Direktur Biro Al Jazeera di Gaza, Wael al-Dahdouh, menyebut jurnalis di Jalur Gaza tengah menghadapi “pembantaian paling kelam dalam sejarah.”
Hingga kini, jumlah jurnalis yang gugur dalam agresi Israel tercatat mencapai 244 orang.
Mereka, kata Dahdouh, bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan manusia dengan kisah, kenangan, dan keluarga yang ditinggalkan.
Salah satu di antaranya adalah Mohammed Salama, jurnalis yang pada Minggu (25/8) tewas akibat serangan Israel di kompleks medis Nasser, Khan Younis.
Menurut Dahdouh, Salama dikenal sebagai sosok yang teguh dan memilih bertahan bersama rekan-rekannya di rumah sakit, meski kawasan itu telah dikepung pasukan Israel.
“Ia berpindah dari janji pernikahannya menuju takdir syahid,” ucap Dahdouh.
Dahdouh menggambarkan serangan terhadap kompleks medis Nasser sebagai pemandangan “yang semestinya mampu mengguncang gunung, bukan hanya hati nurani manusia.”
Ia menuturkan, bukan hanya pasien dan tenaga medis yang menjadi sasaran, tetapi juga tim penyelamat serta para jurnalis yang berupaya merekam kejadian.
Banyak rekaman, katanya, tidak dapat ditayangkan karena tingkat kengerian yang terlalu berat.
Pertanyaan yang terus menghantui, lanjutnya, adalah bagaimana menghentikan pembantaian dan pemusnahan terhadap para jurnalis yang menjadi bagian dari genosida yang lebih luas di Gaza.
Perlunya menekan Israel
Al-Dahdouh menyerukan lembaga kemanusiaan, organisasi hak asasi manusia, serikat jurnalis, dan media internasional agar mengambil langkah nyata.
Ia mendorong agar jurnalis di seluruh dunia turun ke jalan, menekan Israel, serta mengingatkan bahwa “waktu pertanggungjawaban atas kejahatan ini sudah semakin dekat.”
Menurutnya, Israel telah dua kali menyerang tenda jurnalis di kawasan rumah sakit. Peristiwa itu, kata dia, belum pernah tercatat dalam sejarah modern.
“Kemanusiaan tak bisa menutup mata. Sejarah tidak akan mengampuni mereka yang memilih diam,” ujarnya.
Ia menambahkan, tubuh jurnalis Gaza terkikis oleh serangan, kelaparan, pengungsian, dan kelelahan tanpa henti.
“Belum pernah ada preseden semacam ini,” tegas Dahdouh.
Berat badan para jurnalis susut, wajah mereka berubah, tetapi tekad dan keberanian tetap menyala.
Padahal, sebagian besar dari mereka bekerja pula untuk kantor berita asing seperti Reuters maupun lembaga media Amerika Serikat (AS) dan Inggris.
Dahdouh mendesak lembaga-lembaga itu untuk bertindak melindungi rekan-rekan mereka di Gaza.
“Mereka adalah mitra dalam profesi, kemanusiaan, dan misi. Karena itu, mereka juga wajib menjadi mitra dalam perlindungan,” katanya.
Mengapa jurnalis terus menjadi sasaran meski kecaman internasional bergulir? Menurut Dahdouh, jawabannya sederhana.
Yaitu, Israel takut pada pesan yang dibawa jurnalis serta pada gambar-gambar yang meruntuhkan klaim moral dan demokrasi yang selama ini dipelihara negara itu.
Ia menyebut Israel kerap menggunakan taktik serangan ganda: mengebom satu lokasi, lalu menyerang kembali ketika tim penyelamat dan jurnalis datang memberi pertolongan. Pola ini terlihat jelas dalam penyerangan tenda jurnalis.
Penderitaan jurnalis
Di balik keteguhan para jurnalis, ada penderitaan yang jarang terabadikan. Mereka hidup di tenda-tenda rapuh, berjuang melawan panas terik maupun dingin malam, sembari menanggung rasa lapar.
“Jurnalis di sini membawa beban ganda. Ia merekam penderitaan rakyat Gaza, tetapi pada saat bersamaan, ia juga bagian dari penderitaan itu,” ujar Dahdouh.
Tak jarang, seorang jurnalis pulang dari liputan lalu mendapati anak-anaknya bertanya polos.
“Kapan perang ini berakhir? Mengapa kita dibom? Di mana roti dan air?” katanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu, kata Dahdouh, lebih menyakitkan daripada suara ledakan.
Di tengah kehilangan rekan kerja, dihantui kemungkinan mati setiap saat, dan melihat anak-anak sendiri terancam, para jurnalis Gaza tetap menunaikan tugasnya.
“Derita mereka berlipat dari warga biasa, sebab mereka terbelah antara tanggung jawab profesi, kecemasan pribadi, dan duka keluarga,” pungkas Dahdouh.