Anna Kasparian, komentator politik independen, penulis, produser, dan jurnalis asal Amerika Serikat (AS) berdarah Armenia, belakangan menjadi sosok yang ramai diperbincangkan.
Ucapannya yang tajam soal konflik Palestina dan keterlibatan AS di dalamnya memicu gelombang reaksi luas—antara pujian atas keberaniannya dan kecaman karena dinilai menyinggung sekutu strategis Washington, yaitu Israel.
Kasparian dikenal karena gaya bicaranya yang lugas dan emosional. Ia tidak segan menggunakan bahasa keras untuk mengungkapkan pandangannya.
Terutama terhadap tindakan Israel di Jalur Gaza dan dukungan politik maupun militer yang diberikan AS.
Bagi para pendukungnya, keberanian Kasparian mencerminkan semangat kebebasan berpendapat.
Namun, bagi para pengkritiknya, gaya bicara itu dianggap melewati batas dan merugikan kepentingan Amerika di Timur Tengah.
Sikapnya juga menimbulkan perdebatan di kalangan komunitas Armenia. Hal itu disebabkan oleh keterlibatannya dalam program “The Young Turks”, nama yang sensitif bagi sebagian warga Armenia karena berasosiasi dengan masa kelam sejarah mereka.
Namun, para pendiri program itu menegaskan bahwa nama tersebut tidak memiliki kaitan dengan konteks sejarah Armenia-Turki.
Anna Kasparian, yang nama lengkapnya adalah Anahit Misak Kasparian, lahir pada 1986 di Los Angeles, California, dari keluarga imigran Armenia.
Meski tumbuh di Amerika, ia tetap memegang kuat identitas kulturalnya. Bahasa Armenia adalah bahasa pertama yang ia kuasai, sebelum belajar bahasa Inggris melalui tayangan anak-anak seperti Sesame Street.
Sejak kecil, Kasparian menekuni tari balet, dan tampil secara profesional hingga usia 19 tahun. Ia kemudian menempuh pendidikan di Universitas Negeri California di Northridge dan memperoleh gelar sarjana jurnalistik pada 2007.
Tiga tahun kemudian, ia melanjutkan ke jenjang magister di bidang ilmu politik. Kasparian kerap menyebut jurnalis senior Barbara Walters dari program 20/20 di ABC sebagai sosok yang menginspirasinya masuk dunia media.
Selepas kuliah, Kasparian bekerja sebagai produser pembantu di stasiun radio CBS Los Angeles.
Ia mengaku bersyukur mendapat pekerjaan segera setelah lulus, namun merasa kecewa dengan suasana kerja media arus utama yang dianggap terlalu kaku dan “tak memungkinkan kebebasan berekspresi”.
Lonjakan karier dan ketenaran global
Karier Kasparian menanjak pesat setelah bergabung dalam program “The Young Turks”, dipimpin oleh jurnalis Amerika keturunan Turki, Cenk Uygur.
Awalnya, Kasparian sempat ragu menerima tawaran tersebut karena latar belakang historis antara Armenia dan Turki.
Namun setelah bergabung, ia justru menemukan ruang untuk berbicara secara bebas—bahkan dengan gaya yang ia sebut “kadang agresif”.
Program tersebut kemudian berkembang menjadi salah satu media progresif paling berpengaruh di dunia maya.
Dengan strategi komunikasi yang populis dan berhaluan kiri, “The Young Turks” berhasil menjaring jutaan pengikut di YouTube, melampaui banyak jaringan berita besar seperti CNN.
Kasparian yang mengaku ateis ini dikenal memperjuangkan nilai-nilai progresif dan kebebasan berekspresi. Ia telah menerima sejumlah penghargaan jurnalistik dan menjadi pembicara utama di berbagai universitas serta konferensi politik.
Tulisannya juga pernah dimuat di media ternama seperti The New York Times dan Time Magazine.
Kontroversi dan suara untuk Gaza
Dalam dua tahun terakhir, Kasparian menjadi sorotan karena pernyataannya yang keras terhadap perang di Gaza dan dukungan AS terhadap Israel.
Dalam penampilannya di program Piers Morgan Uncensored, ia menyerukan agar Washington tidak terlibat dalam perang yang dilakukan Israel.
“Tinggalkan Amerika di luar urusan ini. Tidak seharusnya prajurit kita mati demi negara kalian,” katanya dengan nada tegas.
Ia merujuk pada potensi keterlibatan AS dalam konfrontasi dengan Iran demi kepentingan Israel.
Pada kesempatan lain, nada suaranya meningkat drastis ketika menuding militer Israel melakukan genosida di Gaza.
Ia terlibat perdebatan panas dengan tamu pro-Israel dan sempat menyela dengan kalimat yang viral.
“Saya tidak akan biarkan Anda berkelit, dasar tidak tahu malu!” katanya.
Momen itu menyebar luas di media sosial dan menempatkannya di pusat badai opini global.
Kasparian juga menolak keras upaya membungkam kritik terhadap Israel dengan alasan antisemitisme atau Holocaust.
Dalam satu perdebatan, ia bahkan menanggapi seorang jurnalis Israel.
“Kau menjijikkan,” katanya.
Sebuah video lain memperlihatkan dirinya berbicara langsung kepada masyarakat Israel.
“Kalian dibenci di seluruh dunia. Jangan tertipu oleh propaganda media Amerika,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa kebencian itu bukan karena agama Yahudi, melainkan akibat kebijakan dan tindakan Israel terhadap warga Palestina.
Reaksi atas pandangan Kasparian pun terbelah. Banyak pengikutnya memuji keberaniannya menyuarakan tragedi kemanusiaan di Gaza yang sering diabaikan media arus utama Amerika.
Namun, tak sedikit pula yang mengecamnya karena dianggap merusak hubungan diplomatik Amerika-Israel dan menyebarkan sentimen “antisemit”.
Dalam sejumlah pernyataannya, Kasparian menegaskan bahwa kritiknya terhadap Israel berangkat dari pandangan moral dan kemanusiaan.
Ia menyebut kebijakan luar negeri Amerika sebagai “berat sebelah dan merusak”, serta menuduh Washington turut memperkuat “kejahatan terhadap warga sipil”.
“Saya tahu seperti apa genosida itu ketika saya melihatnya,” tegasnya dalam salah satu debat televisi.
Keberaniannya sering ia kaitkan dengan sejarah keluarganya sendiri.
“Saya orang Armenia, dan saya tahu seperti apa pembantaian massal itu,” ujarnya—menautkan tragedi genosida Armenia dengan penderitaan rakyat Palestina.
Ia juga membandingkan pengalaman komunitas Armenia dan Yahudi di Palestina pada awal abad ke-20. Menurutnya, orang-orang Armenia datang sebagai pengungsi yang mencari perlindungan dan berbaur dengan masyarakat lokal tanpa niat menguasai.
Sebaliknya, imigran Yahudi Zionis datang membawa ideologi kolonial, dengan tujuan mengambil alih tanah dan mengusir penduduk asli—baik Muslim, Kristen, maupun Armenia.
“Perlawanan terhadap mereka adalah konsekuensi alami dari penindasan. Sementara agama justru tidak pernah menjadi faktor penting dalam kehidupan masyarakat Palestina sebelum proyek kolonial Zionis dimulai,” kata Kasparian.
Bagi Kasparian, perjuangan membela Gaza bukanlah soal politik semata, melainkan ujian moral bagi media dan kemanusiaan.
Ia menyebut pengalaman keluarganya sebagai bagian dari kesadarannya untuk menolak ketidakadilan di mana pun.
Suaranya yang lantang—kadang sarkastik, kadang emosional—telah menjadikannya salah satu figur paling menonjol di lanskap media progresif Amerika.
Dalam sorotan dan kontroversi, Anna Kasparian tetap berdiri pada keyakinannya: bahwa keberpihakan pada korban, siapa pun mereka, adalah panggilan nurani yang tidak bisa dibungkam.