Pemerintah Israel berencana mencegah kapal Madleen milik Koalisi Freedom Flotilla (FFC) yang berlayar dari Italia untuk mendekati atau merapat di Jalur Gaza. Kapal tersebut membawa bantuan kemanusiaan dan bertujuan menembus blokade yang diberlakukan Israel atas wilayah tersebut sejak tahun 2007.
Menurut laporan lembaga penyiaran publik Israel, KAN, Tel Aviv awalnya mempertimbangkan untuk mengizinkan kapal tersebut berlabuh di Gaza, asalkan tidak menimbulkan ancaman keamanan. Namun, kebijakan itu dibatalkan karena khawatir akan menciptakan “preseden” yang bisa diikuti oleh kapal-kapal kemanusiaan lain di masa mendatang.
Kapal Madleen meninggalkan Pelabuhan Catania di Pulau Sisilia, Italia Selatan, pada Minggu (2/6/2025), dan diperkirakan akan tiba di perairan Gaza dalam waktu sekitar satu pekan. Namun, risiko intersepsi oleh angkatan laut Israel di perairan internasional dinilai tinggi.
Pertimbangkan penahanan aktivis
Menteri Pertahanan Israel Yisrael Katz dijadwalkan bertemu dengan pejabat militer senior pada Kamis (6/6) untuk memutuskan langkah yang akan diambil terhadap kapal dan para relawannya. KAN menyebut beberapa skenario yang sedang dipertimbangkan, termasuk mencegat kapal dan membiarkannya terombang-ambing di laut, atau mengawalnya ke Pelabuhan Ashdod dan menahan para aktivis di sana.
Di atas kapal Madleen terdapat para sukarelawan dari berbagai negara, termasuk anggota Parlemen Eropa asal Prancis-Palestina, Rima Hassan, dan aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg.
Kapal ini membawa berbagai bantuan kemanusiaan mendesak untuk warga Gaza, seperti susu formula bayi, tepung, beras, popok, pembalut wanita, alat penyuling air, perlengkapan medis, kruk, dan kaki palsu untuk anak-anak.
“Ini adalah aksi damai sebagai bentuk perlawanan sipil. Seluruh awak dan sukarelawan di kapal Madleen telah mendapat pelatihan tentang non-kekerasan,” demikian pernyataan resmi FFC, Senin (3/6).
Misi simbolik melawan blokade
Sebelum keberangkatan kapal, Thunberg menyatakan bahwa pelayaran ini merupakan “misi sipil simbolik” untuk menembus blokade Israel atas Gaza. “Jika masih ada secercah kemanusiaan, kita harus memperjuangkan Palestina. Saya berada di sini karena ini adalah kewajiban moral,” ujarnya.
Pelayaran ini merupakan upaya terbaru dari Koalisi Freedom Flotilla, setelah upaya sebelumnya pada awal Mei lalu gagal akibat serangan drone Israel di perairan internasional terhadap kapal Conscience. Serangan tersebut menyebabkan kebakaran dan kerusakan parah pada lambung kapal, menurut keterangan pihak FFC.
Krisis Kemanusiaan Memburuk
Sejak Oktober 2023, Israel terus melanjutkan operasi militernya di Jalur Gaza, menolak seruan internasional untuk gencatan senjata permanen. Serangan tersebut telah menewaskan lebih dari 54.600 warga Palestina, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Lembaga-lembaga kemanusiaan internasional memperingatkan risiko kelaparan di Gaza yang kini dihuni oleh lebih dari dua juta orang. Akses terhadap bantuan masih sangat terbatas akibat blokade dan pembatasan distribusi.
Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil Palestina di wilayah tersebut.