Prospek tercapainya gencatan senjata di Gaza tampaknya semakin nyata. Semua kini bergantung pada bagaimana pihak Israel dan Palestina menanggapi peta-peta penarikan pasukan terbaru yang diajukan oleh para mediator.
Bahkan, sejumlah media Israel melaporkan bahwa sedang berlangsung perundingan yang belum pernah terjadi sebelumnya: pembicaraan untuk mengakhiri perang.
Di Doha, pembicaraan intensif terus berlanjut untuk menyelesaikan perbedaan pandangan tentang rincian peta tersebut.
Sementara itu, harian Haaretz mengutip sumber yang menyebut bahwa Israel, untuk pertama kalinya, melakukan pembicaraan langsung dengan Hamas tentang kemungkinan mengakhiri perang.
Perkembangan ini juga disusul laporan Yedioth Ahronoth bahwa Israel sedang mempertimbangkan mengirim delegasi tingkat tinggi baru ke ibu kota Qatar guna mempercepat proses negosiasi.
Selama hampir 2 tahun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—yang kini menghadapi tuntutan Mahkamah Pidana Internasional—terus menolak gagasan gencatan senjata sebelum Hamas dilenyapkan secara politik dan militer serta Gaza dijadikan wilayah tanpa senjata.
Namun, perkembangan terbaru menunjukkan adanya perubahan sikap yang signifikan.
Dari peta penarikan pasukan ke mekanisme pertukaran tawanan
Untuk pertama kalinya, pembahasan antara kedua pihak tidak hanya soal wilayah penarikan pasukan, tetapi juga menyangkut skema pertukaran tawanan.
Mediator internasional mengusulkan agar Hamas melepaskan 10 tawanan hidup selama 2 hari pertama masa jeda kemanusiaan.
Menurut Yedioth Ahronoth, percepatan negosiasi sangat tergantung pada kesiapan Hamas menerima “kunci pertukaran” tersebut.
Perubahan arah ini diperkirakan muncul akibat kondisi kelelahan yang dialami Israel dalam perang panjang tanpa arah politik yang jelas.
Rencana mengusir warga Palestina dari Gaza yang sejak awal digaungkan terbukti tak mudah diwujudkan.
Dalam wawancara di program Masar Al-Ahdath, pengamat urusan Israel Dr. Mohannad Mustafa menyatakan bahwa tercapainya gencatan senjata kini tinggal menunggu waktu.
Menurutnya, Netanyahu sudah tidak mampu lagi menjelaskan kepada publik jika negosiasi kembali gagal, apalagi ketika mayoritas ultra-Ortodoks Yahudi (haredi) tetap dibebaskan dari wajib militer.
Yang lebih mendesak: inilah kemungkinan terakhir bagi Israel untuk memulangkan para tawanan dalam keadaan hidup.
Karena itu, publik Israel—yang lelah perang—cenderung siap membayar harga apa pun, bahkan tetap menganggap Netanyahu sebagai pemenang asalkan para tawanan kembali.
Namun demikian, Israel bisa saja memperpanjang proses ini dengan memperumit negosiasi dan menambahkan syarat-syarat baru yang mereka tahu tidak akan diterima oleh Hamas.
Ini dilakukan bukan untuk menggagalkan perjanjian, tetapi sebagai upaya menyelamatkan muka di hadapan dunia yang kian mengecam tindakan Israel dalam memblokade bantuan dan menyebabkan kelaparan massal di Gaza.
Jika peta disetujui, maka perjanjian dekat
Secara praktis, persoalan terbesar dalam negosiasi saat ini adalah isi peta penarikan pasukan Israel.
Namun demikian, isu bantuan kemanusiaan tampaknya mulai menemukan jalannya sendiri, sebab Israel dinilai gagal total dalam mendistribusikannya.
Thomas Warrick, mantan pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS, menilai bahwa komitmen serius terhadap penyelesaian peta adalah alasan utama Presiden AS Donald Trump kembali menyampaikan optimismenya akan adanya kesepakatan dalam waktu dekat.
Meski begitu, tantangan terbesar masih menyangkut masa depan Gaza dan siapa yang akan memerintahnya.
AS dan Israel menolak jika Hamas tetap mendapatkan keuntungan dari distribusi bantuan maupun proses rekonstruksi pasca-perang.
Negosiasi bisa memasuki tahap lebih serius apabila Israel menyetujui peta baru yang mencakup penarikan pasukan dari poros strategis Murag di selatan Gaza.
Di sisi lain, perlawanan Palestina telah menunjukkan fleksibilitas dengan menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan 10 tawanan, delapan di antaranya dibebaskan pada hari pertama.
Menurut analis politik Ahmad Al-Tannani, keputusan ini bukan tanpa risiko, namun menunjukkan komitmen tinggi pihak perlawanan untuk mengurangi penderitaan rakyat Gaza.
Perdebatan mengenai peta tidak hanya terkait wilayah yang akan ditinggalkan pasukan Israel, melainkan juga hak warga untuk kembali ke rumah mereka—meski rumah itu telah hancur—serta jaminan bahwa bantuan dapat diterima secara manusiawi, tanpa disertai ancaman pembunuhan.
Hingga kini, faksi-faksi perlawanan Palestina belum menyetujui peta-peta terbaru sepenuhnya, sebab keputusan akhir tetap berada di tangan sayap militer yang berjuang di lapangan.
Namun bila Israel bersedia menerima usulan peta tersebut, maka jalan menuju perjanjian perdamaian akan terbuka lebar.