Sunday, February 23, 2025
HomeBeritaApakah gerakan Arab berhasil menghadapi rencana Trump?

Apakah gerakan Arab berhasil menghadapi rencana Trump?

Dalam langkah yang jarang terjadi, negara-negara Arab bersatu untuk mengoordinasikan sikap mereka dalam menghadapi usulan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang ingin memindahkan warga Palestina dari Jalur Gaza ke Yordania dan Mesir.

Beberapa negara Arab berpengaruh—termasuk sekutu lama AS seperti Mesir, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar—telah meningkatkan upaya diplomatik dalam beberapa hari terakhir untuk menegaskan penolakan mereka terhadap rencana Trump dan menolak pengusiran paksa warga Palestina dari tanah mereka.

Mesir tampaknya menjadi ujung tombak dalam gerakan terkoordinasi ini. Kairo telah mengumumkan penyelenggaraan Konferensi Timur Tengah (KTT) Arab darurat pada akhir Februari untuk membahas perkembangan berbahaya terkait masalah Palestina.

Selain itu, Mesir menyatakan akan menyampaikan “visi komprehensif” untuk rekonstruksi Gaza yang memastikan warga Palestina tetap tinggal di tanah mereka.

Mesir juga telah mendapatkan persetujuan awal untuk mengadakan pertemuan darurat para menteri luar negeri Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) setelah KTT tersebut.

Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi menyebut usulan pemindahan warga Palestina sebagai ketidakadilan yang tidak bisa kami dukung. Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdel Aty, dalam pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio di Washington, menegaskan bahwa negaranya menolak segala penyelesaian yang melanggar hak warga Palestina untuk tetap tinggal di Gaza.

Menurut laporan dari kantor berita AFP, para diplomat Mesir menyampaikan bahwa setiap upaya untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka akan dianggap sebagai “tindakan perang.”

Penolakan pengusiran paksa

Pada Rabu, Presiden Mesir, Abdel Fattah el-Sisi dan Raja Yordania, Abdullah II, menegaskan sikap tegas mereka yang menolak pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza.

Mereka juga menekankan pentingnya rekonstruksi Gaza dan masuknya bantuan kemanusiaan, sebagaimana disebutkan dalam pernyataan dari istana kerajaan Yordania dan kepresidenan Mesir.

Sama seperti Mesir, Yordania juga bersikap tegas dalam menolak rencana Trump. Hal itu disampaikan Raja Abdullah setelah bertemu dengan Trump di Washington pada hari Selasa.

“Penolakan Yordania terhadap pengusiran warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa kepentingan nasional Yordania harus diprioritaskan.

“Inilah sikap Arab yang bersatu. Rekonstruksi Gaza tanpa pengusiran warga Palestina dan perbaikan situasi kemanusiaan harus menjadi prioritas utama semua pihak,”katanya melalui unggahannya di platform X (Twitter).

Arab Saudi juga mengambil sikap serupa. Melalui Kementerian Luar Negeri, Riyadh menegaskan komitmennya terhadap negara Palestina dan mengecam segala upaya untuk “mengusir warga Palestina dari tanah mereka.”

Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, menegaskan bahwa setiap kesepakatan normalisasi dengan Israel bergantung pada pembentukan negara Palestina.

Uni Emirat Arab, yang menormalisasi hubungan dengan Israel pada 2020, juga menolak keras upaya untuk merampas hak-hak warga Palestina dan memindahkan mereka secara paksa.

Bahrain, yang juga menormalisasi hubungan dengan Israel, menyerukan untuk pendirian negara Palestina yang berdaulat penuh.

“Dengan cara yang memungkinkan hidup berdampingan secara damai dengan Israel,” serunya.

Di Suriah, Presiden transisi, Ahmed Al-Sharaa, mengutuk rencana Trump dan menyebutnya sebagai kejahatan.

“Kejahatan besar yang tidak bisa dibiarkan terjadi, dan saya yakin ini tidak akan berhasil,” katanya.

Sementara itu, Presiden Lebanon yang baru terpilih, Joseph Aoun, juga menolak setiap usulan yang mengarah pada pengusiran warga Palestina atau pelanggaran hak-hak mereka.

Isu sensitif

Anna Jacobs, seorang peneliti dari Institut Negara-Negara Teluk Arab di Washington, menilai bahwa negara Arab enggan dianggap berpihak kepada AS dan Israel.

“Negara-negara Arab tidak bisa menerima jika mereka dianggap berpihak pada AS dan Israel serta mendukung kebijakan pembersihan etnis warga Palestina dari Gaza,” katanya dengan menekankan bahwa isu Palestina sangat sensitif dan penting bagi opini publik dunia Arab.

Trump tetap bersikeras dengan usulannya di berbagai kesempatan. Ia mengusulkan agar Jalur Gaza menjadi milik AS, sementara penduduknya dipindahkan ke Yordania dan Mesir tanpa hak untuk kembali setelah wilayah tersebut dibangun kembali.

Trump ingin “membersihkan” Gaza yang hancur dan mengubahnya menjadi “Riviera Timur Tengah.”

Pernyataannya ini disertai dengan ancaman untuk memotong bantuan keuangan bagi Kairo dan Amman jika mereka menolak menerima warga Palestina yang diusir. Namun, usulan mengejutkan ini mendapat reaksi keras dan penolakan luas di tingkat regional maupun internasional.

Michael Hanna, direktur program AS di International Crisis Group, menilai bahwa Mesir tidak dapat menolak rencana ini sendirian.

“Mesir sangat membutuhkan dukungan negara-negara Arab, terutama negara-negara Teluk, untuk membentuk sikap Arab yang bersatu dalam isu pengusiran ini,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa Mesir tidak memiliki pengaruh ekonomi yang kuat, tetapi dukungan dari negara-negara Teluk dapat meningkatkan posisinya di panggung internasional dan dalam menghadapi Trump.

Di Yordania, analis politik Labeeb Qamhawi menyatakan bahwa Yordania perlu bantuan dalam masalah ini.

“Yordania adalah negara kecil dan lemah yang tidak bisa menghadapi badai ini sendirian,” katanya.

Sikap tegas dan bersatu dari negara-negara Arab ini merupakan momen langka di kawasan yang sering terpecah oleh kepentingan geopolitik yang saling bersaing.

Peneliti politik Mesir, Ahmed Maher, menyimpulkan, bahwa pesan dari dunia Arab sudah jelas.

“Tidak ada yang namanya pengusiran paksa. Solusinya adalah model dua negara. Setiap diskusi yang melampaui kedua poin ini tidak bisa diterima,” tegasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular