Lembaga Penyiaran Israel melaporkan, Minggu (07/12), bahwa sejumlah orang bersenjata yang tergabung dalam milisi berbasis kabilah dan dikenal berseberangan dengan Hamas, mulai menyerahkan diri secara sukarela kepada aparat keamanan Hamas di Jalur Gaza dalam 48 jam terakhir.
Menurut sumber-sumber Palestina yang dikutip media tersebut, gelombang penyerahan diri meningkat tajam sejak Jumat lalu.
Fenomena itu terutama tampak di Rafah dan Khan Younis, wilayah yang selama ini menjadi pusat aktivitas milisi yang disebut-sebut menerima dukungan terbuka dari Israel.
Koresponden Al Jazeera Net turut mengutip pejabat Kementerian Dalam Negeri Gaza yang membenarkan bahwa sejumlah anggota kelompok tersebut telah menyerahkan diri kepada aparat keamanan.
Pejabat itu menegaskan bahwa berkas mereka kini ditangani “sesuai ketentuan hukum”.
Ia juga menyerukan agar mereka yang masih buron segera mengikuti langkah serupa.
“Akhir dari jalan yang mereka tempuh sudah jelas, dan nasib mereka telah ditentukan. Mereka harus kembali ke pangkuan masyarakat sebelum terlambat, meninggalkan tindakan yang merugikan rakyat dan tanah air, dan berhenti melanggar hukum serta nilai-nilai Palestina,” ujarnya.
Situs Quds Press mengutip laporan al-Majd al-Amni—media yang dekat dengan Hamas—bahwa seorang pejabat keamanan perlawanan mengonfirmasi delapan anggota milisi yang didukung Israel telah menyerahkan diri dalam beberapa jam terakhir.
Penyerahan diri itu berlangsung setelah Hamas mengumumkan masa “pertobatan” selama sepuluh hari.
Pejabat tersebut menjelaskan bahwa proses penyerahan terjadi secara sukarela, dipicu komunikasi langsung dari keluarga para buronan, serta didorong oleh para tokoh kabilah yang telah mencabut perlindungan sosial terhadap mereka.
Langkah itu memudahkan mereka menuju otoritas terkait untuk menyelesaikan prosedur rekonsiliasi.
Pengembangan ini muncul setelah pengumuman resmi Hamas pada Jumat lalu yang memberikan tenggat sepuluh hari bagi semua anggota milisi itu untuk menyerahkan diri beserta senjata mereka.
Kementerian Dalam Negeri Gaza menyatakan kepada Al Jazeera bahwa berkas mereka akan diproses dengan mempertimbangkan keringanan hukuman.
Kementerian menegaskan pula bahwa perlindungan yang diberikan Israel kepada “para pengkhianat” tidak akan bertahan lama.
Dalam pernyataan resminya, kementerian menambahkan bahwa Israel gagal memecah belah rakyat Palestina.
Milisi yang dianggap sebagai “kelompok teroris bentukan Israel untuk mengacaukan stabilitas internal” tidak memiliki dukungan sosial dan pada akhirnya “terpukul dan terisolasi hingga menuju kehancurannya sendiri”.
Seorang pemimpin Persatuan Kabilah di Gaza, dalam pernyataan yang disiarkan lembaga penyiaran Israel, mengatakan bahwa pihaknya “sangat prihatin terhadap milisi yang dibiayai Israel”.
Ia menegaskan keyakinannya bahwa kelompok tersebut “akan lenyap meskipun didukung Israel”.
Hal itu karena tujuan mereka—membongkar jaringan terowongan dan memburu pejuang perlawanan—merupakan upaya untuk melakukan tugas yang “bahkan Israel sendiri gagal lakukan selama dua tahun penuh”.
Pekan lalu, Radio Militer Israel mengumumkan bahwa Yasser Abu Syabab—pemimpin kelompok bersenjata itu—tewas ditembak orang tak dikenal di sebelah timur Rafah, Gaza selatan.
Namun, hingga kini, rincian terkait bagaimana dan di mana ia dibunuh masih simpang siur, dengan berbagai laporan kontradiktif yang beredar di media Israel.
Yasser Abu Syabab adalah warga Palestina kelahiran 1990 di Rafah dan berasal dari kabilah Tarabin.
Ia pernah ditahan sebelum 7 Oktober 2023 dengan tuduhan kriminal, dan dibebaskan setelah Israel membom markas aparat keamanan Gaza.
Namanya mulai mencuat setelah Brigade Izzuddin al-Qassam—sayap militer Hamas—menargetkan unit “mista’arivim” (pasukan penyamar) Israel di timur Rafah pada 30 Mei 2025.
Operasi itu mengungkap keberadaan sejumlah agen yang direkrut Israel dan tergabung dalam apa yang oleh perlawanan disebut sebagai “kelompok Yasser Abu Syabab”.


