Thursday, August 14, 2025
HomeBeritaGaza di bawah kepungan lapar: Ketika makanan menjadi senjata perang

Gaza di bawah kepungan lapar: Ketika makanan menjadi senjata perang

Israel untuk pertama kalinya secara terbuka menjadikan kelaparan sebagai senjata dalam upaya menundukkan Jalur Gaza yang telah terblokade sejak 2007.

Bersamaan dengan pemboman harian yang telah merenggut lebih dari 61.000 jiwa sejak 8 Oktober 2023, strategi ini menutup rapat-rapat pintu masuk pangan dan bantuan ke wilayah yang terkepung itu.

Laporan lembaga kemanusiaan menggarisbawahi kemerosotan kondisi hidup warga sejak penutupan seluruh perlintasan pada 2 Maret 2025, termasuk penghentian masuknya bantuan dari organisasi internasional.

Program Pangan Dunia (WFP) dalam pernyataan 11 Agustus lalu menegaskan, tingkat kelaparan dan gizi buruk di Gaza kini berada pada titik terburuk sepanjang sejarah pencatatan.

Lebih dari sepertiga warga tidak makan selama berhari-hari, dan setengah juta orang hidup di ambang kelaparan akut.

Darurat dan krisis pangan total

Menurut data Integrated Food Security Phase Classification (IPC) yang didukung PBB, Gaza menjadi satu-satunya wilayah di dunia di mana seluruh penduduknya berada pada fase darurat atau kelaparan, tanpa ada satu pun titik aman.

Peta sebaran IPC memperlihatkan keruntuhan total sistem ketahanan pangan di seluruh wilayah, menggambarkan mustahilnya mencari perlindungan dari perang yang demikian intens dan brutal.

Secara biologis, kelaparan memicu kerusakan tubuh yang dimulai dari hilangnya energi, pelemahan otot, hingga kegagalan organ vital.

Pada anak-anak—yang menjadi korban terbanyak di Gaza—proses ini berujung pada penyusutan tubuh dan pertumbuhan terhambat.

Kementerian Kesehatan Gaza mencatat, anak-anak menempati posisi tertinggi dalam daftar korban tewas akibat kelaparan.

Di antaranya Razan Abu Zahir (4), yang meninggal karena gizi buruk akut; bayi Yahya al-Najjar; serta Ru’a Mashi (2), yang wafat pada 7 Agustus di RS Nasser, Khan Younis.

WFP melaporkan, pasokan kalori di Gaza kini hanya berkisar 500-700 kalori per orang per hari—jauh di bawah kebutuhan minimal—bahkan lebih rendah daripada beberapa periode kelaparan terburuk dalam sejarah modern.

Monopoli bantuan dan “pintu satu arah”

Setelah menutup perlintasan pada awal Maret dan melarang operasi kemanusiaan selama lebih dari dua bulan, otoritas Israel pada 9 Mei 2025 hanya membuka akses distribusi kepada satu lembaga bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF), yang diketahui dekat dengan pemerintahan Trump dan otoritas Israel.

Organisasi internasional lain tetap dilarang masuk, membuat truk bantuan mereka mengantre di perbatasan Mesir.

Citra satelit menunjukkan ribuan warga berdesak-desakan mengerubungi konvoi bantuan—potret nyata kelaparan massal.

Antrean di Wadi Gaza bahkan memanjang hingga 8 kilometer dari Kamp Nuseirat ke lokasi distribusi.

Namun, distribusi itu pun penuh hambatan. Mekanisme pembukaan lokasi bantuan menjadi semakin acak.

Jam buka diumumkan larut malam atau hanya beberapa menit sebelum dimulai, lalu dipersingkat hingga rata-rata 11 menit sebelum akhirnya ditutup sepenuhnya pada 13 Juli.

Dari antrian ke kuburan massal

Empat titik distribusi bantuan GHF berada di bawah pengawasan penuh pasukan Israel. Lokasi itu berubah menjadi “perangkap maut”, dengan ratusan warga yang kelaparan tewas di sana.

Data menunjukkan lebih dari 1.500 orang terbunuh ketika menunggu bantuan, termasuk pesepak bola legendaris Palestina, Suleiman al-Obeid—dikenal sebagai “Pele Palestina”—yang ditembak mati penembak jitu Israel pada 6 Agustus, saat ia berdiri di antrean panjang menunggu sekarung tepung atau paket makanan.

Gaza kini tidak hanya dikepung oleh tembok dan senjata, tetapi juga oleh kelaparan yang dirancang sistematis.

Di sini, makanan telah berubah menjadi alat pertempuran, dan antrean bantuan menjadi medan kematian.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular