Lebih dari 130 media dan organisasi pembela kebebasan pers secara resmi mendesak Israel untuk segera membuka akses ke Jalur Gaza bagi jurnalis internasional.
Dalam surat terbuka yang dirilis pada Kamis (5/6/2025), mereka meminta agar peliputan media asing diizinkan segera dan tanpa pembatasan, setelah hampir 20 bulan akses ke wilayah tersebut diblokir sejak 7 Oktober 2023.
Surat tersebut disusun oleh Reporters Without Borders (RSF) dan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) yang berbasis di New York.
Para penandatangan mengungkapkan bahwa larangan jurnalis asing untuk meliput langsung dari Gaza merupakan situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah konflik bersenjata modern.
“Selama hampir dua tahun, otoritas Israel telah melarang wartawan dari luar Gaza untuk masuk secara independen ke wilayah tersebut. Ini adalah kondisi yang tidak memiliki preseden dalam sejarah jurnalisme dan peperangan modern,” demikian bunyi surat tersebut.
Mereka menambahkan bahwa jurnalis lokal yang tersisa, yang justru memiliki kemampuan paling besar dalam menyampaikan situasi sebenarnya, kini menghadapi risiko besar—termasuk kelaparan, pengungsian, dan kematian.
Hingga kini, diperkirakan sekitar 200 jurnalis telah gugur akibat serangan militer Israel, banyak lainnya luka-luka, dan semuanya menghadapi ancaman serius hanya karena menjalankan tugas jurnalistik.
Surat itu turut ditandatangani oleh nama-nama penting dalam dunia media global, antara lain Phil Chetwynd dari kantor berita AFP, Julie Pace dari Associated Press (AP), serta Aluf Benn, pemimpin redaksi harian Israel Haaretz.
“Momen ini sangat krusial, di tengah dimulainya kembali operasi militer dan upaya menyalurkan bantuan kemanusiaan. Kami menyerukan kepada Israel untuk membuka akses ke Gaza dan meminta para pemimpin dunia menekan Israel demi tercapainya keterbukaan informasi,” tulis mereka.
Tuntutan tersebut muncul di saat empat jurnalis Palestina dilaporkan gugur akibat serangan langsung Israel ke Rumah Sakit Al-Ahli di Gaza pada Kamis.
Serangan ini menjadi bagian dari rentetan serangan terhadap awak media yang terus terjadi sejak awal agresi militer.
Di tengah operasi militer yang disebut oleh banyak pihak sebagai genosida, Israel terus menutup akses Gaza bagi media asing.
Sebaliknya, beberapa jurnalis yang dekat dengan pemerintah Israel sempat diizinkan mendampingi pasukan Israel dalam peliputan terbatas.
Akibat blokade ini, sebagian besar media internasional terpaksa mengandalkan jurnalis lokal Palestina di Gaza yang telah kelelahan oleh rangkaian serangan.
Sebagian lainnya yang berhasil keluar dari Gaza hanya dapat melakukan peliputan jarak jauh dengan dukungan dari rekan-rekan yang masih berada di lapangan.
Sejumlah jurnalis muda Palestina, seperti Motaz Azaiza dan Bisan Owda, memanfaatkan media sosial—terutama Instagram—untuk mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga Gaza di tengah gempuran.
Ketua CPJ, Jodie Ginsberg, menegaskan bahwa ketika jumlah jurnalis yang tewas mencapai angka yang belum pernah terjadi sebelumnya dan media asing tak diizinkan masuk, dunia kehilangan kemampuannya untuk memahami kenyataan sebenarnya dan bereaksi secara tepat.
Sementara itu, Direktur RSF, Christophe Deloire, menyatakan bahwa blokade informasi ini menjadi sarana untuk menghapus seluruh wilayah yang dikepung.
Ia menyebut upaya Israel sebagai usaha sistematis untuk membungkam kenyataan, menekan kebenaran, dan mengisolasi jurnalis serta rakyat Palestina.
Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza, Munir Al-Bursh, menambahkan bahwa jumlah jurnalis yang gugur sejak awal perang telah melampaui 225 orang.
Ia menuding Israel sengaja berusaha menghapus kebenaran dan mencegah media asing menyampaikan laporan independen dari lapangan.
Berbagai media internasional telah berulang kali mengajukan permintaan agar jurnalis asing diizinkan masuk ke Gaza tanpa hasil.
Foreign Press Association (FPA), asosiasi yang mewakili koresponden asing di Israel dan wilayah Palestina, bahkan telah mengajukan banding ke Mahkamah Agung Israel atas larangan tersebut.
Sejak dimulainya serangan pada Oktober 2023, Israel—dengan dukungan Amerika Serikat (AS)—dituduh melakukan genosida di Gaza melalui pembunuhan massal, blokade pangan, penghancuran wilayah, dan pemaksaan pengungsian.
Seluruh tindakan ini terus berlangsung meskipun terdapat seruan dan perintah dari Mahkamah Internasional untuk menghentikannya.
Menurut data terbaru, konflik telah menyebabkan lebih dari 180.000 korban jiwa dan luka-luka, sebagian besar merupakan anak-anak dan perempuan.
Sebanyak 11.000 orang dinyatakan hilang, dan lebih dari setengah penduduk Gaza—sekitar 1,5 juta dari total 2,4 juta jiwa—kehilangan tempat tinggal akibat kehancuran masif yang ditimbulkan perang.