Monday, June 23, 2025
HomeBeritaDari alat tukar jadi alat penjerat: Krisis ekonomi di Tepi Barat akibat...

Dari alat tukar jadi alat penjerat: Krisis ekonomi di Tepi Barat akibat penumpukan shekel

Krisis keuangan tengah mencengkeram Tepi Barat seiring menumpuknya mata uang Israel, shekel, di sistem perbankan Palestina.

Uang yang semula berfungsi sebagai alat tukar kini berubah menjadi alat penjerat ekonomi.

Volume shekel yang mengendap di bank-bank Palestina telah melampaui batas kapasitas penyimpanan dan membawa risiko ekonomi serta keamanan yang kian membesar.

Akar persoalan ini bukan baru muncul, namun semakin memburuk sejak agresi Israel terhadap Gaza pada Oktober 2023.

Para analis menilai, situasi ini merupakan lanjutan dari kebijakan ekonomi yang represif dari otoritas pendudukan.

Bank Israel —sebagai penerbit resmi shekel— menolak menyerap kelebihan uang tunai dari wilayah Palestina, padahal secara hukum, hal itu merupakan tanggung jawabnya.

Otoritas Palestina melalui Bank Sentral (Palestinian Monetary Authority) mencoba mengatasi krisis ini dengan mendorong sistem pembayaran elektronik, memperluas jaringan titik penjualan (point of sale), dan mendorong kerja sama antara bank dengan sektor-sektor penting.

Namun, masyarakat menanggapi upaya ini dengan skeptis. Di media sosial, banyak warganet menyebut kebijakan tersebut hanya tambal sulam yang justru menambah beban warga tanpa menyentuh akar persoalan.

Jurnalis ekonomi Palestina, Muhammad Khabeesa, menyoroti kemiripan sikap antara Bank Israel dan Otoritas Moneter Palestina yang menurutnya justru sama-sama bersikap seolah menjadi korban.

Padahal, kata Khabeesa, tanggung jawab hukum jelas berada di pundak Bank Israel. Melalui laman Facebook-nya, ia juga menyinggung pernyataan Bank Israel yang menyalahkan kelebihan shekel pada dugaan penghindaran pajak.

Selain itu juga adanya dugaan penyelundupan uang dari Israel ke Tepi Barat, yang membuat mereka menolak menyerap uang lebih dari 4,5 miliar shekel setiap triwulan.

Khabeesa juga mengkritik kurangnya transparansi dari otoritas moneter Palestina yang seharusnya rutin merilis data pasokan uang tunai.

Ia mempertanyakan bagaimana mungkin hampir semua bank Palestina serentak memberlakukan batas maksimum untuk setoran tunai dalam shekel, seolah krisis ini muncul mendadak, padahal sebenarnya merupakan akumulasi yang lama dibiarkan.

Data menunjukkan bahwa krisis ini telah terakumulasi sejak lebih dari enam tahun lalu, ketika shekel yang mengendap di bank berkisar antara 5 hingga 6 miliar.

Kini, nilainya telah melampaui 13 miliar shekel, tanpa ada mekanisme sirkulasi yang efektif.

Para aktivis mengkritik keras solusi yang dibebankan pada masyarakat, sementara perbankan tetap meraih keuntungan besar tanpa kontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Mereka menyebutkan bahwa bank hanya fokus meraup laba dari bunga pinjaman, tanpa memainkan peran aktif sebagai motor pembangunan.

Narasi resmi yang menyalahkan upah buruh atau lambatnya digitalisasi sebagai penyebab krisis juga dibantah dengan data.

Statistik menunjukkan bahwa sejak 7 Oktober 2023, jumlah buruh Palestina yang bekerja di Israel dan permukiman ilegal turun hingga 86 persen, menggugurkan salah satu alasan utama yang sering dikemukakan.

Di sisi lain, indikasi terbentuknya pasar gelap shekel kian terlihat. Batas maksimal transaksi tunai dalam wilayah Israel yang dibatasi hingga 11.000 shekel mendorong masuknya shekel ke Tepi Barat melalui calo dan kantor-kantor penukaran uang, memperparah krisis.

Para penulis blog dan pengamat lokal menegaskan bahwa permasalahan ini jauh lebih mendalam daripada sekadar “kekurangan likuiditas.”

Bagi mereka, ini adalah krisis struktural yang mencerminkan bagaimana shekel digunakan sebagai alat dominasi ekonomi dan politik.

Tanpa mata uang nasional dan dengan terbatasnya kapasitas perbankan Palestina dalam mengelola shekel, uang ini berubah dari alat tukar menjadi instrumen hukuman kolektif.

Di media sosial, banyak warga menolak narasi digitalisasi sebagai solusi utama. Mereka menilai transformasi digital yang dicanangkan otoritas hanya menjadi selubung modernisasi yang menutupi kegagalan dalam mengelola kedaulatan ekonomi.

Pembayaran elektronik atau penggunaan kartu Visa, kata mereka, tak menyentuh akar masalah: dominasi Israel atas sistem moneter Palestina.

“Apakah masuk akal bank-bank besar terus meraup laba tahunan miliaran, sementara rakyat harus menanggung dampak krisis yang dijawab dengan solusi setengah hati?” tanya seorang pengguna media sosial.

Dalam perkembangan terakhir, Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, membatalkan izin kerja sama antara bank Israel dan Palestina.

Kebijakan ini merupakan respons atas apa yang disebutnya sebagai “kampanye delegitimasi” oleh Otoritas Palestina di forum-forum internasional.

Padahal, kebijakan itu sebelumnya memungkinkan bank-bank Israel memproses transaksi shekel yang berkaitan dengan layanan dan gaji yang dibayarkan oleh Otoritas Palestina.

Tanpa kebijakan tersebut, sistem keuangan Palestina kini berada di ambang keterisolasian penuh dari sistem perbankan Israel, sebuah ancaman serius bagi keberlanjutan ekonomi di Tepi Barat.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular