Sunday, May 18, 2025
HomeBeritaEhud Barak: Trump tak peduli pada Netanyahu

Ehud Barak: Trump tak peduli pada Netanyahu

Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak menyatakan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump tidak peduli terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Ia juga menuduh pemerintahan Netanyahu mengabaikan nasib para sandera Israel di Gaza demi memuaskan kelompok ekstremis dalam koalisi pemerintahannya.

Dalam wawancara dengan saluran televisi swasta Israel, Channel 12, pada Jumat (16/5/2025), Barak mengatakan bahwa Trump sama sekali tidak terlibat dalam keputusan Netanyahu terkait operasi militer di Gaza.

“Trump tidak peduli dengan Netanyahu. Ia tidak campur tangan dalam apa pun yang diputuskan Netanyahu untuk dilakukan di Gaza,” kata Barak.

Barak menambahkan, menurut pandangan Trump, Israel tidak akan memperoleh hasil apa pun dari serangannya di Gaza.

“Trump melihat bahwa Israel tidak akan mencapai apa pun di Gaza, karena memang selama satu setengah tahun terakhir tidak ada hasil yang dicapai sejak perang dimulai pada Oktober 2023,” ujar Barak.

Kritik keras juga diarahkan Barak terhadap Netanyahu yang ia nilai “lalai” dalam menjalankan tugas kenegaraan.

Ia menuduh Netanyahu melanjutkan tindakan pemusnahan massal di Gaza semata-mata demi mempertahankan kekuasaan.

“Netanyahu mengorbankan para sandera di Gaza demi menyenangkan kaum ekstremis dalam pemerintahannya,” tegas Barak.

Ia juga menyinggung kebijakan Netanyahu yang menurutnya tidak adil terhadap tentara cadangan.

“Netanyahu bahkan telah mengabaikan para prajurit cadangan demi memberikan keistimewaan kepada para penghindar wajib militer,” ujar Barak, merujuk pada kelompok Yahudi ultra-Ortodoks (Haredi) yang menolak mengikuti program wajib militer.

Barak, yang menjabat sebagai Perdana Menteri Israel dari 1999 hingga 2001, kembali menegaskan bahwa semua kebijakan Netanyahu saat ini hanya bertujuan memperpanjang kekuasaan, bukan untuk melindungi rakyat Israel.

Peringatan terhadap eskalasi

Terkait rencana perluasan operasi militer di Jalur Gaza, Barak memperingatkan bahwa langkah tersebut akan semakin mengisolasi Israel secara internasional dan memperburuk citra negara itu di mata dunia.

“Langkah ini hanya akan memperkuat isolasi terhadap Israel dan memperbanyak kritik global,” ujarnya.

Menurut Barak, jika isolasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin stabilitas perjanjian normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab yang tergabung dalam Abraham Accords turut terancam.

“Mungkin isolasi ini akan mengganggu stabilitas Abraham Accords, bahkan berpotensi mengguncang perjanjian damai lainnya,” kata Barak.

Seperti diketahui, selama masa jabatan pertama Trump, empat negara Arab—Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko—menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel pada 2020 dalam kerangka Abraham Accords.

Trump berharap dapat melanjutkan momentum itu selama masa jabatan keduanya yang dimulai pada 20 Januari 2025.

Namun, menurut Barak, perluasan serangan Israel di Gaza justru merupakan “kesalahan strategis tingkat tinggi”.

Ia menilai operasi tersebut tak akan menghasilkan pencapaian militer yang nyata dan justru berpotensi membahayakan nyawa para sandera yang masih hidup.

“Ada kemungkinan besar bahwa operasi ini justru membahayakan nyawa para sandera yang masih selamat,” ungkapnya.

Pemerintah Israel memperkirakan masih ada 58 warga Israel yang disandera di Gaza, dengan sekitar 20 orang di antaranya masih hidup.

Sementara itu, lebih dari 9.900 warga Palestina mendekam di penjara-penjara Israel dalam kondisi yang digambarkan sangat buruk oleh organisasi hak asasi manusia—mengalami penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis yang telah merenggut nyawa banyak tahanan.

Mandeknya gencatan senjata

Pada awal Maret 2025, tahap pertama dari kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel telah berakhir.

Kesepakatan ini dimulai sejak 19 Januari dengan mediasi Mesir dan Qatar serta dukungan AS. Hamas disebutkan mematuhi seluruh butir kesepakatan tersebut.

Namun, Netanyahu yang saat ini juga menjadi subjek pencarian Mahkamah Pidana Internasional karena tuduhan kejahatan perang, tidak melanjutkan ke tahap kedua kesepakatan tersebut.

Sebaliknya, pada 18 Maret, ia kembali memerintahkan serangan besar-besaran ke Gaza, sebuah langkah yang didorong oleh faksi ultranasionalis dalam kabinetnya, menurut media Israel.

Selama empat hari terakhir, Israel meningkatkan intensitas serangan ke Gaza, menyebabkan lebih dari 378 warga Palestina tewas dalam serangkaian serangan yang digambarkan sebagai pembantaian oleh Kementerian Kesehatan Gaza.

Peningkatan ini terjadi setelah kabinet keamanan Israel menyetujui perluasan operasi militer dan meluncurkan rencana ofensif baru bertajuk “Arbate Gideon” (Kereta Gideon), yang mencakup pengerahan lebih banyak pasukan cadangan.

Sejak 7 Oktober 2023, Israel, dengan dukungan penuh dari AS, melancarkan agresi militer di Gaza yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai bentuk genosida, diiringi blokade total yang telah menjerumuskan wilayah tersebut ke dalam krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarahnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular