Monday, May 5, 2025
HomeBeritaApa yang diinginkan kaum Druze di Suriah?

Apa yang diinginkan kaum Druze di Suriah?

Upaya pemerintah Suriah untuk menyatukan kembali negara pasca-perang menghadapi tantangan besar. Terutama karena keberagaman identitas etnis dan agama yang semakin menonjol selama konflik panjang.

Perang yang meluluhlantakkan institusi negara, yang sejak lama melekat pada kepemimpinan Presiden terguling Bashar al-Assad, membuka ruang bagi munculnya dinamika baru.

Sementara itu, Israel secara terbuka mendorong disintegrasi Suriah dengan dalih melindungi kelompok minoritas.

Salah satu kelompok yang kini menjadi sorotan adalah komunitas Druze, yang diperkirakan mencakup 2–3 persen dari total populasi Suriah.

Ketegangan kembali meningkat menyusul bentrokan antara faksi-faksi Druze dan kelompok suku serta Badui di Ashrafiyat Sahnaya, pinggiran Damaskus.

Aparat keamanan Suriah turun tangan untuk mengendalikan situasi, namun ketegangan meluas hingga wilayah sekitar Provinsi Suweida yang mayoritas dihuni warga Druze.

Ketegangan ini bukan muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari dinamika yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Termasuk kritik-kritik dari sejumlah tokoh Druze terhadap langkah-langkah pemerintah Suriah yang baru.

Salah satu suara paling lantang datang dari Sheikh Hikmat al-Hijri, tokoh agama berpengaruh, yang secara terbuka menolak beberapa kebijakan pemerintah. Termasuk pengumuman konstitusi baru, dan bahkan menyerukan perlindungan internasional.

Sikap kaum Druze selama revolusi Suriah

Sejak awal revolusi Suriah, komunitas Druze menunjukkan sikap yang tidak seragam terhadap rezim Assad.

Beragam pandangan dan sikap politik muncul di kalangan pemuka agama, tokoh masyarakat, dan komandan faksi lokal. Meskipun kepentingan perlindungan komunitas tetap menjadi benang merah.

Sebagian besar komunitas Druze, khususnya yang bermukim di Suweida, memilih menjauh dari konflik bersenjata antara pemerintah dan oposisi.

Mereka enggan mengikuti wajib militer di bawah rezim Assad, sikap yang sempat menimbulkan ketegangan dengan pemerintah. Namun, komunitas ini juga tidak sepenuhnya berpihak pada kelompok oposisi.

Seiring berjalannya waktu, muncul faksi-faksi lokal Druze yang mulai mengusung agenda politik dan bahkan menghadapi militer pemerintah.

Salah satunya adalah Gerakan Rijal al-Karama (Para Lelaki Kehormatan) yang dipimpin Yahya al-Hajjar.

Di sisi lain, terdapat faksi-faksi yang terhubung dengan intelijen lama, seperti kelompok Raji Falhout dan Pertahanan Nasional yang dipimpin Rashid al-Salloum.

Sikap oposisi yang lebih keras terhadap Assad juga berkembang, seperti yang ditunjukkan oleh Laith al-Balaous—putra pendiri Gerakan Rijal al-Karama, Sheikh Wahid—yang tewas dalam serangan rezim pada 2015.

Tokoh lain seperti Sheikh Suleiman Abdul Baqi memimpin aksi-aksi protes anti-Assad pada 2022 dan 2023.

Persaingan di antara otoritas keagamaan

Studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Jusoor pada 2021 mencatat bahwa ketegangan dalam komunitas Druze meningkat setelah wafatnya pemimpin spiritual utama, Ahmad al-Hijri.

Persaingan kemudian muncul antara putranya, Hikmat, dan Sheikh Yusuf al-Jarbou’.

Hingga 2021, Hikmat al-Hijri dikenal sebagai pendukung Assad dan bahkan membuka komunikasi dengan kelompok Hasyd al-Sya’bi dari Irak.

Namun, sebagian besar tokoh agama dan komunitas Druze menolak campur tangan Iran di wilayah mereka.

Namun setelah 2021, sikap al-Hijri berubah drastis. Ia mulai melontarkan kritik keras terhadap pemerintahan Assad dan menjalin komunikasi dengan Sheikh Mowafaq Tarif, pemimpin Druze di Israel.

Sebaliknya, Sheikh al-Jarbou’ tetap menunjukkan kesetiaan kepada pemerintah dan mendesak negara untuk mengendalikan Suweida.

Dalam beberapa tahun terakhir, juga muncul partai-partai politik baru seperti Hizb al-Liwa’ al-Suri (Partai Panji Suriah) yang mendorong pembentukan pemerintahan otonom.

Partai ini memiliki sayap militer yang dikenal sebagai Pasukan Anti-Terorisme, yang disebut-sebut menerima dukungan dari koalisi internasional.

Sikap Druze pasca-jatuhnya Assad

Sejak akhir 2024, pemerintahan baru Suriah telah melakukan sejumlah pertemuan dengan tokoh-tokoh Druze. Termasuk Hikmat al-Hijri yang kemudian menjadi figur utama oposisi terhadap kebijakan-kebijakan politik pemerintah.

Salah satu hasil dari komunikasi ini adalah penunjukan gubernur baru untuk Suweida oleh pemerintah.

Namun, awal 2025 menandai konfrontasi pertama antara Hikmat al-Hijri dan pemerintah. Ia menolak keras kehadiran aparat keamanan dari luar Suweida.

Kelompok bersenjata lokal, termasuk Dewan Militer Suweida dan sejumlah faksi eks-loyalis Assad, mendukung sikap al-Hijri.

Sejumlah tokoh Druze juga menolak menyerahkan senjata faksi-faksi lokal sebelum terbentuknya angkatan bersenjata nasional yang inklusif.

Ketidakpuasan terhadap keterwakilan Suweida dalam Konferensi Dialog Nasional pada Februari lalu pun mencuat.

Pemerintah hanya mengundang sekitar 20 tokoh independen dari kalangan akademisi dan aktivis, tanpa melibatkan representasi formal komunitas.

Akibatnya, beberapa tokoh yang dekat dengan para pemimpin spiritual Druze menarik diri dari konferensi, seperti Osama al-Hijri—sepupu Sheikh Hikmat—yang secara terbuka menyampaikan penolakannya terhadap mekanisme pengundangan peserta.

Kontroversi makin memuncak saat pemerintah mengumumkan konstitusi sementara pada Maret lalu.

Konstitusi menetapkan bahwa presiden Suriah harus beragama Islam dan menjadikan fikih Islam sebagai sumber utama legislasi.

Sheikh Hikmat menolak keras ketentuan ini dan menyebutnya sebagai bentuk dominasi kelompok tertentu.

Ia menyerukan sistem demokrasi sekuler yang inklusif, dan mendesak agar setiap kebijakan memperoleh persetujuan rakyat Suriah secara luas.

Aktivis politik Druze pun menegaskan kembali pentingnya penerapan prinsip desentralisasi dalam tata kelola Suriah ke depan.

Pertikaian internal di Suweida

Ketegangan di wilayah Suweida kembali memanas awal Mei ini, menyusul bentrokan antara dua arus utama dalam komunitas Druze.

Ketegangan mencuat ketika kelompok yang dipimpin Sheikh Hikmat al-Hijri menolak upaya Lyth al-Balaous untuk menjalankan kesepakatan pembentukan pasukan keamanan lokal yang telah disetujui bersama pemerintah Suriah.

Balaous bahkan dilarang memasuki kota Mazra’a, menandai konfrontasi terbuka antara dua figur berpengaruh dalam komunitas Druze.

Benturan ini mencerminkan lebih dari sekadar perbedaan pandangan ideologis terhadap pemerintah Suriah.

Menurut pengamat, konflik tersebut juga menunjukkan upaya sebagian pihak dalam komunitas Druze untuk memonopoli representasi kelompok, terutama pasca-kejatuhan rezim Assad.

Ketegangan antara kubu Balaous dan al-Hijri sebenarnya telah berlangsung sejak lama.

Sheikh Wahid al-Balaous, ayah dari Lyth dan pendiri Gerakan Rijal al-Karama, kehilangan dukungan dari sejumlah tokoh spiritual Druze, termasuk al-Hijri, sebelum akhirnya tewas dalam serangan pada 2015.

Aktivis lokal menyebutkan bahwa sebagian kelompok yang kini mendukung al-Hijri merupakan bekas afiliasi dari aparat keamanan rezim lama.

Mereka khawatir akan menjadi sasaran penangkapan jika menyerahkan senjata, sehingga cenderung bersikap keras terhadap pemerintahan baru.

Sikap ini menambah kerumitan dalam proses rekonsiliasi dan penguatan otoritas negara di wilayah Druze.

Bayang-bayang Israel dan dinamika Regional

Situasi di Suweida makin kompleks dengan keterlibatan Israel. Pasca-kejatuhan Assad, Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa’ar secara terang-terangan menyatakan bahwa negaranya akan mendukung kelompok minoritas di Suriah, khususnya Kurdi dan Druze.

Setiap kali pemerintah Suriah mencoba mengembalikan otoritasnya di wilayah Druze, termasuk di pinggiran Damaskus maupun Suweida, Israel merespons dengan peningkatan aktivitas militer.

Klimaks terjadi baru-baru ini ketika pesawat nirawak Israel menyerang sekitar Istana Rakyat di Damaskus, menyusul bentrokan di Ashrafiyat Sahnaya.

Bahkan, sebuah helikopter militer Israel untuk pertama kalinya mendarat di wilayah Suweida, mengangkut bantuan kemanusiaan bagi komunitas Druze.

Lembaga penyiaran publik Israel mengonfirmasi misi ini, menambah sorotan terhadap peran Israel di selatan Suriah.

Selain itu, tokoh Druze Israel Sheikh Mowafaq Tarif memainkan peran penting dalam mendorong kebijakan Israel terhadap Suriah.

Tarif terlihat mendampingi petinggi militer Israel dalam peristiwa Ashrafiyat Sahnaya, menegaskan perannya sebagai penghubung antara Tel Aviv dan komunitas Druze Suriah.

Tak lama setelah itu, Sheikh Hikmat al-Hijri dan Dewan Militer Suweida mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan perlindungan internasional.

Peringatan dari dalam komunitas

Namun, tidak semua pihak di Suweida menyambut baik campur tangan Israel. Tokoh-tokoh terkemuka seperti jurnalis Maher Sharafuddin dan aktivis muda Lyth al-Balaous memperingatkan bahaya bergantung pada janji-janji Israel dan dukungan dari Sheikh Tarif.

Mereka menyerukan perlunya menjaga persatuan Suriah dan menolak upaya pemecahan negara berdasarkan sektarianisme atau kepentingan asing.

Sebelumnya, laporan media Israel juga menyebut adanya kontak antara Tel Aviv dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi oleh etnis Kurdi.

Selain itu, Israel disebut mendorong kehadiran pasukan Amerika di timur laut Suriah untuk mencegah reunifikasi negara tersebut.

Hal itu sebuah strategi yang menunjukkan bahwa pendekatan Israel tidak hanya terbatas pada komunitas Druze.

Namun demikian, komunitas Druze tetap menunjukkan keinginan untuk mempertahankan identitas dan peran khasnya dalam kerangka negara Suriah.

Banyak tokohnya terus menyerukan sistem sekuler dan pluralistik sebagai antitesis terhadap dominasi keagamaan tunggal dalam pemerintahan.

Di sisi lain, perpecahan internal dan keterbukaan sebagian faksi terhadap dukungan asing menyulitkan tercapainya konsensus dengan pemerintah pusat.

Ketika Suriah berupaya mengonsolidasikan kekuasaan dan membangun kembali institusi negara, Suweida tetap menjadi potret kecil dari tantangan yang lebih luas.

Keinginan untuk mempertahankan otonomi lokal, dilema antara pengaruh luar dan nasionalisme, serta rivalitas antarfaksi dalam komunitas Druze, menjadikan wilayah ini sebagai salah satu ujian terberat bagi stabilitas Suriah ke depan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular