan militer. Kelaparan dijadikan alat tawar-menawar.
“PBB tidak dapat bergabung dengan upaya apa pun yang tidak memenuhi prinsip-prinsip kami dalam distribusi bantuan kemanusiaan, yakni kemanusiaan, ketidakberpihakan, kemerdekaan, dan netralitas,” ujar juru bicara PBB Farhan Haq.
Rusia, China, dan Inggris juga menolak rencana bantuan AS-Israel tersebut dan menekan Israel agar segera mencabut blokade atas Gaza.
Ini bukan kali pertama kedua negara mencoba melewati sistem bantuan PBB di Gaza. Pada Februari 2024, setelah lebih dari sebulan memblokir bantuan ke Kota Gaza dan wilayah utara, Israel mengirimkan tepung melalui kontraktor swasta.
Saat warga berkumpul untuk menerima bantuan, pasukan Israel dilaporkan menembaki massa hingga memicu kericuhan dan tragedi yang dikenal sebagai “pembantaian tepung”. Setidaknya 110 orang tewas dan ratusan lainnya terluka dalam peristiwa tersebut.
Bulan berikutnya, mantan Presiden AS Joe Biden mengumumkan pembangunan dermaga apung senilai 230 juta dolar AS untuk mengalirkan bantuan ke Gaza.
Namun, fasilitas tersebut hanya beroperasi selama 20 hari dan hanya mampu menyalurkan pasokan makanan untuk satu hari sebelum perang.
Ahmed Bayram mengingatkan risiko dari inisiatif bantuan yang kontroversial tersebut, menyoroti bagaimana skema ini memberikan kekuasaan pada pihak yang berkonflik “untuk menentukan siapa yang mendapat bantuan” berdasarkan pertimbangan politik atau militer.
Ia menambahkan, sistem ini juga memfasilitasi pemindahan penduduk secara paksa, karena memaksa warga berpindah ke lokasi yang jauh dan telah ditentukan oleh kekuatan pendudukan agar dapat memperoleh bantuan.
“Bantuan kemanusiaan di Gaza selalu dipolitisasi. Kini, bantuan juga telah dimiliterisasi dan menjadi alat kontrol,” kata penasihat komunikasi NRC tersebut.
Ia mengingatkan dampak buruk bagi komunitas kemanusiaan jika ikut terlibat dalam mekanisme distribusi yang bermasalah ini.
Direktur MSF di Uni Emirat Arab menegaskan bahwa setiap sistem bantuan harus bersifat independen, netral, dan transparan untuk menjamin penyaluran bantuan kritis kepada penerima manfaat sesuai dengan hukum internasional.
“Upaya apa pun untuk mengarahkan, menunda, atau mendistribusikan bantuan secara diskriminatif bertentangan dengan nilai-nilai bantuan kemanusiaan,” tegas Khalid Elsheikh.