Polisi Metropolitan London, Selasa (27/8/2025), mengumumkan telah mengajukan dakwaan terhadap 67 orang yang terlibat dalam aksi protes menentang genosida Israel di Gaza.
Mereka dituduh menunjukkan dukungan terhadap gerakan Action for Palestine (Aksi untuk Palestina), organisasi yang bulan lalu dilarang pemerintah dan dikategorikan sebagai “kelompok teroris”.
Menurut kepolisian, para terdakwa akan menjalani persidangan pada Oktober mendatang. Jika terbukti bersalah, mereka terancam hukuman penjara maksimal 6 bulan.
Sejak pelarangan gerakan itu pada 5 Juli lalu, otoritas Inggris telah menahan lebih dari 700 demonstran yang menuntut dihentikannya perang di Gaza.
Angka itu termasuk 500 orang yang ditangkap hanya dalam satu hari, separuh di antaranya berusia di atas 60 tahun.
Dalam keterangan resminya, Kepolisian London menyebut 64 orang didakwa terkait aksi protes yang digelar di pusat ibu kota pada dua kesempatan bulan lalu.
Sementara itu, tiga orang lainnya menghadapi dakwaan karena ikut serta dalam demonstrasi pada Agustus ini.
Pemerintahan Perdana Menteri Keir Starmer menetapkan Action for Palestine sebagai organisasi terlarang berdasarkan Undang-Undang Antiterorisme 2000.
Keputusan itu diambil setelah sejumlah aktivis kelompok tersebut menyemprotkan cat ke 2 pesawat militer di pangkalan Angkatan Udara Kerajaan (RAF) sebagai bentuk protes atas dukungan Inggris terhadap operasi militer Israel di Gaza.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia mengecam keputusan itu, menyebutnya sebagai bentuk pembatasan kebebasan berekspresi dan langkah yang berlebihan secara hukum.
Kasus ini juga menarik perhatian publik setelah Paul Laverty, penulis skenario ternama asal Skotlandia, ditangkap pada Senin (25/8) karena dituduh memberikan dukungan kepada Action for Palestine dalam sebuah protes di Edinburgh.
Pekan lalu, penulis asal Irlandia Sally Rooney menyatakan akan menyumbangkan royalti dari dua adaptasi serial BBC berdasarkan novelnya untuk mendukung gerakan yang kini dilarang itu.
Langkah represif pemerintah Inggris terjadi di tengah kritik global terhadap perang Israel di Gaza.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel dengan dukungan Amerika Serikat (AS) melancarkan operasi militer yang dinilai sebagai genosida: mencakup pembunuhan, penghancuran infrastruktur, kelaparan sistematis, dan pengusiran paksa warga sipil.
Data terakhir mencatat puluhan ribu korban jiwa, sebagian besar perempuan dan anak-anak, sementara ratusan ribu lainnya hidup dalam kondisi pengungsian dan kelaparan parah. Mahkamah Internasional telah memerintahkan agar operasi tersebut dihentikan, tetapi Israel tetap melanjutkan ofensif militernya.