Kantor berita Reuters melaporkan bahwa sejumlah pejabat dalam pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump tengah memasuki tahap lanjutan.
Tahap tersebut dalam pembahasan mengenai kemungkinan penerapan sanksi terkait terorisme terhadap Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).
Wacana ini memicu kekhawatiran serius, baik secara hukum maupun kemanusiaan, di lingkungan Departemen Luar Negeri AS.
Hingga kini belum jelas apakah diskusi tersebut diarahkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap keseluruhan lembaga UNRWA, hanya kepada pejabat tertentu, atau hanya pada aspek-aspek spesifik dari operasinya.
Menurut sumber Reuters, para pejabat belum menetapkan bentuk sanksi yang akan digunakan.
Salah satu opsi yang pernah dibahas adalah kemungkinan menetapkan UNRWA sebagai “organisasi teroris asing”.
Status yang dapat memicu isolasi finansial ekstrem bagi badan tersebut. Namun belum pasti apakah opsi itu masih menjadi pertimbangan utama.
Dua sumber yang mengetahui langsung proses diskusi menyampaikan kecemasan atas potensi konsekuensi kemanusiaan dan hukum, mengingat peran unik UNRWA dalam memberikan bantuan kepada jutaan pengungsi Palestina.
Mereka menyebut bahwa dorongan paling kuat untuk mengupayakan sanksi datang dari sejumlah pejabat politik yang diangkat pada masa awal pemerintahan Trump.
Sebaliknya, banyak staf profesional di Departemen Luar Negeri—termasuk para pengacara yang biasa menyusun bahasa hukum untuk penetapan status organisasi—menolak langkah tersebut.
Setiap tindakan menyeluruh terhadap UNRWA berpotensi mengacaukan operasi bantuan kemanusiaan dan dapat melumpuhkan badan yang sudah menghadapi krisis pendanaan.
Respons dan kekhawatiran
Pengenaan sanksi terhadap UNRWA atas dasar terorisme akan menjadi langkah luar biasa dan tidak lazim.
AS adalah negara anggota sekaligus tuan rumah PBB, organisasi yang mendirikan UNRWA pada 1949.
Direktur kantor UNRWA di Washington, William Deere, menyatakan lembaganya akan “sangat kecewa” bila pemerintah AS benar-benar mempertimbangkan klasifikasi tersebut.
Ia menyebut langkah itu “tidak memiliki preseden dan tidak dapat dibenarkan”.
Sejak Januari 2024, empat lembaga independen—termasuk Dewan Intelijen Nasional AS—telah memeriksa netralitas UNRWA.
Menurut Deere, semuanya tiba pada kesimpulan yang sama: UNRWA adalah lembaga kemanusiaan netral yang tak tergantikan dalam pelayanan bagi pengungsi Palestina.
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, menanggapi permintaan komentar, justru menyebut UNRWA sebagai “lembaga korup dengan rekam jejak terbukti dalam membantu dan mendorong terorisme”.
Pejabat itu menambahkan bahwa “segala opsi tengah dipertimbangkan, dan belum ada keputusan final”.
Gedung Putih tidak memberikan komentar. Departemen Luar Negeri dan lembaga federal lainnya memiliki sejumlah instrumen sanksi yang dapat membekukan aset atau memberlakukan larangan perjalanan terhadap individu atau badan tertentu.
Di sisi lain, puluhan negara sekutu utama AS adalah penyumbang penting bagi UNRWA.
Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah pejabat asing juga berpotensi terjerat sanksi jika Washington memutuskan untuk menargetkan lembaga itu atau pejabatnya atas tuduhan terkait terorisme?
UNRWA beroperasi di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Yordania, dan Suriah. Lembaga ini menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, bantuan sosial, serta tempat tinggal bagi jutaan warga Palestina.
Sejumlah pejabat senior PBB dan Dewan Keamanan telah menyebut UNRWA sebagai tulang punggung respons kemanusiaan di Gaza.
Terutama setelah agresi Israel yang berlangsung hampir dua tahun terakhir menyebabkan krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pemerintahan Trump sejak lama menuduh UNRWA memiliki hubungan dengan Hamas—klaim yang berkali-kali dibantah keras oleh lembaga tersebut.
AS sebelumnya merupakan donor terbesar bagi UNRWA, namun pada Januari 2024 menghentikan seluruh pendanaan setelah Israel menuduh sekitar 12 pegawai UNRWA terlibat dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.


