Saturday, May 10, 2025
HomeBeritaANALISIS - Mengapa sistem THAAD gagal cegat rudal Houthi ke Israel?

ANALISIS – Mengapa sistem THAAD gagal cegat rudal Houthi ke Israel?

Kegagalan sistem pertahanan rudal canggih Amerika Serikat (AS), THAAD (Terminal High Altitude Area Defense), dalam mencegat rudal balistik yang diluncurkan dari Yaman ke Israel, kembali memicu pertanyaan seputar efektivitas teknologi militer Barat.

Dalam peristiwa terbaru, rudal tersebut—yang diklaim sebagai hipersonik—dilaporkan berhasil menyerang wilayah dekat Tel Aviv sebelum akhirnya dihentikan oleh sistem pertahanan buatan Israel, “Hetz” atau “Arrow”.

Pakar militer dan strategis asal Yordania, Mayor Jenderal (Purn) Fayez Al-Duwairi, menjelaskan bahwa terdapat 2 versi berbeda mengenai serangan ini.

Versi pertama datang dari kelompok Ansarullah atau Houthi, yang menyatakan bahwa mereka berhasil menyerang Bandara Ben Gurion dengan rudal balistik hipersonik dan juga menyerang sasaran vital di Jaffa dengan drone.

Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara militer Houthi, Yahya Saree, yang menegaskan bahwa rudal tersebut mencapai targetnya.

Sementara itu, versi Israel berbeda. Menurut laporan dari media dan sumber militer Israel, rudal diluncurkan dari Yaman memang sempat memasuki wilayah udara Israel.

Namun berhasil dicegat oleh sistem pertahanan Hetz, setelah THAAD lebih dahulu gagal melaksanakan pencegatan.

Dalam penjelasannya, Al-Duwairi mengungkapkan perbedaan mendasar antara sistem pertahanan THAAD buatan AS dan sistem Hetz buatan Israel.

THAAD merupakan sistem mutakhir yang dikembangkan oleh berbagai perusahaan pertahanan AS dan diposisikan sebagai teknologi pertahanan strategis masa depan. Produksinya terbatas dan hanya dijual ke negara-negara tertentu.

Keunikan dari rudal THAAD adalah tidak dilengkapi dengan hulu ledak konvensional. Alih-alih meledak secara fisik, rudal ini menghancurkan target melalui energi kinetic.

Mengandalkan kecepatan tinggi dan tabrakan langsung dengan objek musuh.

Ia juga dilengkapi sensor dan komputer yang mampu membedakan antara target nyata dan umpan.

Sistem radar THAAD memiliki jangkauan hingga 1.000 kilometer, memungkinkan deteksi rudal yang ditembakkan dari jarak 2.000 kilometer.

Di sisi lain, sistem Hetz terdiri dari tiga generasi: Hetz 1, Hetz 2, dan Hetz 3. Menurut Al-Duwairi, Hetz 2 membawa hulu ledak eksplosif, sedangkan Hetz 3, seperti THAAD, menggunakan tabrakan kinetik.

Ia menambahkan bahwa secara teoretis, Hetz memerlukan presisi lebih tinggi dibanding THAAD untuk menumbangkan rudal yang datang.

Kecepatan rendah

Media Israel, Channel 14, mengonfirmasi bahwa ini adalah kali kedua dalam sepekan sistem THAAD gagal menghadang rudal yang diluncurkan dari Yaman.

Dalam serangan terakhir, Hetz disebut berhasil mengambil alih dan mencegat rudal tersebut.

Meski demikian, insiden ini tetap memicu kekhawatiran di dalam negeri, terutama karena Bandara Ben Gurion sempat menghentikan sementara seluruh penerbangan, dan warga berhamburan ke tempat perlindungan. Satu warga dilaporkan terluka saat berusaha menuju tempat aman.

Al-Duwairi juga menyoroti aspek teknis yang mungkin menjadi penyebab kegagalan THAAD.

Menurutnya, rudal yang diluncurkan oleh Houthi pekan lalu menuju Bandara Ben Gurion memiliki kecepatan hingga 19 Mach (19 kali kecepatan suara) dan mampu melakukan manuver saat melaju di udara.

Sebagai perbandingan, rudal THAAD hanya memiliki kecepatan 8,5 Mach.

Artinya, kecepatan rudal Yaman lebih dari dua kali lipat dibanding rudal pencegat AS tersebut, sehingga menyulitkan THAAD dalam melaksanakan tugasnya.

Menariknya, serangan Houthi ini terjadi hanya berselang beberapa hari setelah Oman mengumumkan keberhasilan mediasi antara AS dan kelompok Houthi yang menghasilkan kesepakatan gencatan senjata.

Namun, kelompok Houthi menegaskan bahwa kesepakatan itu tidak mencakup Israel. Mereka menyatakan akan terus melancarkan serangan ke arah negara tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap Gaza, sampai Israel menghentikan “pembantaian terhadap warga sipil Palestina”.

Perkembangan ini kembali membuka diskusi luas mengenai dinamika kawasan dan batas kemampuan sistem pertahanan udara dalam menghadapi teknologi rudal modern, terutama yang bersifat hipersonik dan dapat bermanuver.

Dalam konteks konflik yang terus meluas, kemampuan untuk merespons ancaman semacam ini menjadi semakin vital.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular