Thursday, December 26, 2024
HomeBeritaIndonesiaDosen UI: Indonesia tidak serta merta bisa tolak pengungsi Rohingnya

Dosen UI: Indonesia tidak serta merta bisa tolak pengungsi Rohingnya

Pengajar FHUI Heru Susetyo. (Foto: Gazamedia.id)
Pengajar FHUI Heru Susetyo. (Foto: Gazamedia.id)


Pakar hukum Hak Asasi Manusia dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Heru Susetyo mengatakan secara normatif Indonesia tidak punya kewajiban menerima pengungsi Rohingnya, karena bukan negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951.

Namun persoalan Rohingnya juga masalah kemanusiaan, sosial, budaya dan politik sehingga Indonesia tidak bisa begitu saja pengusir mereka.

Heru mengatakan ada pasal dalam Konvensi 1951 tentang pengungsi asa prinsip non-refoulement. Pasal itu menyatakan kalau mereka sudah mendarat di tanah Indonesia, bahkan sudah masuk wilayah 12 mil dari laut, tidak bisa diusir.

“Kalau itu dilakukan maka akan membuat kondisi pengungsi dalam kondisi berbahaya,” ujar Heru kepada Gazamedia.id di Depok pada Selasa (6/2).

Menurut Heru, para pengungsi tahu Indonesia bukan surga dan bukan negara makmuk karena tujuan mereka ingin ke Australia, Selandia Baru atau Amerika Serikat.

“Ada cerita sukses para pengungsi yang ada di Australia, Selandia Baru, Kanada dan rata-rata sudah transit dulu di Indonesia bertahun-tahun. Padahal tidak semua sukses,” jelasnya.

Heru juga meminta publik tidak terprovokasi dengan media sosial seperti Tiktok soal pengungsi Rohingnya.

Pasalnya yang membiayai kehidupan pengungsi bukan berasal dari dana APBN atau APBD, tetapi dari lembaga internasional, termausk juga yang membiayai tempat penampungan sementara.

Heru mengatakan warga Rohingnya yang datang ke Indonesia berasal dari kombinasi beberapa hal. Pertama mereka sudah letih, stress, kesal dan tidak nyaman di penampungan di Bangladesh.

“Mereka senang kalau penampungannya di Australia atau AS.”

Menurut Heru, Bangladesh hanyalah negara seluas Kalimantan Barat dengan populasi 176 juta jiwa, tapi hidup dalam kemiskinan dan rawan banjir.

Kedua adalaah iming-iming perdagangan manusia bisa sampai ke Australia dengan membayar sejumlah uang, tapi ternyata harus transit dulu di Indonesia.

Menurut Heru, cara menyelesaikan Rohingnya tidak mudah karena akarnya persekusi sudah berlangsung bertahun-tahun.

Sejak Burma merdeka tahun 1948 dan militer berkuasa 1962, rezim Myanmar melakukan pendekatan keamanan dan politik yang membuat etnis Rohingnya tidak nyaman.

“Intimidasi tidak sekadar fisik, tetapi juga akses kesehatan dan pendidikan, transportasi. Jadi persoalan Rohingnya akan lama sekali,” pungkasnya. (Pizaro)

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular