Wednesday, October 8, 2025
HomeBeritaEl País: Kesepakatan yang dirancang untuk menyenangkan semua orang, kecuali Palestina

El País: Kesepakatan yang dirancang untuk menyenangkan semua orang, kecuali Palestina

Surat kabar El País dari Spanyol memuat sebuah artikel opini yang ditulis oleh jurnalis senior Luis Bassets mengenai kesepakatan gencatan senjata di Gaza.

Ia menyebutnya sebagai bentuk “perdamaian imperial” — sebuah kesepakatan yang melayani kepentingan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Israel, tetapi menyingkirkan suara rakyat Palestina sepenuhnya.

Menurutnya, keseimbangan yang hendak diciptakan dari perjanjian ini rapuh dan tidak akan bertahan lama.

Bassets membuka tulisannya dengan menegaskan bahwa tidak ada orang waras yang menolak berhentinya perang dan kembalinya kehidupan dari bawah reruntuhan.

Namun, ia menilai bahwa perdamaian yang dipaksakan demi kepentingan “sang imperator” tetap menyisakan luka dan ketidakadilan.

Ia menolak menyebut apa yang terjadi di Gaza sebagai “perang”. Menurutnya, itu adalah pembantaian besar-besaran terhadap warga sipil, sebagaimana tercermin dari jumlah korban dan skala kehancuran yang ditimbulkan.

Hukum yang terkuat

Bassets meragukan kemampuan Israel untuk meraih kemenangan politik. Kemenangan sejati, katanya, tidak diukur dari berakhirnya pertempuran, melainkan dari terciptanya keseimbangan baru yang mengurangi akar konflik dan membuka jalan bagi rekonsiliasi, keadilan, dan rekonstruksi.

Rencana gencatan senjata yang dipromosikan Trump ia sebut sebagai “kesepakatan damai paling aneh di era modern”.

Tidak ada tenggat waktu, tidak ada jaminan, tidak ada komitmen yang jelas. Tanpa peran PBB atau legitimasi internasional, perjanjian itu berjalan di bawah satu prinsip tunggal: hukum si kuat.

Menurut Bassets, kekuasaan dan uang masih menjadi nilai utama yang menggerakkan politik Trump.

Bahkan setelah ia meninggalkan rencana “memindahkan” warga Palestina untuk membangun “Riviera Timur Tengah” di Gaza, semangat imperialisme itu tetap hidup.

Dalam “perdamaian imperial” ini, suara rakyat Palestina sama sekali tidak diikutsertakan.

Bahkan Otoritas Palestina, satu-satunya lembaga yang masih memiliki sedikit legitimasi, diabaikan karena dianggap kehilangan kredibilitas.

Mungkin akan menjadi lebih buruk

Bassets menilai, gencatan senjata ini rapuh dan bisa runtuh sewaktu-waktu. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, katanya, bisa saja melanggarnya segera setelah para sandera dibebaskan dan perhatian Trump beralih ke isu lain.

“Kesepakatan ini, dirancang untuk menyenangkan semua pihak kecuali rakyat Palestina,” tulisnya.

Ia memprediksi bahwa implementasi rencana ini akan berjalan lamban dan berliku. Tidak ada kejelasan tentang masa depan Tepi Barat, yang kini juga tengah memanas.

Maka, situasi bisa saja tidak membaik — bahkan mungkin semakin buruk — setelah sedikit jeda ketenangan semu.

Bassets melihat kondisi sekarang seperti kilas balik ke tahun 1948, masa berdirinya Israel dan terusirnya ratusan ribu warga Palestina.

Ia bahkan menyebut “nakbah” (malapetaka) kali ini bisa lebih besar dan lebih berdarah: sebuah bencana baru, tanpa tanah bagi Palestina dan tanpa payung PBB.

Jalan tanpa kekerasan

Meski begitu, Bassets percaya bahwa apa yang disebut “tatanan baru” hasil perdamaian Trump tidak akan menghapus perjuangan rakyat Palestina.

Justru sebaliknya, ia melihat momentum baru: pengakuan internasional yang semakin luas, serta simpati moral yang terus menguat terhadap bangsa yang kini menghadapi Israel yang kian terisolasi dan kehilangan legitimasi moral akibat kekerasannya.

Ia menutup tulisannya dengan seruan agar dunia menempuh jalur diplomasi dan politik — betapapun berliku dan tidak pasti — sebagai satu-satunya cara untuk menghindari kesalahan masa lalu.

Terutama kesalahan lama, yaitu mempercayai bahwa kekerasan bisa membawa keadilan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler