Tuesday, August 19, 2025
HomeBeritaANALISIS - Setelah Hamas terima proposal gencatan senjata, akankah Netanyahu melunak?

ANALISIS – Setelah Hamas terima proposal gencatan senjata, akankah Netanyahu melunak?

Sumber di Hamas pada Senin (18/8) mengonfirmasi bahwa gerakan perlawanan Palestina itu telah menyetujui sebuah usulan baru yang diajukan para mediator Mesir dan Qatar terkait gencatan senjata di Gaza dan pertukaran tahanan.

Persetujuan ini dinilai membuka babak baru dalam dinamika politik dan militer, serta bisa menempatkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu—yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional—pada posisi sulit.

Netanyahu mungkin harus menerima hal yang sebelumnya ia tolak, tanpa sepenuhnya meninggalkan agenda strategis yang ia umumkan beberapa waktu lalu.

Menurut analis politik Ibrahim al-Madhun, perubahan peta di medan tempur membuat Netanyahu kian tertekan untuk merespons langkah Hamas ini.

Sinyal positif tersebut muncul di tengah pertemuan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dengan Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani.

Kedua belah pihak menegaskan pentingnya percepatan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, pembebasan para tahanan, serta menolak keras rencana pendudukan militer kembali maupun pengusiran warga Palestina dari Jalur Gaza.

Berdasarkan laporan yang beredar, usulan kesepakatan yang diterima Hamas mencakup 8 butir utama:

  1. Pembebasan 10 tahanan Israel yang masih hidup serta penyerahan 18 jenazah.
  2. Masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza melalui lembaga internasional, Palang Merah, dan PBB.
  3. Pemberlakuan gencatan senjata selama 60 hari.
  4. Dimulainya perundingan untuk mengakhiri perang segera setelah gencatan senjata diberlakukan.
  5. Penarikan pasukan Israel sejauh 1.000 meter ke dalam dari utara dan timur Gaza, kecuali di kawasan Shuja’iyya dan Beit Lahia.
  6. Sebagai imbalan atas pembebasan 10 tahanan Israel, Tel Aviv harus membebaskan 140 tahanan Palestina dengan vonis seumur hidup dan 60 orang dengan vonis lebih dari 15 tahun.
  7. Untuk setiap jenazah Israel yang diserahkan, akan dibebaskan 10 jenazah warga Palestina.
  8. Pembebasan seluruh tahanan Palestina anak-anak dan perempuan.

Mengapa Hamas menerima?

Menurut Ibrahim al-Madhun, keputusan Hamas kali ini tak lepas dari kondisi kemanusiaan di Gaza.

Hamas, ujarnya, kini lebih siap menerima tawaran yang sebelumnya sempat ditolak, demi menghentikan genosida yang sedang berlangsung terhadap warga sipil.

Prioritas utama gerakan itu adalah menyelamatkan lebih dari satu juta penduduk Kota Gaza yang berada dalam ancaman nyata kematian maupun pengusiran.

Karena itu, setiap opsi yang dapat menyelamatkan rakyat Palestina dibahas serius di meja Hamas.

Delegasi Hamas di Kairo, bersama sejumlah faksi Palestina lain, juga disebut melakukan konsultasi intensif.

Langkah ini dinilai menunjukkan bahwa Hamas kian berhati-hati, berusaha mendengar suara faksi lain sekaligus aspirasi rakyat Gaza yang kini menuntut satu hal paling mendesak: penghentian perang.

Dari sisi internasional dan regional, Hamas menyadari lemahnya kemampuan dunia untuk menekan Israel.

Namun, gerakan itu juga tidak ingin dituding bertanggung jawab atas berlanjutnya pembantaian.

Karena itu, keputusan menerima usulan baru ini diambil demi mencegah kerusakan lebih lanjut, sekaligus menutup celah yang bisa dimanfaatkan Netanyahu untuk melanjutkan proyek pemusnahan Gaza dan pengusiran warganya.

Tidak ada sentuhan pada senjata perlawanan

Salah satu poin krusial yang kerap memicu kebuntuan dalam perundingan sebelumnya adalah soal senjata perlawanan.

Namun, menurut analis politik Ibrahim al-Madhun, usulan terbaru ini justru tidak menyinggung sama sekali isu pelucutan senjata.

Hal ini dinilai penting, sebab selain tidak ada pembahasan mengenai senjata, usulan juga tidak menyertakan ketentuan tentang pengusiran atau penghilangan keberadaan rakyat Palestina dari Gaza.

“Ini membuka peluang nyata untuk menghentikan genosida, sekaligus memberi kesempatan bagi Hamas dan faksi-faksi Palestina menata kembali posisi nasional mereka secara komprehensif. Dari sana, bisa muncul sikap bersama yang dapat menjadi pintu masuk mengakhiri perang dan menata kembali rumah tangga politik Palestina,” ujar al-Madhun.

Ia menyimpulkan bahwa persetujuan Hamas terhadap usulan baru ini bukan hanya sekadar manuver politik, melainkan sebuah langkah penyelamatan rakyat Palestina.

Kesepakatan ini bisa menjadi awal terbentuknya iklim regional dan internasional yang lebih serius untuk mendorong lahirnya solusi politik permanen, menghentikan perang, sekaligus mencegah bahaya pengusiran dan pemusnahan massal.

Netanyahu dalam posisi sulit

Dengan perubahan peta pertempuran di Gaza, serta menguatnya protes sipil di Israel yang bahkan mengancam menuju gerakan pembangkangan sipil total—ditambah isu pemilu legislatif yang kian mengemuka—Netanyahu berpotensi terdesak untuk menerima kesepakatan baru itu.

Meski begitu, analis menilai sikap tersebut tak lebih dari langkah taktis, bukan keinginan tulus untuk mengakhiri perang.

Al-Madhun menyoroti sejumlah faktor yang membuat Netanyahu tak bisa begitu saja menolak usulan ini:

  1. Menambah waktu – Penerimaan usulan memberi Netanyahu ruang tambahan untuk merapikan strategi dan mempersiapkan rencana pendudukan Kota Gaza, sebab kesepakatan tidak menjanjikan penghentian perang secara permanen.
  2. Modal politik cepat – Pembebasan tahanan Israel dalam jumlah besar akan langsung meningkatkan posisi politik Netanyahu, sekaligus meredakan tekanan internal dan membungkam sebagian oposisi.
  3. Reduksi tekanan internasional – Gencatan senjata sementara akan menurunkan sorotan dunia, serta mengurangi kritik yang menuduh Israel bertanggung jawab atas pembantaian, genosida, dan kelaparan sistematis terhadap warga Palestina.
  4. Faktor Amerika Serikat – Adanya dorongan nyata dari Washington untuk mewujudkan jeda kemanusiaan, betapa pun terbatasnya, menjadi hal yang sulit diabaikan oleh Netanyahu mengingat hubungan strategis dengan AS.
  5. Sudah raih capaian militer – Netanyahu menilai sebagian besar target militer dan politik Israel telah tercapai, sementara penarikan pasukan secara bertahap tetap menjamin kontrol di Gaza tanpa komitmen penuh menghentikan perang.
  6. Durasi singkat – Masa gencatan senjata yang hanya dua bulan dianggap relatif singkat, sehingga tidak memaksa Netanyahu mengubah strategi besarnya.

Dengan begitu, kemungkinan persetujuan Netanyahu lebih tepat dipahami sebagai manuver taktis ketimbang titik balik menuju perdamaian.

Ia bisa memperoleh jeda politik dan militer, sembari menjaga pintu terbuka untuk melanjutkan operasi di Gaza sesuai agenda strategisnya.

Sejauh ini, Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat (AS) terus memainkan peran sebagai mediator antara Israel dan Hamas.

Putaran terakhir perundingan tidak langsung yang berlangsung di Doha berakhir pada 25 Juli lalu tanpa menghasilkan kesepakatan.

Usulan baru ini, dengan segala dinamika dan tekanan di lapangan, berpotensi menjadi momentum yang menentukan bagi kedua belah pihak.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular