Monday, October 13, 2025
HomeBeritaJurnalis AS ikut program fellowship yang diduga promosikan narasi Israel

Jurnalis AS ikut program fellowship yang diduga promosikan narasi Israel

Sebuah laporan investigatif yang dirilis Drop Site News mengungkap keterlibatan sejumlah jurnalis senior Amerika Serikat (AS) dalam sebuah program fellowship yang didirikan untuk memperkuat kampanye komunikasi pro-Israel setelah pecahnya perang di Gaza.

Menurut laporan media tersebut, program itu digagas oleh Jackie Karch, seorang jurnalis Amerika yang dikenal luas karena pandangannya yang sejalan dengan narasi resmi Israel.

Ia meluncurkan program tersebut tak lama setelah serangan “Thaufan Al-Aqsha” pada 7 Oktober 2023, dengan tujuan – sebagaimana diklaim – untuk “melawan misinformasi tentang Israel”.

Program ini mendapat dukungan finansial dari Federasi Yahudi Los Angeles.

Program yang kemudian menuai kritik karena dianggap sarat kepentingan politik itu melibatkan sejumlah jurnalis dari media arus utama seperti The New York Times dan CNN.

Karch menyebut bahwa inisiatif tersebut dimaksudkan untuk mendorong “jurnalisme berbasis bukti”.

Namun ia sendiri tidak menunjukkan empati terhadap puluhan ribu korban di Jalur Gaza yang tewas akibat serangan militer Israel, meski bukti-bukti tentang skala kehancuran dan korban sipil telah terdokumentasi secara luas.

Dalam sebuah wawancara dengan Los Angeles Magazine sekitar sepuluh bulan lalu, Karch mengatakan bahwa segalanya berubah baginya setelah 7 Oktober.

“Saya menyadari bahwa ini akan menjadi perang informasi,” katanya.

Ia juga mengutip unggahan Aviva Klompas, mantan penulis pidato di Misi Israel untuk PBB, di platform X pada Oktober 2023.

“Tentara Israel akan menyerang musuh-musuh kita di darat, laut, dan udara. Sementara kita yang lain akan berjuang di medan akademik, hukum, bisnis, dan media—di setiap front yang bisa dibayangkan,” tulis Klompas.

Karch kemudian menimpali unggahan.

“Inilah medan saya. Jurnalisme adalah medan saya, dan saya melakukan apa yang saya bisa,” ujarnya.

Karch dan tragedi rumah sakit Al-Ma’madani

Karch, mengatakan bahwa salah satu peristiwa yang mendorongnya memperkuat pembelaan terhadap Israel adalah serangan terhadap Rumah Sakit Al-Ahli Arab (Al-Ma’madani) di Kota Gaza, hanya sepuluh hari setelah perang dimulai.

Karch menggambarkan dirinya sebagai “jurnalis multimedia” dan telah 6 kali dinominasikan untuk Penghargaan Emmy.

Serangan udara itu menewaskan lebih dari 500 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak yang sedang berlindung di kompleks rumah sakit.

Namun, klaim tanggung jawab atas tragedi itu segera menjadi kontroversi di media Amerika.

Militer Israel membantah terlibat dan menuduh bahwa ledakan tersebut disebabkan oleh “roket nyasar” yang diluncurkan oleh kelompok perlawanan di Gaza.

Beberapa hari kemudian, unit investigasi sumber terbuka Al Jazeera merilis hasil penyelidikan yang menyimpulkan bahwa tentara Israel secara sengaja menyesatkan media dan opini publik dengan narasi palsu.

Analisis teknis mereka menunjukkan bahwa ledakan di rumah sakit itu disebabkan oleh proyektil Israel sendiri.

Karch mengkritik bagaimana media Amerika meliput peristiwa itu. “

Beritanya dilaporkan dengan cara yang salah, dan koreksinya sangat pelan serta tidak terdengar,” ujarnya.

Ia juga menuduh bahwa banyak media “mengambil informasi dari para teroris yang bertanggung jawab atas peristiwa 7 Oktober.”

Fellowship dan “cara meliput antisemitisme”

Menurut laporan Drop Site News, Jackie Karch pertama kali mengajukan ide pendirian sebuah fellowship jurnalistik kepada Federasi Yahudi Los Angeles pada November 2023.

Program yang kemudian ia luncurkan bersama suaminya pada 2025 itu diberi nama “Jackie and Jeff Karch Fellowship for Journalism”.

Dalam pernyataannya, Karch menyebut program tersebut sebagai satu-satunya fellowship di dunia yang didedikasikan secara eksklusif bagi isu-isu yang berkaitan dengan komunitas Yahudi.

Angkatan pertama program ini dijadwalkan dimulai pada Januari 2026 di tiga kota besar AS — Los Angeles, Washington, dan New York.

Sebanyak sepuluh jurnalis akan terlibat dalam pelatihan intensif bersama “para tokoh media terkemuka, akademisi, pembuat kebijakan, dan inovator.”

Topik yang akan dibahas mencakup sejumlah isu yang sensitif dan sarat kepentingan politik, di antaranya “disinformasi tentang Timur Tengah” serta “cara meliput antisemitisme”.

Tema-tema itu menimbulkan kekhawatiran sejumlah pengamat media karena dianggap membuka ruang bagi interpretasi yang bias terhadap kritik atas kebijakan Israel.

Pelatih dengan keterkaitan pada Israel

Program ini disebut menarik 16 peneliti dan jurnalis untuk menjadi pelatih, yang berasal dari berbagai lembaga media, antara lain The Atlantic, Spectrum News, The Spectrum, serta Ynet—portal berita daring milik harian Israel Yedioth Ahronoth—dan The Times of Israel.

Dua nama yang menonjol berasal dari The New York Times. Yang pertama adalah Jodi Rudoren, mantan kepala biro surat kabar itu di Yerusalem yang kini memimpin divisi buletin digitalnya.

Yang kedua, Sharon Otterman, dikenal sebagai reporter yang kerap meliput demonstrasi solidaritas untuk Gaza di kampus Columbia University dan sejumlah universitas lain di AS.

Di antara pelatih lainnya terdapat Van Jones, pembawa acara CNN yang sebelumnya menuai kritik keras karena komentarnya yang dianggap meremehkan foto-foto anak-anak Palestina korban serangan Israel.

Dalam salah satu pernyataannya, Jones menyebut gambar-gambar tersebut sebagai bagian dari “kampanye disinformasi yang didorong oleh Iran dan Qatar.”

Program ini juga melibatkan Michael Powell, penulis di majalah The Atlantic sekaligus mantan reporter The New York Times.

Dalam salah satu artikelnya berjudul “The Double Standards in the World of Human Rights” (Standar Ganda dalam Dunia Hak Asasi Manusia), Powell menuding lembaga-lembaga internasional seperti Amnesty International dan Doctors Without Borders bersikap “terlalu keras mengkritik Israel.”

Jurnalisme dalam pelayanan Israel

Dalam laporan investigatifnya, Drop Site News menelusuri rekam jejak profesional pendiri fellowship, Jackie Karch.

Laporan itu menemukan bahwa selama ini Karch dikenal sebagai salah satu pendukung paling vokal terhadap Israel, baik melalui tulisan maupun pernyataan publiknya.

Dalam salah satu wawancara, Karch—yang pernah duduk di Dewan Direksi Federasi Yahudi Los Angeles selama beberapa tahun—menyatakan keyakinannya terhadap citra moral militer Israel.

“Kisah Israel berakar pada fakta. Jadi, Anda memulai dari posisi yang kuat, karena pada akhirnya, kebenaran adalah bahwa tentara Israel adalah tentara paling bermoral di dunia,” ujarnya.

Ia menggambarkan Hamas dan para anggotanya sebagai ‘monster sejati’, bahkan menyamakan mereka dengan kaum Nazi.

Dalam beberapa kesempatan, Karch juga meragukan keabsahan angka korban yang dirilis Kementerian Kesehatan Gaza.

Padahal, katanya, data tersebut telah diverifikasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan bahkan diakui sebagian oleh militer Israel sendiri.

Selain itu, ia menentang keras gelombang aksi solidaritas dan kamp protes untuk Palestina di kampus-kampus Amerika, serta mengkritik tajam cara liputan media terhadap gerakan tersebut.

Pada akhir 2024, Karch menulis sebuah artikel berjudul “Editorial Bias: College Newspapers Must Stop Marginalizing Jews” (Bias Editorial: Surat Kabar Kampus Harus Berhenti Meminggirkan Kaum Yahudi).

Dalam tulisan itu, ia menuding bahwa jurnalisme mahasiswa di beberapa universitas ternama telah menjadi “lahan subur bagi wacana yang menyingkirkan suara Yahudi dan mendistorsi citra Israel.”

Pernyataannya muncul di tengah fakta bahwa Columbia Spectator, surat kabar mahasiswa Universitas Columbia, justru meraih penghargaan dari Society of Professional Journalists (SPJ) sebagai “Surat Kabar Mahasiswa Terbaik” pada tahun yang sama.

Dalam sebuah wawancara lain, Karch menegaskan bahwa pengaruh media mahasiswa tidak bisa diremehkan.

“Tidak ada yang membuat kebijakan pemerintah hanya karena video TikTok. Namun ketika seseorang membaca laporan investigatif dari The New York Times, saya berani bertaruh sebagian anggota Kongres akan mengutipnya dan menyusunnya menjadi kebijakan. Itulah masalahnya — surat kabar mahasiswa adalah sumber bagi sebagian besar media utama yang menyalurkan bias itu,” katanya.

Pada bagian akhir laporannya, Drop Site News menyimpulkan bahwa Karch dan program fellowship-nya tidak menunjukkan kepedulian apa pun terhadap puluhan ribu warga sipil Palestina yang tewas di Gaza akibat serangan militer Israel.

Di antara korban tersebut terdapat lebih dari 20.000 anak, sementara 95 persen penduduk Gaza terusir dari tempat tinggal mereka.

Laporan itu juga menyoroti kondisi kelaparan yang kian parah serta kehancuran sistematis terhadap infrastruktur sipil—termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, masjid, gereja, dan universitas.

Menurut lembaga-lembaga hak asasi manusia dan PBB, pola serangan dan penghancuran tersebut telah memenuhi unsur kejahatan genosida.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler