Ismail Ridwan, pemimpin senior Hamas, menegaskan pentingnya menyatukan barisan Palestina dan menolak segala upaya untuk mengusir warga Gaza.
Ia menekankan bahwa tidak ada pihak yang dapat memaksa rakyat Palestina meninggalkan tanah leluhur mereka.
Faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza pada hari Rabu menegaskan perlunya memperkuat persatuan nasional Palestina dan menolak rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang bertujuan mengusir penduduk Gaza dan menguasai wilayah tersebut.
Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi yang bertajuk “Persatuan Nasional adalah Jalan untuk Menata Rumah Palestina, Menggagalkan Konspirasi Pengusiran, dan Membangun Kembali Gaza”.
Konferensi ini diselenggarakan oleh Komite Pemantau Kekuatan Nasional dan Islam di Al-Saraya Square, pusat Kota Gaza.
Sejak 25 Januari 2024, Trump dikabarkan mempromosikan rencana untuk mengusir penduduk Gaza ke negara-negara tetangga, seperti Mesir dan Yordania.
Namun, kedua negara tersebut dengan tegas menolak rencana tersebut, didukung oleh negara-negara Arab lainnya serta berbagai organisasi regional dan internasional.
“Kami menekankan pentingnya menyatukan barisan Palestina dan mencapai persatuan nasional,” kata Ismail Ridwan kepada Anadolu Agency di sela-sela konferensi.
Ia juga menyerukan kepada para pemimpin Arab dan Muslim untuk mengambil sikap tegas menolak rencana pengusiran ini.
Ia juga menegaskan untuk mendukung ketahanan rakyat Palestina melalui percepatan rekonstruksi Gaza dan penyediaan kebutuhan mendesak bagi kehidupan sehari-hari.
“Tidak ada yang bisa mengusir kami dari Gaza. Ini adalah tanah leluhur kami, dan tidak ada pihak yang berhak memaksa kami keluar,” tegasnya.
Menurut Ridwan, ancaman pengusiran ini adalah upaya yang sia-sia. Ia menekankan bahwa hak rakyat Palestina atas tanah mereka adalah hak yang sah dan alami.
Oleh karena itu, ia meminta tekanan internasional, khususnya dari mediator seperti Mesir dan Qatar, untuk memaksa Israel mematuhi ketentuan gencatan senjata.
Lebih lanjut, Ridwan menyatakan bahwa Hamas tidak berambisi untuk terus memegang kekuasaan di Gaza.
Sebaliknya, ia menyerukan pembentukan pemerintahan persatuan nasional untuk mengelola Gaza dan Tepi Barat secara bersama.
“Kami menegaskan pentingnya membentuk pemerintahan persatuan nasional untuk mengelola Gaza dan Tepi Barat. Kami siap menghadapi tahap kedua negosiasi gencatan senjata, menghentikan perang, melanjutkan rekonstruksi, dan menyelesaikan pertukaran tahanan,” imbuhnya.
Dalam konferensi tersebut, Mahmoud Basal, juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, juga mengungkapkan penderitaan rakyat Gaza selama serangan Israel.
“Gaza telah mengalami situasi yang tragis di bawah genosida brutal,” ungkapnya.
Basal menjelaskan bahwa tentara Israel menggunakan metode pembunuhan yang paling kejam, hingga tim penyelamat sering kali kesulitan mengidentifikasi jasad korban akibat kehancuran yang parah.
“Kami telah menyelamatkan ribuan warga dari bawah reruntuhan dan mengevakuasi ribuan jenazah dari rumah-rumah yang hancur dengan peralatan yang sangat terbatas,” terangnya.
Pada 19 Januari 2024, gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku, dengan tahap pertama berlangsung selama 42 hari.
Selama periode ini, negosiasi akan terus dilakukan untuk memulai tahap kedua dan ketiga, dengan mediasi dari Mesir, Qatar, dan AS.
Sejak pertengahan Juni 2007, Hamas menguasai Jalur Gaza setelah konflik dengan Otoritas Palestina, yang kini mengendalikan Tepi Barat.
Dengan dukungan AS, Israel melancarkan serangan brutal ke Gaza antara 7 Oktober 2023 hingga 19 Januari 2025. Akibatnya, lebih dari 160.000 korban jiwa dan luka-luka, mayoritas di antaranya adalah anak-anak dan wanita, serta 14.000 orang yang dilaporkan hilang.