Tekanan dari dalam negeri terhadap pemerintahan Israel untuk segera mengakhiri perang di Gaza terus meningkat.
Gelombang petisi dari kalangan militer dan sipil menyerukan pemulangan para sandera yang ditahan Hamas, bahkan jika hal itu harus dibayar dengan penghentian langsung operasi militer.
Perkembangan terbaru terjadi Kamis lalu, ketika ratusan mantan prajurit dari Brigade Golani—salah satu unit elite Angkatan Darat Israel—menandatangani petisi yang mendesak pemerintah untuk mengakhiri perang dan memulangkan para sandera. Hal ini dilaporkan oleh harian Haaretz.
Petisi tersebut menyatakan dukungan terhadap seruan yang lebih dahulu dikeluarkan oleh para pilot Angkatan Udara Israel pada 9 April lalu.
Mereka secara eksplisit meminta dihentikannya pertempuran dan segera dilakukan pertukaran sandera untuk memulangkan 59 warga Israel yang masih ditahan Hamas, 24 di antaranya diyakini masih hidup.
Elit militer ikut bicara
Petisi itu tidak hanya datang dari kalangan mantan prajurit, tetapi juga ditandatangani oleh sejumlah tokoh senior militer.
Termasuk mantan komandan Brigade Golani seperti Uri Sagi, Ilan Biran, Emmanuel Hart, dan Giora Anbar.
Keikutsertaan mereka dinilai mencerminkan perpecahan yang semakin dalam di dalam tubuh elit militer Israel terkait kelanjutan perang.
Sebelumnya, inisiatif serupa dimulai dari Angkatan Udara Israel, ketika sejumlah pilot cadangan dan pensiunan menandatangani petisi dengan tuntutan yang sama.
Komando militer merespons hal ini dengan tindakan disipliner, termasuk pencabutan status cadangan oleh Kepala Staf Umum IDF Eyal Zamir dan Komandan Angkatan Udara Tomer Bar.
Namun, protes tidak berhenti di situ. Menurut laporan Yedioth Ahronoth, petisi menolak kelanjutan perang menyebar ke sejumlah unit elite militer lainnya, seperti:
- Komando laut Shayetet 13
- Unit siber dan intelijen militer 8200
- Unit operasi khusus
- Korps lapis baja
- Lulusan program elite perwira “Talpiot”
Dukungan sipil yang luas
Gerakan penolakan perang juga meluas ke masyarakat sipil. Lebih dari 3.000 tenaga medis, termasuk peraih Hadiah Nobel, menandatangani petisi serupa yang menuntut penghentian perang dan pemulangan sandera.
Dukungan juga datang dari kalangan seniman dan budayawan. Sekitar 1.700 seniman dan ratusan penulis serta penyair ikut menandatangani petisi yang sama.
Sementara itu, sekitar 300 pilot sipil—setara sepertiga dari jumlah total pilot komersial di Israel—ikut menyuarakan tuntutan agar sandera segera dikembalikan. Meskipun hal itu berarti penghentian perang secara langsung.
Para penandatangan petisi ini berasal dari maskapai-maskapai besar Israel, seperti Arkia, Israir, Challenge Airlines, dan Haifa Airlines, serta dari perusahaan penerbangan swasta lainnya.
Dukungan dari dunia akademik pun terlihat nyata. Sekitar 3.500 akademisi, 3.000 tenaga pendidik, serta 1.000 orang tua siswa menandatangani petisi yang menolak kelanjutan perang dan menuntut pemulangan sandera.
Berikut adalah terjemahan bagian lanjutan artikel dalam gaya penulisan khas Kompas—informatif, berimbang, dan bernuansa analitis:
Perpecahan internal
Gelombang petisi yang menuntut diakhirinya perang di Gaza tidak hanya mencerminkan tekanan publik, tetapi juga mengindikasikan semakin dalamnya perpecahan internal di tubuh kekuasaan Israel.
Para analis sepakat bahwa fenomena ini mencerminkan krisis kepercayaan yang kian parah antara rakyat dan para pemimpinnya.
Kemunculan petisi dari kalangan elite militer dan keamanan, terutama mereka yang berasal dari unit-unit paling prestisius di Israel, dinilai sebagai gejala luar biasa.
Situasi ini jarang terjadi dalam sejarah negara tersebut, menunjukkan adanya keresahan serius atas keberlanjutan perang yang belum memperlihatkan hasil nyata sejak dimulai lebih dari satu setengah tahun lalu.
Para analis menilai bahwa isi petisi-petisi ini memuat pesan implisit mengenai hilangnya kepercayaan terhadap kepemimpinan politik dan militer.
Ketidakpuasan ini semakin mempertegas jurang antara masyarakat dan elite penguasa dalam hal penanganan perang maupun upaya pembebasan sandera.
Tekanan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pun terus menguat.
Banyak kalangan meyakini bahwa satu-satunya jalan yang tersisa adalah melalui negosiasi politik guna mencapai kesepakatan pertukaran sandera.
“Ini bukan pembangkangan, tapi peringatan”
Dalam sebuah artikel di laman Channel 12 Israel, Mayjen (Purn) Yisrael Ziv menyatakan bahwa petisi-petisi tersebut tidak boleh disalahartikan sebagai aksi pembangkangan atau penolakan wajib militer.
Menurutnya, ini adalah ekspresi krisis kepercayaan yang semakin dalam antara rakyat dan para pemimpin politik di Israel.
Ziv, yang pernah menjabat sebagai Komandan Divisi Gaza dan Kepala Operasi IDF, menegaskan bahwa para penandatangan petisi berasal dari kalangan elite militer yang sangat peduli terhadap arah perang.
“Mereka bukan pemberontak, melainkan patriot yang kecewa terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan krisis sandera,” ujarnya.
Ziv secara terang-terangan mengkritik Netanyahu. Ia menuduh sang perdana menteri memanfaatkan sentimen nasional untuk tujuan politik pribadi.
“Masyarakat tidak lagi percaya bahwa Netanyahu benar-benar berniat memulangkan para sandera,” katanya.
Ia juga memperingatkan bahwa kelanjutan perang tanpa tujuan yang jelas berisiko besar melemahkan kekuatan militer Israel secara keseluruhan.
Menurutnya, hal itu juga bertentangan dengan prinsip-prinsip keamanan nasional yang selama ini dijunjung tinggi.
“Diam adalah sebuah pengkhianatan”
Sikap kritis juga muncul dari kalangan medis militer. Dalam artikel berjudul “Ada Saat di Mana Diam Adalah Pengkhianatan, Saya Tak Akan Menarik Tanda Tangan Saya”, Dr. Amir Blumenfeld—dokter sekaligus perwira cadangan IDF—menegaskan komitmennya terhadap petisi penghentian perang.
Blumenfeld menulis bahwa dalam momen-momen genting seperti sekarang, diam atau bersikap netral bukanlah pilihan.
Ia menyebut kegagalan pemerintah memulangkan sandera sebagai tanggung jawab moral yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun yang memiliki nurani dan rasa tanggung jawab.
“Ketidakhadiran di ruang publik dan menyerahkannya kepada mereka yang memilih diam atau mengabaikan, adalah pengkhianatan terhadap prinsip solidaritas sosial yang seharusnya menjadi fondasi etika masyarakat Israel,” tulisnya.
Blumenfeld menekankan bahwa isu sandera tidak seharusnya dipolitisasi sebagai konflik antara kanan dan kiri, melainkan dilihat sebagai komitmen moral dan kewajiban negara terhadap warganya.