Aksi massa terus meningkat di berbagai kota Arab dan Barat untuk menuntut dihentikannya pembantaian dan genosida yang dilakukan Israel di Jalur Gaza.
Meskipun para analis politik berbeda pendapat mengenai dampak dan konsekuensi yang mungkin timbul dari aksi-aksi tersebut.
Dalam hal ini, Profesor Ilmu Politik di Universitas Amerika di Paris, Ziad Majed, menyatakan bahwa jumlah demonstrasi dan partisipan saat ini lebih sedikit dibandingkan tahun lalu.
Ia mengakui bahwa demonstrasi telah mengembalikan isu Palestina ke pusat perhatian dunia.
Dalam wawancaranya dengan program “Masar al-Ahdath”, Majed menyebut bahwa aksi massa saat ini tidak terhubung langsung dengan pengambil keputusan di Eropa.
Ia juga menambahkan bahwa aksi-aksi tersebut tidak akan mempengaruhi pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang menurutnya bertindak di luar norma diplomatik.
Ia meyakini bahwa demonstrasi akan tetap terisolasi dari realitas genosida yang dilakukan oleh Israel.
“Selama aliran senjata ke Israel terus berlanjut, tidak ada sanksi yang dijatuhkan oleh sebagian besar negara dunia, dan tidak ada negara Arab yang menarik diri dari Perjanjian Abraham,” katanya.
Koalisi internasional yang terdiri dari lembaga-lembaga masyarakat sipil, yang menamakan dirinya Kampanye Global untuk Menghentikan Genosida di Gaza.
Mereka juga menyerukan partisipasi dalam aksi mogok global dan pembangkangan sipil pada hari Senin ini hingga genosida di Gaza dihentikan.
Kampanye tersebut menekankan pentingnya demonstrasi dan aksi massa di seluruh dunia, serta mengepung kedutaan besar AS dan kedutaan besar Israel.
Aksi-aksi populer ini berlangsung di kota-kota Eropa dan Amerika meskipun ada tekanan yang diklaim oleh para aktivis sebagai upaya untuk membungkam dukungan mereka terhadap rakyat Palestina.
Sementara itu, penulis spesialis urusan Israel, Ihab Jabareen, mengatakan bahwa protes internal di Israel tidak membuahkan hasil terhadap pemerintahan Benjamin Netanyahu. Ia meyakini bahwa protes eksternal justru lebih penting.
Jabareen menjelaskan bahwa pentingnya aksi protes eksternal terletak pada daya dorongnya dan potensi untuk memberikan tekanan kepada pemerintah negara-negara yang bekerja sama dengan Tel Aviv.
Ia juga menambahkan bahwa Netanyahu berhasil memecah belah protes internal yang menentangnya.
Karena berbagai kelompok – mulai dari pendukung pemulangan tawanan, hingga pembela independensi peradilan dan mereka yang menentang pemecatan Kepala Shin Bet – tidak bersatu dalam satu gerakan.
Namun, menurut Jabareen, Netanyahu mungkin akan mundur jika terjadi pemberontakan terhadapnya di bidang ekonomi dan militer.
Ia menyebut bahwa sang perdana menteri sangat berkepentingan dengan ancaman Iran karena hanya isu itu yang bisa menyatukan masyarakat Israel.
Di sisi lain, peneliti di Dewan Kebijakan Luar Negeri Amerika, James Robbins, meragukan bahwa protes-protes ini akan mempengaruhi pemerintahan Trump.
Ia menyebut bahwa presiden tidak peduli dengan aksi massa atau pesan dan makna dari demonstrasi tersebut.
Robbins menunjuk pada tindakan pemerintah AS saat ini terhadap universitas-universitas di negara tersebut yang menyelenggarakan aksi menentang perang Israel di Gaza.
Ia juga menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan akan ada tindakan lebih lanjut terhadap para pengunjuk rasa di lingkungan kampus.
Dalam konteks ini, Majed memuji konsensus organisasi HAM dan PBB yang menyatakan bahwa Israel telah melakukan kejahatan genosida dan pembersihan etnis terhadap warga Gaza.
Ia juga menekankan pentingnya aksi mogok mahasiswa, terutama mengingat kegagalan negara-negara dalam memenuhi kewajiban mereka terhadap perjanjian internasional.
Ia menegaskan bahwa masalah ini memerlukan aksi hukum dan diplomatik yang intensif, serta kesadaran Amerika Serikat bahwa dukungannya yang tanpa syarat terhadap Israel merugikan kepentingannya sendiri.
“Wilayah ini akan menghadapi bulan-bulan yang sulit, dan masalah ini akan tetap menggantung,” ukata Majed.
Ia menambahkan bahwa Trump mungkin akan mulai mendengarkan suara-suara lain selain dari Israel jika situasi terus berlarut-larut.
Sementara itu, Robbins meyakini bahwa fokus ke depan akan bergeser ke program nuklir Iran.
Setelah Teheran kehilangan sekutu-sekutunya di kawasan dan pemerintahan Trump mulai melancarkan serangan militer intensif terhadap kelompok Ansarullah (Houthi).