Wednesday, May 14, 2025
HomeBeritaANALISIS - Trump di Timur Tengah: Senjata untuk Arab, sunyi untuk Palestina

ANALISIS – Trump di Timur Tengah: Senjata untuk Arab, sunyi untuk Palestina

Kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump ke Arab Saudi pada Selasa  menandai babak baru dalam kebijakan Washington terhadap kawasan Timur Tengah.

Namun, di tengah pertemuan penting dan pernyataan strategis, satu hal mencolok: Trump sama sekali tidak menyinggung soal perang di Gaza.

Para analis menilai bahwa keheningan ini bukan tanpa makna, melainkan mencerminkan ketiadaan kesepakatan konkret yang siap diumumkan serta perubahan sikap yang disengaja terhadap Israel, khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Trump tiba di Riyadh dalam rangkaian lawatan pertamanya ke kawasan sejak kembali ke Gedung Putih awal tahun ini, yang juga mencakup Qatar dan Uni Emirat Arab.

Selama lawatan ini, ia membawa serta sejumlah kebijakan penting yang menggambarkan pergeseran besar dalam pendekatan AS di Kawasan.

Mulai dari pencabutan sanksi terhadap Suriah, pelunakan ancaman perang terhadap Iran, penjualan jet tempur F-35 ke Turki, hingga penandatanganan kesepakatan militer terbesar dalam sejarah dengan Arab Saudi senilai 142 miliar dolar AS.

Sementara Trump tampak menjauh dari kebijakan Israel, Netanyahu justru meningkatkan eskalasi retorika.

Ia menegaskan bahwa Israel akan terus melanjutkan perang di Gaza meski ada kesepakatan gencatan senjata sementara.

Bahkan, ia kembali menyuarakan niatnya untuk mendorong pengusiran penduduk Gaza ke luar negeri.

Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Dr. Mustafa Barghouti, menyayangkan diamnya Trump atas pernyataan-pernyataan Netanyahu tersebut saat berada di Riyadh.

Ia menilai ketidakhadiran isu Palestina dalam agenda Trump menjadi bukti bahwa perbedaan antara AS dan Israel bersifat taktis, bukan strategis.

Baginya, tantangan terbesar saat ini adalah memastikan AS memenuhi janji untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.

“Gaza telah mencapai titik kritis. Diperlukan tekanan internasional, termasuk dari AS, untuk menghentikan kelaparan yang disengaja terhadap warga Palestina,” ujar Barghouti dalam program Masar al-Ahdath.

Netanyahu makin terpojok

Senada dengan Barghouti, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Kuwait, Dr. Abdullah Al-Shayji, melihat sikap Netanyahu sebagai bentuk tantangan terhadap Trump.

Ia menilai bahwa Netanyahu seharusnya menerima sinyal keras dari AS atas tindakannya di Gaza.

“Trump semestinya memberikan isyarat akan mengambil posisi tegas terhadap Netanyahu, namun sejauh ini hal itu belum terlihat,” ujarnya.

Meski begitu, Al-Shayji tidak menutup kemungkinan bahwa Trump akan mengumumkan rencana atau inisiatif baru soal Gaza dalam KTT AS-GCC yang dijadwalkan berlangsung Rabu.

Ia menilai bahwa Trump sedang mempersempit ruang gerak Netanyahu dengan menekannya melalui berbagai isu lain, seperti Suriah, Iran, dan Yaman.

Al-Shayji juga mengkritik inkonsistensi Trump yang tetap menyerang Hamas meskipun sebelumnya AS telah bernegosiasi langsung dengan kelompok tersebut untuk membebaskan tawanan Edan Alexander.

“Trump justru tidak mengkritik Netanyahu, padahal tindakan militernya di Gaza jelas mempermalukan AS di hadapan dunia Arab,” tegasnya.

Isolasi politik terhadap Israel

Peneliti senior di Al Jazeera Center for Studies, Dr. Liqaa Maki, menilai bahwa keengganan Trump membahas Gaza kemungkinan besar karena belum ada kesepakatan yang matang untuk diumumkan.

Namun, ia melihat bahwa langkah-langkah Trump telah secara nyata merugikan strategi Netanyahu.

Salah satu sinyal paling kuat adalah keputusan Trump untuk tidak mengunjungi Israel meskipun ia berada di wilayah yang sangat dekat saat negara itu sedang merayakan apa yang disebutnya sebagai Hari Kemerdekaan.

Hal ini dipandang Maki sebagai bentuk pengabaian simbolis terhadap Tel Aviv.

Ia juga menyoroti bahwa pembebasan tawanan Edan Alexander kemungkinan besar merupakan bagian dari kesepakatan diplomatik yang sedang digodok tanpa keterlibatan langsung Israel.

Selain itu, kesepakatan militer dengan Saudi dan Turki mengurangi keunggulan militer Israel di kawasan, dan menunjukkan bahwa AS tidak lagi menganggap keberatan Israel sebagai penghalang kebijakan strategisnya.

Maki mencatat pula bahwa Trump tidak menekan Saudi untuk melakukan normalisasi dengan Israel sebagai syarat perjanjian militer besar tersebut.

Sebaliknya, ia membiarkan proses itu berlangsung sesuai dengan waktu dan kondisi yang ditentukan oleh pihak Arab.

Bahkan, Trump juga membuyarkan semua rencana Israel terkait pembagian wilayah Suriah dengan membuka hubungan baru dengan Damaskus.

Ini, menurut Maki, menandakan bahwa Trump telah kehilangan kepercayaan pada Netanyahu, yang ia anggap gagal dalam hampir semua aspek.

“Netanyahu kini menghadapi tekanan internal yang besar karena gagal mempertahankan hubungan erat dengan AS. Ia juga menyaksikan bagaimana negara-negara Arab dan Turki semakin mendekat ke Trump, yang bisa saja membuka jalan untuk kemajuan dalam isu Palestina,” pungkas Maki.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular