Monday, July 7, 2025
HomeBeritaANALISIS - Milisi Irak diam dalam perang Israel-Iran, sampai kapan?

ANALISIS – Milisi Irak diam dalam perang Israel-Iran, sampai kapan?

Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat (AS) kerap bergema hingga ke Irak, tempat kepentingan kedua negara itu bertemu dalam kedekatan yang tak nyaman.

Maka, ketika perang 12 hari meletus antara Israel dan Iran bulan lalu—yang mencakup serangan udara Israel dan Amerika terhadap fasilitas nuklir Iran—banyak pihak menduga milisi pro-Iran di Irak akan bereaksi keras.

Namun, dugaan itu tak sepenuhnya terbukti. Di luar dugaan, kelompok-kelompok paramiliter yang bernaung di bawah Popular Mobilisation Forces (PMF)—yang diakui sebagai bagian dari negara—memilih diam.

Sikap tenang ini bukanlah kebetulan, melainkan buah dari kalkulasi politik dan strategi yang matang.

Salah satu contohnya terlihat ketika pesawat pembom siluman B-2 milik Amerika melintasi wilayah udara Irak menuju fasilitas pengayaan uranium bawah tanah Fordo di Iran.

Kataib Hezbollah, salah satu milisi Syiah paling kuat dan dekat dengan Teheran, hanya mengeluarkan pernyataan yang samar.

Bukannya mengancam aksi balasan terhadap AS atau Israel, mereka justru mengkritik pemerintah Irak karena dianggap gagal menjaga kedaulatan udara.

“Pasukan Amerika di Irak membuka jalan bagi serangan ini dengan mengizinkan wilayah udara Irak dilintasi. Jika benar kita tak ingin Irak menjadi medan tempur, maka menjadi keharusan bagi kita untuk membatasi peran pasukan asing yang ada di tanah ini dan menguasai langitnya,” kata kelompok itu dalam pernyataannya.

Meski masih menyatakan kesetiaan ideologis pada Republik Islam Iran, dalam praktiknya banyak faksi bersenjata Irak kini makin otonom dari Teheran.

Seiring semakin kuatnya mereka dalam lanskap politik domestik—mendapat sokongan dari anggaran negara dan mengembangkan jaringan bisnis yang luas—mereka juga semakin enggan mengambil risiko yang bisa mengguncang stabilitas.

Stabilitas negara Irak kini menjadi taruhan yang mahal. Mengorbankannya demi konflik regional berarti membahayakan posisi politik dan kepentingan ekonomi yang telah mereka raih dengan susah payah.

“Sejak terpilihnya kembali Presiden Donald Trump, faksi-faksi bersenjata pro-Iran di Irak tampak menjalankan bentuk penahanan diri yang bersifat preventif,” ujar Dr Inna Rudolf, peneliti senior di King’s College London, dalam wawancaranya bersama The New Arab.

“Mereka tengah menjalankan keseimbangan yang rumit—di satu sisi tetap tampil sebagai simbol perlawanan Islam lewat retorika yang keras, namun di sisi lain berupaya keras mempertahankan pencapaian institusional mereka di tubuh negara. Hal ini menuntut mereka menghindari bentrokan bersenjata yang keliru waktu karena bisa mengundang serangan balasan atau pembunuhan terarah,” lanjutnya.

Menurut Dr Rudolf, untuk memahami sikap kelompok-kelompok ini, para analis dan pengambil kebijakan perlu melihat bagaimana mereka menavigasi ketegangan antara prioritas domestik dan afiliasi transnasional.

Ia menambahkan bahwa kelompok bersenjata yang beroperasi di bawah payung PMF cenderung menghindari klaim atas tindakan yang berada di luar kendali komando nasional.

“Mereka berhati-hati demi menjaga hubungan kerja dengan birokrasi pemerintahan. Karena itu, mereka mungkin menggunakan kelompok kedok sebagai pengalih perhatian untuk menghindari akuntabilitas, atau sekadar menyambut aksi kelompok di luar PMF seperti True Promise Brigades,” jelasnya.

Pelajaran dari Lebanon

Pengalaman Hizbullah Lebanon dalam perang melawan Israel tahun lalu meninggalkan jejak yang jelas dalam kalkulasi strategis faksi-faksi Irak yang bersekutu dengan Iran, khususnya saat dinamika konflik di Timur Tengah kembali memanas.

Selama berbulan-bulan menjelang November lalu, Hizbullah terus-menerus menjadi sasaran serangan militer Israel.

Serangan ini menjadi pelajaran berharga bagi aktor-aktor lain dalam poros perlawanan (Axis of Resistance) yang beroperasi di lingkungan politik dan keamanan yang sama-sama kompleks.

Bagi kelompok-kelompok pro-Iran di Irak, kerugian yang dialami Hizbullah memperjelas risiko besar dari konfrontasi langsung dengan Israel.

Terutama ketika aksi tersebut berisiko memicu serangan balasan yang tidak sebanding dengan manfaat strategis yang bisa diperoleh.

Karena itu, dalam memandang eskalasi konflik bulan lalu, faksi-faksi Irak itu memilih untuk menahan diri.

Pilihan mereka mencerminkan keinginan untuk menghindari perang jangka panjang yang melemahkan kemampuan tempur dan memangkas kepemimpinan, seperti yang dialami Hizbullah.

Singkatnya, milisi-milisi yang berafiliasi dengan Iran di Irak kini semakin enggan mengekspos diri terhadap kekuatan militer Israel tanpa dorongan kebutuhan nasional yang mendesak.

Sebaliknya, mereka lebih memilih memperkuat posisi politik dan menjaga aset-aset mereka dalam struktur negara Irak.

“Milisi-milisi Syiah pro-Iran di Irak benar-benar mencermati bagaimana keseimbangan strategis antara Israel dan Poros Perlawanan telah berubah dalam sembilan bulan terakhir. Pukulan besar terhadap Hizbullah musim dingin lalu, runtuhnya rezim Assad pada Desember, serta pemboman Israel terhadap Iran bulan lalu—semua itu membentuk lanskap strategis yang baru,” ungkap Marco Carnelos, mantan Duta Besar Italia untuk Irak, kepada The New Arab.

Meski situasinya belum sepenuhnya stabil, lanjutnya, Iran menunjukkan kemampuan balasan yang luar biasa dan di luar dugaan.

“Namun, milisi-milisi PMF pro-Iran tetap memilih sikap hati-hati, terutama karena keberadaan militer AS yang besar di Irak dan kecenderungan Amerika untuk bertindak cepat secara ofensif,” tambahnya.

Kepentingan Iran dalam menahan diri

Respons Teheran terhadap serangan ‘Operation Rising Lion’ Israel, serta serangan udara AS terhadap infrastruktur nuklirnya, juga terbilang terkendali.

Alih-alih membalas dengan serangan luas atau agresif, Iran memilih jalur rasional untuk menghindari eskalasi konflik lebih lanjut—terutama dengan dua negara bersenjata nuklir sekaligus.

Sikap ini sejalan dengan kemungkinan bahwa Teheran telah menyampaikan instruksi tegas kepada sekutunya di Irak dan kawasan lainnya agar bertindak hati-hati.

Dengan memilih meredam risiko kesalahan perhitungan atau meluasnya konflik secara tak terkendali, sikap berhitung Iran bukan hanya bertujuan meredam tekanan internasional, tetapi juga menjaga kohesi aliansi regionalnya agar tak goyah oleh aksi-aksi yang bisa memicu pembalasan besar-besaran.

“Respons Iran terhadap konflik ini bersifat terukur dan terbatas, menandakan preferensi pada pengendalian situasi ketimbang eskalasi. Kemungkinan besar, Teheran juga telah menyarankan milisi-milisi sekutunya untuk berhati-hati,” kata analis Irak Omar al-Nidawi dalam wawancaranya dengan The New Arab.

Masa depan yang tidak pasti: Arah baru milisi pro-Iran di Irak

Setelah pemerintahan Presiden Donald Trump berhasil memaksa Israel dan Iran untuk menyepakati gencatan senjata yang rapuh dan sementara, arah langkah kelompok-kelompok bersenjata pro-Iran di Irak masih menjadi tanda tanya besar.

Meski secara retoris tetap selaras dengan garis Teheran, belum jelas bagaimana mereka akan bersikap jika gencatan senjata ini runtuh.

Akankah mereka tetap menahan diri demi menjaga posisi mapan dalam struktur negara Irak? Ataukah mereka akan menyesuaikan strategi mengikuti dinamika kawasan yang terus berubah? Untuk saat ini, pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, sementara faksi-faksi bersenjata di Irak terus menimbang apakah akan menaikkan eskalasi, melakukan penyesuaian, atau tetap diam dalam lanskap geopolitik yang kian rumit.

“Kelompok-kelompok perlawanan tidak ingin terseret langsung ke dalam perang, meskipun mereka siap untuk merespons. Namun hal itu bergantung pada arah perkembangan dan dampaknya terhadap negara kami,” ujar seorang pejabat dari Asa’ib Ahl al-Haq, salah satu kelompok milisi Syiah utama yang didukung Teheran, menjelang akhir perang 12 hari antara Israel dan Iran.

Pernyataan itu dianggap serius oleh para pengamat Irak.

“Selama gencatan senjata ini berlangsung, kelompok-kelompok bersenjata pro-Iran kemungkinan akan merendah dan menghindari langkah besar. Mereka akan tetap menunjukkan solidaritas terhadap Teheran lewat pernyataan publik, tapi kecil kemungkinan mereka bertindak langsung kecuali situasinya berubah,” kata Hayder al-Shakeri, peneliti di Chatham House untuk program Timur Tengah dan Afrika Utara.

Namun, lanjutnya, gencatan ini sangat rapuh, dan mereka tetap menjaga opsi mereka terbuka. Jika eskalasi kembali terjadi, mereka bisa cepat mengubah posisi.

Analis Omar al-Nidawi pun menilai, gencatan senjata ini memberi waktu langka bagi kelompok-kelompok tersebut untuk melakukan peninjauan ulang terhadap sikap mereka.

Ia memperkirakan, untuk sementara waktu mereka akan mempertahankan “penahanan operasional”, terlebih jika Iran sendiri mengisyaratkan preferensi untuk meredakan ketegangan.

“Namun demikian, kelompok-kelompok ini akan tetap siaga, mempersiapkan diri untuk kembali aktif apabila situasi memburuk dan berubah menjadi perjuangan mempertahankan kelangsungan Republik Islam,” ujarnya.

Ketika ditanya soal kemungkinan arah kelompok PMF di masa mendatang, Marco Carnelos, mantan Duta Besar Italia untuk Irak, mengatakan bahwa prediksinya tidak mudah.

“Irak masih bergulat dengan berbagai persoalan internal dalam upaya membangun sistem politik yang berfungsi dan memberikan tata kelola yang layak bagi rakyatnya, yang pada dasarnya ingin fokus pada rekonstruksi negara. Saya tak akan terkejut jika ada penekanan serius terhadap retorika dan praktik ‘perlawanan’ PMF,” jelasnya kepada The New Arab.

Risiko krisis besar di Irak

Namun, jika gencatan senjata antara Israel dan Iran gagal dipertahankan, atau AS kembali melancarkan serangan ke situs nuklir Iran, Irak berpotensi terjebak dalam posisi yang nyaris mustahil.

Terhimpit di antara Iran yang semakin agresif dan Washington yang tidak kompromistis, dengan ruang gerak yang sempit dan risiko kehilangan yang besar.

“Kelompok bersenjata bisa saja merasa terdorong untuk bertindak, terlebih jika mendapat lampu hijau dari Iran. Hal itu bisa membuat sebagian wilayah Irak menjadi medan tempur. Ini akan menempatkan pemerintah Irak dalam posisi sangat sulit—berupaya menjaga hubungan baik dengan Teheran dan Washington sekaligus menghindari kekerasan di dalam negeri. Risiko keterlibatan sangat nyata dan hanya bisa dihindari lewat diplomasi yang cermat dan koordinasi internal yang kuat,” kata Shakeri.

Selama ini, pemerintah Irak berusaha mempertahankan hubungan positif dengan AS dan Iran, dua kekuatan yang secara historis sangat memengaruhi lanskap politik Irak.

“Konflik baru berisiko mengganggu keseimbangan ini, memaksa Irak mengambil keputusan sulit yang bisa menjauhkan satu pihak dan memicu instabilitas dalam negeri,” kata Nidawi.

Tekanan ini bukan hanya dalam bentuk politik atau militer. Jika perang meluas dan mengganggu pasokan gas dari Iran ke Irak, dampaknya terhadap sistem ketenagalistrikan Irak akan sangat serius, dengan konsekuensi sosial dan politik yang luas.

“Irak mengimpor sekitar 1,2 hingga 1,5 miliar kaki kubik gas alam Iran per hari, serta 1,3 gigawatt listrik—yang mencakup sekitar 30-40 persen kebutuhan listrik saat puncak musim panas. Jika pasokan itu terputus, bukan hanya terjadi pemadaman listrik luas, tetapi juga terganggu pasokan air bersih dan lonjakan harga solar karena tingginya kebutuhan untuk genset,” kata Dr Norman Ricklefs, Ketua dan CEO NAMEA Group, lembaga konsultansi geopolitik internasional.

Ia menambahkan, skenario semacam itu bisa “menyulut kerusuhan sipil dan justru membuka jalan bagi politisi-populis untuk meningkatkan posisi mereka menjelang pemilu nasional bulan November.”

Dalam kondisi seperti itu, posisi politik Moqtada al-Sadr dan tokoh-tokoh yang berafiliasi dengannya bisa meningkat secara signifikan, terlepas dari apakah sang ulama memutuskan untuk mengarahkan gerakannya ikut serta dalam pemilu mendatang atau tidak.

Menjaga stabilitas, menolak terjebak dalam perang regional

Di tengah meningkatnya ketegangan kawasan, para pengambil kebijakan di Baghdad tampaknya semakin menyadari betapa besar taruhan yang sedang dihadapi.

Mereka kini bekerja keras untuk memastikan agar Irak tidak terseret ke dalam pusaran konflik.

Dengan kepentingan langsung untuk menjaga agar gencatan senjata antara Iran dan Israel tidak runtuh, Irak diperkirakan akan bergabung dengan negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dalam upaya diplomatik guna mempertahankan gencatan yang rapuh itu selama mungkin.

“Terlepas dari bagaimana nasib kesepakatan gencatan senjata antara AS dan Iran di masa depan, sebagian besar kelompok bersenjata yang sudah mapan—baik yang memiliki posisi institusional dalam PMF maupun perwakilan politik di parlemen—kemungkinan akan menghindari langkah-langkah yang dapat memicu serangan balasan dari AS atau Israel,” ujar Dr Inna Rudolf.

Tujuan mereka adalah, lanjutnya, mencegah Irak terseret dalam eskalasi militer regional, apalagi dengan pemilu nasional yang akan digelar pada November 2025 mendatang.

Dr Norman Ricklefs juga menambahkan, meskipun Irak menghadapi tantangan besar—mulai dari persoalan tata kelola hingga korupsi—ada visi bersama di kalangan elite politik untuk mengembalikan peran Irak sebagai kekuatan besar di Timur Tengah.

“Ada persaingan dan konflik memperebutkan kekayaan yang dihasilkan Irak, tapi tidak ada yang ingin negeri ini kembali ke masa kelam perang sektarian 2005–2007, atau masa-masa kelam melawan ISIS pada 2014–2017. Karena itu, terdapat kekuatan internal yang serius untuk menjaga persatuan nasional di tengah tekanan besar dari konflik kawasan,” ujarnya kepada The New Arab.

Apa yang paling mencolok sejauh ini adalah bahwa Irak, harus diakui, berhasil menjaga jarak dari perang bulan lalu antara Israel dan Iran, serta dari ketegangan yang terus berlangsung antara AS dan Israel di satu pihak, dan Poros Perlawanan (Axis of Resistance) di pihak lain.

Di kawasan yang sering kali membuat negara-negara terseret ke dalam perang yang bukan pilihannya sendiri, para pengambil keputusan di Irak tampaknya semakin teguh memprioritaskan stabilitas domestik daripada pertempuran di luar negeri.

Ada kesadaran yang tumbuh di Baghdad bahwa masa depan Irak tidak boleh terus-menerus menjadi tawanan dari persaingan regional.

Kedaulatan sejati, dalam pandangan ini, berarti menolak tarikan gravitasi dari agenda asing.

Meski demikian, menjaga posisi ini bukanlah perkara mudah—terutama jika gencatan senjata Israel-Iran runtuh dan konflik kembali menyala.

Irak kini menghadapi ujian krusial: mampukah ia tetap menjaga ketenangan dan stabilitas di tengah kobaran api kawasan, atau justru kembali terseret dalam konflik yang selama ini coba dihindarinya?

Pilihan Baghdad untuk memfokuskan energi ke dalam dan membentengi diri dari tekanan eksternal tampaknya menjadi satu-satunya jalan realistis demi masa depan yang lebih damai dan mandiri.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular