Dalam langkah yang dinilai sebagai titik balik penting secara ekonomi dan politik, Qatar mengajukan inisiatif untuk membiayai gaji pegawai sektor publik di Suriah.
Bantuan ini dinilai oleh para pengamat sebagai awal dari fase baru dalam upaya pemulihan ekonomi Suriah yang telah terpuruk akibat korupsi sistemik dan konflik berkepanjangan selama lebih dari satu dekade.
Inisiatif tersebut tercatat sebagai suntikan dana asing langsung pertama yang diterima pemerintah baru Suriah, pada saat negara itu tengah menghadapi krisis fiskal mendalam dan penurunan tajam dalam standar layanan publik serta daya beli gaji aparatur sipil negara.
Dalam pengumuman resminya, Menteri Keuangan Suriah, Muhammad Yassar Barniyah, mengungkapkan bahwa nilai hibah dari Qatar mencapai 29 juta dolar AS per bulan, dan akan berlangsung selama tiga bulan dengan opsi perpanjangan.
Dana ini ditujukan untuk menutupi sebagian dari beban gaji sektor publik yang membengkak seiring dengan krisis ekonomi nasional.
Barniyah menambahkan bahwa alokasi dana tersebut akan difokuskan pada pegawai di sektor kesehatan, pendidikan, dan urusan sosial, serta mencakup para pensiunan sipil non-militer.
Menurutnya, hibah ini akan menutup sekitar 20 persen dari total beban gaji negara saat ini.
Pengelolaan bantuan ini akan dilakukan melalui Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
Sebuah langkah yang diyakini dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana.
Dimensi strategis
Pengamat urusan politik Suriah, Mustafa Al-Nu’aimi, menilai bahwa inisiatif ini berpotensi menjadi pintu masuk bagi bantuan serupa dari negara lain kepada pemerintahan Suriah yang tengah dibentuk kembali.
Menurutnya, ini merupakan langkah awal menuju pengurangan penderitaan rakyat dan pemulihan posisi Suriah dalam lingkup kerja sama Arab.
“Langkah ini bukan sekadar dukungan fiskal. Ini adalah manuver strategis yang bisa menggairahkan kembali sektor-sektor ekonomi penting dan memperkuat kapasitas institusi negara,” ujar Al-Nu’aimi dalam wawancara dengan Al Jazeera Net.
Ia juga menekankan bahwa peran Qatar dalam 2 fase krusial — revolusi dan pembangunan kembali negara — telah menunjukkan konsistensi dan efektivitas.
Dalam pandangannya, penyelamatan Suriah pasca-rezim Bashar Al-Assad merupakan kepentingan bersama bagi dunia Arab maupun komunitas internasional yang lebih luas.
Lebih jauh, Al-Nu’aimi melihat bahwa langkah Qatar ini bisa menjadi pemicu bagi gerakan dukungan yang lebih luas dari negara-negara Arab dan kawasan sekitarnya.
Terutama di tengah sinyal positif dari Amerika Serikat (AS) yang baru-baru ini melakukan pelonggaran terbatas terhadap pembatasan transfer dana ke Suriah.
Ia mencatat bahwa beberapa negara kini mendapat pengecualian terbatas dari sanksi internasional, yang menurutnya dapat membuka jalan menuju penghapusan sanksi secara bertahap.
Jika langkah ini terus berkembang, Suriah mungkin akan memasuki fase baru keterbukaan ekonomi dan reintegrasi regional.
Bagi banyak kalangan, inisiatif Qatar bukan sekadar bantuan keuangan, melainkan sinyal awal dari arah politik baru dan potensi rekonstruksi nasional setelah satu dekade lebih Suriah terjerembab dalam perang dan keterpurukan ekonomi.
Potensi dampak ekonomi
Sementara itu, pakar ekonomi Suriah, Firas Syabo, menilai bahwa hibah dari Qatar ini merupakan bentuk intervensi fiskal yang dapat membawa sejumlah dampak positif, meskipun bersifat sementara.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, ia merinci potensi dampaknya sebagai berikut:
- Memberikan stabilitas keuangan jangka pendek di tengah ketidakpastian ekonomi.
- Memungkinkan pemerintah menjalankan reformasi administratif di sektor-sektor utama seperti kesehatan dan pendidikan.
- Memberi ruang bagi negara untuk mengalihkan sebagian anggaran ke proyek-proyek produktif yang dapat meningkatkan layanan publik dan kondisi hidup warga.
- Mengurangi tekanan terhadap anggaran negara yang selama ini terbebani oleh lemahnya pendapatan dan penyusutan basis pajak.
Syabo menambahkan bahwa inisiatif ini bisa menjadi sinyal positif bagi negara-negara lain untuk mempertimbangkan pemberian bantuan yang lebih besar di masa depan.
Asalkan, katanya, pemerintah Suriah mampu menunjukkan transparansi dan menerapkan prinsip tata kelola yang baik dalam pengelolaan dana.
Tantangan dan risiko inflasi
Namun, tak semua pengamat bersikap optimistis. Ekonom Younes Al-Karim mengingatkan bahwa suntikan dana dalam jumlah besar seperti ini berisiko meningkatkan permintaan terhadap barang kebutuhan pokok.
Hal itu pada akhirnya dapat memicu inflasi, terutama dalam konteks lemahnya likuiditas nasional dan keterbatasan pasokan barang.
“Dengan tidak adanya kelonggaran dari sisi penawaran, peningkatan daya beli bisa berbalik menjadi tekanan harga,” ujar Al-Karim.
Ia juga menyangsikan bahwa bantuan ini akan berdampak signifikan terhadap nilai tukar lira Suriah. Menurutnya, beberapa faktor yang membatasi pengaruh tersebut antara lain:
- Adanya kebijakan pemerintah yang membatasi pergerakan likuiditas di kalangan pedagang.
- Tidak adanya lonjakan permintaan dolar untuk keperluan impor.
- Penetapan nilai tukar yang dikendalikan oleh bank sentral, bukan berdasarkan mekanisme pasar.
- Nilai bantuan yang relatif kecil dibanding kebutuhan pasar domestik.
Meski demikian, Al-Karim mengakui bahwa hibah ini memiliki nilai simbolik yang penting.
“Ini mencerminkan sinyal dukungan moral dari dunia Arab terhadap rakyat Suriah. Persepsi positif seperti ini bisa memberi dorongan kecil terhadap stabilitas nilai lira di pasar,” ujarnya.
Dampak terhadap sektor vital
Pakar ekonomi Firas Syabo mengungkapkan bahwa dana hibah dari Qatar berpotensi dimanfaatkan untuk memperbaiki layanan publik di sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan.
Selama pemerintah mampu menggunakan ruang fiskal yang tersedia dengan efisien.
Namun ia menggarisbawahi bahwa dampak positif tersebut tetap sangat bergantung pada efektivitas pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah.
Younes Al-Karim, dalam analisanya, menambahkan bahwa dampak terhadap sektor pendidikan kemungkinan besar akan bersifat tidak langsung.
Ia menjelaskan bahwa kenaikan gaji guru atau peningkatan pendapatan orang tua dapat mendorong perubahan dalam prioritas keluarga terhadap pendidikan anak-anak mereka.
Lebih jauh, Al-Karim menyoroti bahwa penguatan dukungan terhadap tenaga pendidik sangat penting untuk mencegah eksodus guru dari sektor publik.
“Dengan tekanan ekonomi dan minimnya insentif, banyak guru telah meninggalkan profesinya. Dukungan gaji bisa menjadi instrumen retensi yang vital,” katanya.
Namun, ia juga menekankan kompleksitas situasi ketenagakerjaan di Suriah saat ini.
“Saat ini terdapat sekitar 900 ribu pegawai negeri, belum termasuk tenaga konsultan yang jumlahnya tidak jelas serta pegawai dari wilayah Idlib yang dibayar dalam dolar,” ujar Al-Karim.
Menurutnya, kondisi ini membuat pengukuran dampak spesifik dari hibah Qatar menjadi sulit dan memerlukan pendekatan evaluatif yang hati-hati.
Qatar dan komitmen pasca-Assad
Dukungan Qatar terhadap rakyat Suriah tidak berhenti pada bantuan gaji.
Dalam beberapa bulan terakhir, negara Teluk tersebut meluncurkan serangkaian inisiatif yang menggambarkan komitmen berkelanjutan terhadap pemulihan Suriah di era pasca-Bashar Al-Assad, setelah kejatuhan rezimnya pada Desember tahun lalu.
Selain program-program kemanusiaan, Qatar juga mengambil peran aktif dalam pemulihan sektor ekonomi dan layanan publik.
Salah satu langkah penting adalah kemitraan strategis dengan Turki dalam rehabilitasi bandara-bandara Suriah.
Sebagai bagian dari rencana besar rekonstruksi infrastruktur transportasi udara yang hancur akibat perang.
Pada Maret lalu, Qatar memulai pengiriman pasokan gas alam ke Suriah melalui wilayah Yordania.
Langkah ini bertujuan meredakan krisis listrik yang akut dan memperbaiki performa sektor energi yang vital bagi kehidupan dan industri.
Tak hanya itu, pada April, Qatar bersama Arab Saudi mengambil langkah diplomatik penting dengan menyelesaikan tunggakan Suriah kepada Bank Dunia senilai sekitar 15 juta dolar AS.
Pelunasan ini membuka kembali akses Suriah terhadap bantuan dan hibah internasional yang sempat terhenti selama lebih dari 14 tahun, dan menandai dimulainya kembali hubungan formal dengan lembaga keuangan global.