Thursday, November 27, 2025
HomeBeritaDituduh di Polandia, jurnalis Gaza ini bertahan meliput dari pengungsian

Dituduh di Polandia, jurnalis Gaza ini bertahan meliput dari pengungsian

 

Dari sebuah tenda di Jalur Gaza yang porak-poranda akibat perang, jurnalis Palestina Motasem Ahmad Dalloul membantah kampanye pencemaran nama baik yang dilancarkan otoritas Israel terhadap dirinya.

Pada Minggu lalu, Kementerian Luar Negeri Israel menuduh Dalloul sebagai “reporter palsu,” dan mengklaim bahwa ia melaporkan kondisi Gaza dari tempat tinggalnya di Polandia.

Namun, dari dalam tendanya di samping reruntuhan rumahnya yang hancur di lingkungan Zeitoun, Gaza selatan, Dalloul mengatakan kepada Anadolu bahwa ia tidak pernah meninggalkan Gaza selama dua tahun terakhir dan terus meliput serangan Israel terhadap warga sipil di wilayah tersebut.

Seperti banyak jurnalis lain di Gaza, Dalloul terpaksa menggunakan kartu SIM internasional untuk mengakses internet dan berkomunikasi dengan dunia luar, menyusul hancurnya infrastruktur komunikasi oleh militer Israel yang memutus layanan internet di sebagian besar wilayah Gaza untuk waktu yang lama.

Ia menjelaskan bahwa SIM yang digunakannya berasal dari perusahaan “Plus,” yang dimiliki entitas Polandia. Hal itu membuat akun X miliknya terlihat seolah-olah berbasis di Polandia.

Propaganda Israel

Dalloul menegaskan bahwa dirinya tetap berada di Gaza selama perang dua tahun yang ia sebut sebagai genosida Israel, dan terus melaporkan berbagai pelanggaran terhadap rakyat Palestina.

“Israel sejak lama menargetkan jurnalis dalam setiap agresinya di Gaza, meneror mereka dan menyerang keluarga mereka untuk menutupi kebenaran dan menakut-nakuti mereka agar tidak memberitakan kejahatan yang terjadi,” ujarnya.

“Media propaganda Israel memanfaatkan situasi ini untuk melancarkan kampanye fitnah terhadap saya,” sambungnya.

Dalloul telah kehilangan istri serta tiga anaknya akibat serangan Israel. Meski demikian, ia tetap melanjutkan pekerjaannya, didorong oleh “rasa tanggung jawab” terhadap rakyat dan perjuangan bangsanya.

Selama bertahun-tahun, ia bekerja sebagai jurnalis berbahasa Inggris, menerjemahkan dan menulis analisis serta opini untuk sejumlah media internasional, termasuk Middle East Monitor yang berbasis di London.

“Selama perang, saya bekerja dengan puluhan media internasional dari AS, Amerika Selatan, hingga Eropa, dan melakukan puluhan wawancara untuk mengungkap kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina,” katanya.

Menurut Dalloul, Israel menggencarkan narasi tertentu melalui media Barat dan internasional “yang sebagian besar mengadopsinya di bawah pengaruh lobi Zionis yang dominan.”

“Kami berupaya secara profesional membongkar narasi palsu itu, yang membuat media Israel di Barat merasa terpojok karena dunia kini melihat suara dan gambar nyata dari kejahatan di Gaza,” ujarnya.

“Mereka ingin membungkam suara-suara ini. Meski tidak dapat menandingi mesin propaganda Israel, mereka tidak ingin ada suara atau gambar apa pun yang mengungkap kebohongan narasi konflik Israel-Palestina dan genosida yang terjadi.”

Rekayasa terang-terangan

Ramy Abdu, Ketua Euro-Med Human Rights Monitor di Jenewa, mengatakan melalui X bahwa kampanye fitnah Israel terhadap Dalloul “mengungkap wajah asli Israel dan kebohongan yang selalu diulanginya.”

Dalloul, kata Abdu, adalah “jurnalis terkemuka di Gaza yang kehilangan istri, tiga anak, dan sebagian besar keluarganya akibat serangan Israel. Kini ia kembali menjadi sasaran rekayasa untuk melemahkan narasi para korban.”

Selama dua tahun serangan di Gaza, Israel terus memburu jurnalis Palestina dengan ancaman dan serangan, menewaskan puluhan di antaranya meskipun mendapat kecaman regional.

Lebih dari 250 jurnalis tewas selama rangkaian serangan tersebut—angka korban jurnalis tertinggi dalam satu konflik sejak Perang Dunia II.

Pada Oktober saja, dua jurnalis tewas dan 10 lainnya terluka akibat serangan Israel di Gaza, meski gencatan senjata telah berlaku sejak 10 Oktober, menurut Serikat Jurnalis Palestina.

Sejak Oktober 2023, serangan militer Israel telah menewaskan hampir 70.000 warga Gaza—kebanyakan perempuan dan anak-anak—serta melukai 171.000 orang lainnya, meninggalkan sebagian besar wilayah tersebut dalam kondisi hancur.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler