Hamas menyatakan bahwa insiden penembakan terhadap warga sipil yang tengah berebut bantuan di Rafah menjadi bukti nyata kegagalan fatal dari mekanisme distribusi bantuan yang mereka sebut sebagai “mekanisme mencurigakan”.
Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan bahwa sistem bantuan ini justru berubah menjadi jebakan mematikan yang mengancam nyawa warga sipil.
Menurut Hamas, alih-alih meringankan penderitaan rakyat Palestina, mekanisme distribusi telah menjadi alat untuk memperketat kendali keamanan atas Gaza dengan dalih kemanusiaan.
Distribusi itu dijalankan melalui perusahaan keamanan Amerika Serikat (AS) yang didukung militer Israel
“Ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukum kemanusiaan internasional,” tegas pernyataan itu.
Hamas menyebut lokasi-lokasi yang disebut sebagai “titik distribusi aman” di zona-zona penyangga sebagai “koridor kemanusiaan palsu” yang dirancang secara sengaja.
Tujuannya, untuk mempermalukan warga dan mengubah bantuan menjadi alat tekanan politik.
Mereka menilai distribusi bantuan yang dilakukan secara selektif ini merupakan bagian dari rencana sistematis untuk menghapus peran lembaga-lembaga kemanusiaan di bawah naungan PBB dan memperkuat agenda politik serta militer Israel.
Hamas menyerukan kepada masyarakat internasional, PBB, serta negara-negara Arab dan Islam untuk segera mengambil Tindakan.
Tujuannya, guna menghentikan proyek berbahaya ini dan menekan Israel agar membuka kembali semua pintu masuk bantuan resmi.
“Distribusi bantuan harus berada di bawah kendali penuh lembaga-lembaga kemanusiaan internasional yang sah, khususnya UNRWA,” tegas Hamas.
Senada dengan Hamas, Kantor Media Pemerintah di Gaza menyebut apa yang terjadi di Rafah sebagai “pembantaian berdarah” dan “kejahatan perang yang terpenuhi seluruh elemennya.”
Dalam pernyataan resmi, mereka mengungkap bahwa serangan di titik distribusi menyebabkan tiga orang tewas, 46 luka-luka, dan tujuh lainnya hilang.
Pihak berwenang Gaza menegaskan bahwa proyek distribusi bantuan melalui “zona-zona penyangga” tidak hanya gagal.
Tapi juga menjadi bukti bahwa Israel tidak mampu menangani krisis kemanusiaan yang sebenarnya ditimbulkannya sendiri.
Mereka juga menolak keras segala bentuk proyek distribusi bantuan yang berada di bawah kontrol militer Israel, baik itu melalui zona-zona yang mereka sebut “aman” maupun koridor kemanusiaan buatan.
Sejak 2 Maret lalu, Israel terus menutup semua akses bantuan ke Jalur Gaza, mendorong lebih dari 2,4 juta penduduk menuju kelaparan akut.
Menurut PBB, hal ini adalah bentuk “kelaparan yang disengaja” dan bagian dari skenario pemindahan paksa terhadap penduduk, khususnya dari Gaza utara ke selatan.
Distribusi bantuan pun dialihkan ke lembaga bernama Gaza Relief Foundation, sebuah organisasi Amerika-Israel yang tidak diakui PBB, dan dikritik keras oleh berbagai pihak karena hanya membagikan bantuan dalam jumlah sangat terbatas di Gaza selatan.
Tujuannya, menurut Hamas dan otoritas Gaza, adalah memaksa penduduk untuk mengungsi secara massal dari wilayah utara.
Namun rencana ini justru runtuh di bawah tekanan krisis pangan, ketika ribuan warga Gaza yang putus asa menyerbu pusat distribusi bantuan.
Tentara Israel yang panik melepaskan tembakan ke arah kerumunan, menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel, dengan dukungan penuh dari AS, telah melancarkan serangan berskala besar ke Gaza.
Menurut data pemerintah setempat menyebabkan lebih dari 177.000 warga Palestina tewas atau terluka, mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Jumlah orang hilang juga telah melampaui angka 11.000.