Friday, May 30, 2025
HomeBeritaIsrael terancam krisis konstitusi akibat gagalnya penunjukan kepala Shin Bet

Israel terancam krisis konstitusi akibat gagalnya penunjukan kepala Shin Bet

Penolakan terhadap penunjukan Mayor Jenderal David Zini sebagai Kepala Badan Keamanan Dalam Negeri Israel (Shin Bet) oleh penasihat hukum pemerintah, Gali Baharav-Miara, telah memicu kekhawatiran akan terjadinya krisis konstitusi di negara tersebut.

Penunjukan tersebut ditolak karena dinilai ilegal, mengingat adanya konflik kepentingan yang melibatkan langsung Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Dalam keterangannya, Baharav-Miara menegaskan bahwa posisi Netanyahu yang terikat dengan sejumlah penyelidikan sensitif yang sedang ditangani Shin Bet membuatnya tak layak secara hukum untuk mengajukan nama calon kepala lembaga tersebut.

Keputusan penolakan ini sejatinya tak mengejutkan analis politik Israel terkemuka, Nadav Eyal.

Dalam kolomnya di harian Yedioth Ahronoth, Eyal bahkan menyebut seluruh episode ini sebagai “drama yang tampaknya telah diskenariokan sebelumnya”.

Ia mempertanyakan, apakah Netanyahu benar-benar berniat menjadikan Zini sebagai kepala Shin Bet, atau justru sengaja menciptakan benturan langsung dengan sistem hukum negara demi memicu krisis konstitusional yang lebih luas.

Langkah politik yang disengaja?

Menurut Eyal, Netanyahu sepenuhnya menyadari bahwa ia berada dalam posisi konflik kepentingan.

Beberapa penyelidikan keamanan yang tengah berlangsung berkaitan dengan orang-orang terdekatnya, termasuk dugaan aliran dana dari Qatar kepada para penasihatnya, seperti juru bicaranya, Yonatan Urich.

Meski demikian, Netanyahu tetap memaksakan nama Zini untuk diajukan, sebuah langkah yang disebut Eyal sebagai “penunjukan yang dipenuhi jebakan”.

Ia menilai bahwa proses penunjukan yang tidak transparan—termasuk wawancara rahasia dengan kandidat tanpa koordinasi resmi dengan militer atau otoritas hukum—menunjukkan adanya upaya sadar untuk menabrak mekanisme hukum.

Eyal menyatakan bahwa proses ini bisa saja diselamatkan jika penunjukan dilakukan oleh menteri lain dalam pemerintahan, bukan oleh Netanyahu langsung.

Namun yang terjadi justru sebaliknya: sang perdana menteri tidak hanya mengajukan sendiri nama Zini, tetapi juga memastikan bahwa seluruh kabinet menyetujui pencalonannya.

“Dengan begitu, gugatan hukum yang diajukan penasihat hukum kini tak hanya ditujukan kepada Netanyahu, melainkan kepada seluruh pemerintahan,” tulis Eyal.

Ia menambahkan bahwa langkah ini telah menempatkan seluruh kabinet dalam posisi melanggar hukum, mengingat Mahkamah Agung Israel sebelumnya telah mengeluarkan putusan yang menyatakan pemecatan kepala Shin Bet sebelumnya, Ronen Bar, sebagai ilegal.

Dengan demikian, penunjukan pengganti oleh pihak yang sama dianggap cacat hukum.

“Pemerintah kini bukan hanya melampaui batas hukum, tapi juga secara terbuka menantang supremasi hukum itu sendiri,” tulis Eyal menutup analisisnya.

Tiga skenario yang menguntungkan Netanyahu

Sementara kalangan politik dan hukum di Israel sibuk menganalisis langkah kontroversial penunjukan kepala Shin Bet.

Analis Nadav Eyal menawarkan 3 kemungkinan motif di balik manuver Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang seluruhnya, meski saling bertolak belakang, dinilai tetap bermuara pada keuntungan politik bagi sang perdana menteri.

Pertama, Netanyahu sejatinya tidak pernah bermaksud menjadikan David Zini sebagai kepala Shin Bet.

Nama itu sengaja dilempar ke publik semata untuk menciptakan krisis, yang kemudian digunakan sebagai alat konfrontasi dengan sistem peradilan.

Kedua, Netanyahu memang ingin Zini memimpin badan intelijen tersebut. Namun ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mencapai itu adalah dengan terlebih dahulu memantik krisis hukum, lalu memaksakan kenyataan baru di lapangan.

Ketiga, dan ini yang paling mengkhawatirkan, Netanyahu secara sadar telah memilih untuk merusak aturan main demokratis.

Ia dinilai ingin membuka jalan menuju sistem pemerintahan yang tak lagi tunduk pada keputusan Mahkamah Agung, dengan ambisi mengubah Israel dari negara hukum menjadi rezim kekuasaan absolut.

Meski kemungkinan ketiga tampak ekstrem, Eyal menilai Netanyahu telah cukup lama menyiapkan landasannya.

Ia meyakini bahwa bukan tak mungkin skenario ini akan benar-benar terjadi jika Netanyahu menilai waktunya telah tiba.

Menurut Eyal, ketegangan antara Netanyahu dan lembaga peradilan dalam dua tahun terakhir tidak sekadar mencerminkan perbedaan tafsir hukum.

Ia menyebutnya sebagai “perang penguras tenaga”, yang pada hakikatnya adalah perebutan arah sistem politik Israel: apakah tetap mengedepankan supremasi hukum, atau beralih ke supremasi kekuasaan.

Langkah-langkah hukum yang ditempuh oleh Penasihat Hukum Pemerintah Gali Baharav-Miara, lanjut Eyal, tidak lagi dapat dibaca sebagai sekadar opini yuridis.

“Pernyataan beliau kemarin, bahwa sistem politik tengah berubah di depan mata kita dan lembaga-lembaga demokratis sedang dilemahkan secara sistematis, bukan slogan kosong. Itu deskripsi yang sangat akurat atas realitas yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun,” tulis Eyal.

Di tengah eskalasi krisis ini, Mahkamah Agung Israel muncul sebagai aktor kunci yang menentukan arah konstitusional negara.

Opsi yang tersedia pun mengandung implikasi politis: jika pengadilan menyetujui penunjukan Zini melalui mekanisme hukum baru, Netanyahu dapat mengklaim kemenangan atas apa yang ia sebut sebagai “negara dalam negara”.

Namun bila Mahkamah menolak penunjukan tersebut sepenuhnya, Netanyahu kemungkinan akan menyulut narasi bahwa lembaga peradilan telah mencederai kehendak rakyat, guna menggalang simpati di kalangan pendukung sayap kanan.

Adapun skenario paling ekstrem adalah ketika Netanyahu memilih untuk tidak mematuhi putusan pengadilan, jika keputusan itu berseberangan dengannya.

Ini akan menempatkan Israel dalam krisis legitimasi konstitusional yang belum pernah terjadi sebelumnya: antara cabang eksekutif yang menolak tunduk pada hukum, dan sistem hukum yang kian kehilangan daya paksa.

Pada akhir analisanya, Eyal menegaskan bahwa Israel kini berdiri di ambang persimpangan konstitusional yang menentukan: apakah masih akan menjadi negara hukum, atau justru berubah menjadi apa yang ia sebut sebagai “negara orang satu”, di mana seluruh institusi dan keputusan dibentuk semata untuk melayani kehendak satu orang—Benjamin Netanyahu.

Apa pun hasil dari babak ini, tulis Eyal, masa depan demokrasi Israel tak akan mampu bertahan lama jika konfrontasi dilanjutkan dengan intensitas seperti saat ini, diiringi pengabaian terhadap hukum, institusi, dan batasan-batasan konstitusional yang menjadi penopang negara demokratis.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular