Sunday, March 9, 2025
HomeBeritaHaaretz: Israel seperti toko yang hampir bangkrut, tapi terus lakukan ekspansi

Haaretz: Israel seperti toko yang hampir bangkrut, tapi terus lakukan ekspansi

Dalam sebuah artikel tajam yang diterbitkan oleh surat kabar Haaretz, penulis Israel Tasvi Barel menyamakan Israel dengan jaringan supermarket yang runtuh akibat korupsi manajemen, tetapi tetap memperluas cabangnya.

Menurut Barel, perumpamaan ini mencerminkan dilema yang dialami Israel di tengah krisis internal yang semakin parah.

Sementara itu, pemerintah terus menjalankan kebijakan ekspansionisnya di Tepi Barat, serta meningkatkan operasi militernya di Gaza, Lebanon, dan Suriah.

Seolah-olah, situasi negara ini stabil dan tidak menghadapi ancaman eksistensial dari dalam.

Kritik ini muncul di tengah penyelidikan yang sedang berlangsung mengenai kegagalan keamanan Israel dalam serangan 7 Oktober 2023.

Serangan tersebut mengungkap kelemahan besar dalam sistem keamanan dan intelijen Israel, yang menyebabkan salah satu pukulan terberat bagi negara itu sejak berdirinya.

Serangan itu menewaskan dan melukai ratusan warga Israel serta menyebabkan puluhan lainnya disandera oleh perlawanan Palestina.

Penolakan terhadap realitas

Menurut analis urusan Arab dan Timur Tengah di Haaretz, Israel saat ini bertindak seolah-olah tidak ada yang berubah.

Meskipun, dampak dari serangan itu telah mengguncang kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi keamanan.

Meski mengalami kegagalan besar, pemerintah Israel terus mengadopsi kebijakan eskalasi, baik secara militer maupun politik.

Mereka memperluas operasi militernya tanpa menyajikan visi strategis yang jelas untuk mengakhiri perang.

Padahal, perpecahan internal semakin dalam dan protes terhadap kepemimpinan terus meningkat.

Pendekatan ini mirip dengan strategi pemilik toko bangkrut yang terus membuka cabang baru alih-alih memperbaiki masalah mendasar yang menyebabkan kehancurannya.

“Penyelidikan militer terbaru mengungkap tingkat kelalaian dan kecerobohan yang menyebabkan kerugian besar dalam jumlah korban jiwa, termasuk ribuan warga sipil dan tentara yang terbunuh atau terluka, serta berlanjutnya penderitaan para sandera di terowongan Gaza,” kata Barel.

Namun, lanjutnya, pemerintahan saat ini memperlakukan kerugian itu sebagai ‘kerusakan sampingan’ yang tidak bisa dihindari demi membela negara.

“Pemerintah Israel menolak untuk mengizinkan komisi independen menyelidiki perilakunya, yang telah menyebabkan kerugian yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah negara itu,” imbuhnya.

Sebaliknya, katanya, mereka membanggakan ‘pencapaian besar’ mereka, seperti pembunuhan para pemimpin Hizbullah, Hamas, dan pejabat senior Iran.

“Seolah-olah pencapaian ini dapat mengimbangi kerugian yang mereka derita. Padahal, tindakan tersebut melanggar perjanjian internasional yang mereka tandatangani sendiri,” lanjutnya.

Terus lakukan ekspansi.

Barel menjelaskan berbagai kasus di mana Israel memperluas wilayahnya, meskipun belum mampu menyelesaikan krisis internalnya.

Dia memulai dengan Gaza, di mana Israel menghadapi krisis kemanusiaan dan politik yang serius.

Alih-alih mundur dari wilayah tersebut seperti yang dituntut Hamas, Israel justru mempertaruhkan kesepakatan pertukaran sandera demi terus mengontrol Gaza.

Sementara itu, warga pemukiman di sekitar Gaza masih kesulitan untuk kembali ke rumah mereka.

“Seperti perusahaan yang menawarkan diskon besar kepada krediturnya setelah bangkrut, warga Israel kini diminta untuk mempercayai pemimpin yang telah gagal memenuhi janjinya,” kata Barel menggambarkan situasi ini.

Di Lebanon, menurut Barel, situasi tidak lebih baik, meskipun Israel mengklaim telah mencapai kemenangan besar.

Namun, dia menekankan bahwa mempertahankan pendudukan di wilayah tersebut menelan biaya besar bagi negara.

Sementara itu, ribuan pemukim di wilayah utara masih belum bisa kembali ke kehidupan normal mereka dan merasa bahwa keamanan yang dijanjikan belum juga terwujud.

Di Suriah, Israel baru saja “membuka cabang baru” pekan lalu dengan dalih melindungi minoritas Druze dari rezim Islam ekstremis.

Upaya itu sebagai alasan untuk membenarkan kehadiran militer Israel di wilayah baru yang telah mereka duduki di Suriah.

Namun, menurut Barel, ekspansi ini lebih tampak sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari krisis internal, ketimbang strategi keamanan yang matang.

Ia menutup artikelnya dengan menegaskan bahwa kekaisaran-kekaisaran yang lebih besar dan lebih kuat dari Israel telah belajar dari sejarah pahit bahwa kehadiran militer di wilayah pendudukan bukanlah jaminan keamanan.

Justru, menjaga stabilitas dan kekuatan negara sendiri adalah syarat utama bagi kelangsungan eksistensinya.

Namun demikian, Barel menegaskan bahwa pemerintah Israel saat ini tampaknya bertekad untuk membuktikan bahwa teori ini salah.

Sementara itu, rakyat Israel harus menanggung biaya besar dari eksperimen ini.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular