Sebuah artikel yang dimuat di The Guardian melontarkan kritik tajam terhadap kegagalan lembaga-lembaga media Barat dan para jurnalis di sana dalam membela rekan-rekan mereka di Gaza.
Selama hampir dua tahun terakhir, para jurnalis Palestina menjadi sasaran serangan sistematis Israel, namun pembelaan dari komunitas pers internasional nyaris tidak terdengar.
Penulis artikel, Mohamad Bazzi, profesor jurnalisme di New York University, menegaskan bahwa sikap abai tersebut justru memberi ruang bagi Israel untuk terus membunuh jurnalis Palestina tanpa rasa takut terhadap hukuman.
Sebuah studi dari proyek Costs of War Universitas Brown menunjukkan, jumlah jurnalis yang tewas di Gaza melebihi total korban jurnalis dalam perang saudara Amerika, 2 perang dunia, Perang Korea, Perang Vietnam, konflik di bekas Yugoslavia, hingga perang panjang Amerika Serikat di Afghanistan.
Diam di hadapan Israel
Dengan angka yang sedemikian mengerikan, mestinya dunia pers bersatu mengecam praktik ini. Namun, menurut Bazzi, media Amerika Serikat (AS) justru lebih banyak berdiam diri.
Bandingkan, misalnya, dengan gelombang solidaritas besar-besaran untuk Evan Gershkovich, wartawan Wall Street Journal yang ditangkap Rusia pada 2023 dengan tuduhan spionase.
Kala itu, media-media besar Amerika membela habis-habisan, menekankan bahwa sang wartawan ditahan tanpa dasar hukum yang adil.
Kontrasnya, lembaga-lembaga yang sama enggan memperlakukan jurnalis Palestina dengan standar serupa. Mereka seolah menutup mata terhadap ancaman dan kampanye fitnah yang dialami wartawan di Gaza.
“Media Barat kerap lantang mengkritik Rusia, Tiongkok, atau Iran ketika jurnalis diganggu atau dipenjara. Namun, ketika hal serupa dilakukan Israel—sekutu dekat Washington—suara itu melemah,” tulis Bazzi.
Solidaritas yang setengah hati
Bazzi menyinggung kasus Anas Al-Sharif, reporter Al Jazeera yang menjadi sasaran kampanye hitam oleh militer Israel setelah liputannya tentang pengepungan dan kelaparan di Gaza menarik perhatian luas dunia.
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) memang sempat menyuarakan keprihatinan dan meminta perlindungan baginya. Tetapi, suara itu tak bergema di ruang-ruang redaksi utama media Barat.
Tidak ada kampanye global, tidak ada surat terbuka di media arus utama, sebagaimana yang dilakukan untuk Gershkovich.
Padahal, menurut Bazzi, inilah bukti nyata bagaimana standar ganda dijalankan: kebebasan pers dan perlindungan profesi seolah hanya berlaku bagi jurnalis Barat.
Kasus Shireen Abu Akleh
Pola ini bukan hal baru. Bazzi mengingatkan pada pembunuhan Shireen Abu Akleh, koresponden Al Jazeera, pada 2022. Meskipun terbukti tewas oleh tembakan tentara Israel saat meliput di Tepi Barat, pemerintahan Joe Biden enggan menuntut pertanggungjawaban Israel.
“Kalau seorang jurnalis ternama, yang juga warga negara Amerika, bisa dibunuh tanpa konsekuensi, wajar bila Israel merasa dapat lolos dari pembunuhan jurnalis Palestina lainnya,” tulis Bazzi.
Media Barat, tambahnya, hanya memiliki satu tuntutan konsisten kepada Israel: izinkan wartawan asing masuk ke Gaza.
Permintaan itu wajar, tetapi juga problematis. Sebab, di baliknya terselip anggapan bahwa hanya wartawan asing—sering kali berarti wartawan kulit putih—yang mampu menyajikan liputan obyektif.
Komentar John Simpson, wartawan senior BBC, memperlihatkan bias ini.
“Dunia membutuhkan laporan saksi mata yang jujur dari Gaza. Itu mustahil tanpa kehadiran wartawan asing,” tulisnya di platform X.
Bagi Bazzi, pernyataan itu keliru sekaligus meremehkan profesionalisme ratusan jurnalis Palestina yang setiap hari mempertaruhkan nyawa.
Ironinya, jika pun wartawan asing diperbolehkan masuk, mereka akan sangat bergantung pada jurnalis lokal—sebagai penerjemah, pemandu lapangan, hingga penyedia informasi utama.
Namun, kontribusi para pekerja lokal ini jarang diakui, bahkan sering dihapus dari catatan sejarah media Barat.
Kini, ketika pintu Gaza ditutup bagi jurnalis asing, justru wartawan Palestina seperti Anas Al-Sharif yang berperan vital membawa kisah rakyatnya ke dunia. Karena keberanian itu, mereka menjadi target langsung serangan Israel.
Namun, di tengah situasi tragis itu, banyak jurnalis dan lembaga media Barat tetap memilih diam.
Bagi Bazzi, diam ini bukan sekadar abai, melainkan sebuah aib moral dalam dunia jurnalisme.