Israel meningkatkan agresi militernya di Suriah pada awal April ini, dalam rangkaian pelanggaran berkelanjutan di wilayah Suriah, baik melalui darat maupun udara.
Serangan ini dibenarkan oleh Israel sebagai bentuk penolakan atas meningkatnya kerja sama militer antara Ankara dan Damaskus di bawah pemerintahan Suriah yang baru.
Angkatan udara Israel melakukan serangkaian serangan besar yang mencakup bandara militer Hama, bandara T-4 di pedesaan Homs, serta markas militer di kawasan Kiswah, pedesaan Damaskus.
Namun, langkah Israel tidak hanya terbatas pada serangan militer. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga berupaya memengaruhi Presiden AS Donald Trump dalam isu Suriah, yang menjadi salah satu alasan utama pertemuan mereka.
Latar belakang eskalasi terbaru
Israel cenderung meningkatkan serangan setiap kali pemerintahan Suriah mengambil langkah memperkuat legitimasi internal dan eksternalnya.
Serangan terbaru terjadi hanya beberapa hari setelah pengumuman kabinet pemerintahan baru yang mendapat sambutan positif dari kawasan dan dunia internasional.
Sebelumnya, Israel juga melancarkan serangan udara setelah Konferensi Dialog Nasional Suriah yang diselenggarakan akhir Februari lalu, yang menegaskan kesatuan wilayah Suriah dan monopoli negara atas senjata.
Sementara itu, para pejabat Israel mendesak komunitas internasional untuk tidak mendukung pemerintahan baru dan mendorong posisi kelompok minoritas.
Menurut sumber militer Suriah, serangan udara Israel di bandara Hama menargetkan tempat penyimpanan pesawat tempur yang masih dapat digunakan.
Serangan ini datang setelah angkatan udara Suriah kembali beroperasi dan restrukturisasi militer sedang berlangsung, termasuk penunjukan perwira ahli. Hal ini menunjukkan bahwa Israel ingin menggagalkan proses revitalisasi militer Suriah.
Laporan Reuters pada 4 April menyebutkan bahwa serangan Israel dilakukan menjelang rencana Turki untuk menempatkan pasukan di pangkalan udara Suriah. Berdasarkan perjanjian pertahanan bersama yang akan disepakati antara Ankara dan Damaskus.
Dikatakan bahwa ahli militer Turki telah mengunjungi setidaknya tiga pangkalan udara yang mungkin digunakan.
Selama bulan Maret, beberapa laporan media Turki menyebutkan kesiapan Ankara untuk melatih pasukan Suriah dan memberikan dukungan industri pertahanan Turki.
Tel Aviv tampaknya bukan hanya menolak pembentukan militer Suriah baru, tetapi juga tidak ingin Ankara memainkan peran utama dalam proses itu.
Israel menolak keberadaan militer Turki di wilayah tengah Suriah. Meskipun kemungkinan dapat mentoleransi kehadirannya di barat laut, seperti di Idlib dan Aleppo. Alasannya, untuk menghindari benturan langsung dengan pos militer Turki.
Apa yang membuat Israel khawatir terhadap peran Turki?
Israel diduga khawatir terhadap kemungkinan Turki menempatkan sistem pertahanan udara dengan teknologi canggih di tengah Suriah, yang jaraknya kurang dari 230 km dari Dataran Tinggi Golan yang diduduki.
Laporan keamanan Israel menyatakan bahwa langkah ini dapat membatasi kebebasan manuver angkatan udara Israel di langit Suriah.
Laporan media Turki sebelumnya menyebut kemungkinan penempatan sistem pertahanan udara “HİSAR”. Sistem buatan dalam negeri dengan jangkauan 15-25 km. Mampu meluncurkan 6 rudal sekaligus dan menjatuhkan lima jenis target termasuk jet tempur, helikopter, drone, rudal jelajah, dan rudal udara-ke-darat.
Ada juga spekulasi bahwa Ankara mungkin, dalam koordinasi dengan AS, akan memindahkan sistem S-400 buatan Rusia ke Suriah.
Hal itu sebagai bagian dari penyelesaian sengketa bilateral yang juga bisa membuka jalan kembalinya Turki ke program F-35 dan pencairan penjualan F-16.
Israel juga terus berupaya menghalangi penyebaran pasukan Suriah di bagian selatan negara itu, dan secara terbuka mengklaim ingin menjaga “langit Suriah tetap bersih”, alias tetap mendominasi udara.
Kebocoran informasi dari berbagai sumber Turki, Suriah, dan Arab menyebutkan bahwa perjanjian antara Ankara dan Damaskus akan fokus pada pelatihan dan persenjataan militer baru Suriah.
Ini menjadi ancaman ganda bagi Tel Aviv yang tidak mempercayai pemerintahan baru Suriah. Tel Aviv juga khawatir akan terbentuknya “tentara Sunni” yang loyal kepada Turki, yang menurut analis Israel dapat menciptakan skenario seperti serangan 7 Oktober dari Jalur Gaza.
Israel juga melihat aktivitas Turki di Suriah sebagai bagian dari ambisi regional yang lebih besar.
Sebuah laporan dari Israel al-Yaoum menyoroti peran Turki di Azerbaijan dan Libya, dan menuduh Turki menghambat proyek-proyek energi Israel di Mediterania yang bertujuan menyalurkan gas ke Eropa.
Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar bahkan menuduh Turki memainkan peran negatif di Lebanon dan Suriah dalam sebuah konferensi di Paris.
Walaupun Israel menyatakan kekhawatiran terhadap peran Turki, banyak pengamat meyakini bahwa kekhawatiran utamanya justru terhadap Suriah sendiri.
Dengan transisi pemerintahan yang hampir selesai, Suriah diperkirakan akan kembali menjadi pemain utama dalam menentang pendudukan Israel dan menuntut pengembalian Dataran Tinggi Golan.
Karenanya, Israel mendorong AS untuk menjaga Suriah tetap lemah dan terpecah, menurut sejumlah laporan.
Pilihan strategis Turki
Turki tidak tampak berniat terlibat dalam eskalasi langsung dengan pemerintahan Netanyahu.
Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan segera membantah niat konfrontasi usai serangan Israel, dan mengirim sinyal bahwa Ankara tidak menentang perjanjian antara Damaskus dan Tel Aviv.
Oleh karena itu, Turki tampaknya lebih memilih pendekatan diplomatik untuk meredakan kekhawatiran Israel daripada meningkatkan ketegangan.
Turki juga berharap pemerintahan baru Suriah mendapatkan legitimasi penuh serta mampu mencegah skenario pembagian wilayah.
Ankara juga berupaya menyelaraskan langkahnya dengan pemerintahan Trump dan menekankan bahwa peran militer Turki di Suriah bertujuan utama mencegah kemunculan kembali ISIS.
Turki berharap Washington akan menekan Israel agar menghentikan serangannya di Suriah, terutama setelah pernyataan positif dari Departemen Luar Negeri AS terhadap pemerintahan baru Suriah.
Washington telah menyatakan dukungan atas kedaulatan penuh pemerintah Suriah atas seluruh wilayah negara, serta keinginan untuk bekerja sama dengan Turki di Suriah, menurut pernyataan Menteri Luar Negeri AS, Mark Rubio sebelum serangan Israel.
Ankara juga mungkin akan memanfaatkan penolakan Eropa terhadap eskalasi militer di Suriah.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Kaja Kallas menyatakan penolakan terhadap serangan Israel dan menyebutnya tidak perlu.
Hal ini bertepatan dengan membaiknya hubungan antara Ankara dan Uni Eropa serta kemungkinan keterlibatan Turki dalam rencana pertahanan bersama Eropa.