Monday, November 10, 2025
HomeBeritaDisiksa 100 hari: Kisah Shadi Abu Sidou, jurnalis Gaza yang bebas dari...

Disiksa 100 hari: Kisah Shadi Abu Sidou, jurnalis Gaza yang bebas dari jeruji Israel

“Bayangkan seratus hari penuh—dari pukul 5 pagi hingga 11 malam—berlutut, tangan terikat, mata tertutup, dan dilarang bicara. Saya kehilangan rasa waktu, tidak tahu hari apa, bahkan tidak tahu di mana saya berada,” ujar Shadi Abu Sidou, mantan tahanan Palestina yang baru saja dibebaskan dari penjara Israel.

Shadi (35), seorang fotografer lepas asal Kota Gaza, ditangkap pada Maret 2024, lima bulan setelah dimulainya serangan besar Israel terhadap Jalur Gaza.

Ia ditahan di Kamp Sde Teiman, sebuah pangkalan militer di dekat perbatasan selatan Israel—yang sejak awal perang berfungsi sebagai pusat penahanan warga Gaza sebelum mereka dipindahkan ke penjara-penjara di Israel.

Ia ditahan berdasarkan Undang-Undang “Pejuang Ilegal”—aturan kontroversial yang memungkinkan Israel menahan seseorang yang diduga terkait dengan “kelompok musuh” tanpa dakwaan apa pun selama berbulan-bulan.

Disiksa dan dipecah secara mental

Dalam wawancara telepon dengan kantor berita AFP, Abu Sidou menggambarkan bentuk penyiksaan yang ia alami sebagai “teror psikologis.”

Para penjaga, katanya, memperdayanya bahwa seluruh keluarganya telah tewas dan semua jurnalis di Gaza dibunuh.

“Saya benar-benar percaya keluarga saya telah tiada. Ketika akhirnya saya bebas dan melihat anak-anak saya, saya tidak bisa berhenti menangis,” ujarnya lirih.

Ia dibebaskan pada 13 Oktober lalu, sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang mulai berlaku pada 10 Oktober.

Dalam kesepakatan itu, Hamas membebaskan 20 tawanan Israel, sementara Israel melepaskan sekitar dua ribu tahanan Palestina.

Abu Sidou mengenang bahwa ia baru diperiksa setelah 100 hari penyiksaan.

“Mereka menyiksa saya bahkan sebelum tahu siapa saya. Setelah semua itu, interogasi pertama mereka hanya untuk memastikan identitas saya,” ujarnya.

Ia mengalami cedera pada mata dan telinga, namun tidak dapat berobat karena sistem kesehatan Gaza kini lumpuh total.

Penahanan tanpa batas dan isolasi hukum

Setelah keluar dari kamp, ia dipindahkan ke Penjara Ofer di Tepi Barat.

“Kondisinya tak manusiawi. Saya hanya dua kali bertemu pengacara selama berbulan-bulan, tanpa pernah didakwa. Masa tahanan saya terus diperpanjang begitu saja, tanpa penjelasan,” ujarnya.

Militer Israel menolak mengomentari kasusnya ketika dimintai tanggapan oleh AFP.

Menurut Komite Palang Merah Internasional (ICRC), istilah “pejuang ilegal” digunakan bagi seseorang yang menjadi bagian dari kelompok bersenjata tanpa memenuhi syarat sebagai kombatan resmi.

Istilah ini pertama kali digunakan Amerika Serikat pasca serangan 11 September 2001, dan kemudian diadopsi Israel dalam hukum domestiknya pada 2002.

Sebuah celah hukum yang memungkinkan penahanan tanpa dakwaan, tanpa perlindungan hukum, dan tanpa batas waktu yang jelas.

Israel bahkan memperketat aturan itu sejak perang Gaza 2023, memperpanjang masa penahanan administratif awal dari 96 jam menjadi 45 hari, dan memungkinkan tahanan ditahan hingga 180 hari tanpa dihadapkan ke pengadilan.

“Ruang hampa hukum”

Amnesty International pada Juli 2024 mendesak Israel mencabut undang-undang tersebut, menilainya sebagai “instrumen penahanan sewenang-wenang terhadap warga sipil Gaza.”

Namun otoritas penjara Israel menyatakan bahwa seluruh tahanan “diperlakukan sesuai hukum dan memperoleh hak dasar, termasuk layanan medis.”

Kenyataannya, sejak Oktober, pemerintah Israel melarang Palang Merah mengunjungi para tahanan yang dikategorikan sebagai ‘pejuang ilegal’, memperkuat isolasi total yang sudah berlangsung sejak perang dimulai.

Organisasi-organisasi hak asasi memperkirakan sekitar 1.000 warga Palestina kini ditahan di bawah status ini, sebagian besar di fasilitas militer yang tertutup bagi pengawasan independen.

Menurut Najy Abbas dari organisasi Physicians for Human Rights–Israel, satu-satunya jembatan antara para tahanan dan dunia luar adalah pengacara mereka.

“Ada dokter, perawat, bahkan paramedis yang masih ditahan tanpa tuduhan. Butuh berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan izin kunjungan, dan jika diizinkan pun, pertemuannya tak lebih dari setengah jam,” ujarnya.

Sejumlah lembaga HAM telah mengajukan petisi ke Mahkamah Agung Israel agar Palang Merah diizinkan kembali melakukan kunjungan, tetapi hingga kini belum ada jadwal sidang yang ditetapkan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler