Tuesday, November 11, 2025
HomeBeritaKesaksian lapangan: Pemukim Israel berupaya bunuh jurnalis di Tepi Barat

Kesaksian lapangan: Pemukim Israel berupaya bunuh jurnalis di Tepi Barat

“Aku berteriak: demi Tuhan, berhenti memukul! Aku akan pergi dari sini, tapi sia-sia—mereka justru makin brutal,” tutur fotografer pers Ranin Sawafteh dari ranjang instalasi gawat darurat di Rumah Sakit Rafidia, Nablus.

Tubuhnya penuh luka memar, tangan kanannya retak, dan helm pelindungnya hancur.

Ia menjadi korban serangan pemukim Israel ketika tengah meliput musim panen zaitun di desa Beita, utara Tepi Barat.

Sawafteh menuturkan bahwa para jurnalis menjadi sasaran utama serangan tersebut. “Mereka ingin membunuh kami,” ujarnya lirih.

Saat itu, warga Beita pergi memanen zaitun di lereng Jabal al-Qamas, ditemani relawan asing.

Tak lama, puluhan pemukim menyerbu dengan tongkat dan batu, langsung mengincar para pewarta dan penduduk.

Karena membawa perlengkapan berat dan mengenakan rompi antipeluru, Sawafteh tidak bisa mundur cepat.

Ia terjatuh di tanah berbatu, dikepung lebih dari lima pemukim yang menghantamnya dengan brutal di bagian tubuh yang tidak terlindungi, terutama tangan kanan tempat ia menggenggam kamera.

“Semakin aku menjerit kesakitan, semakin kuat mereka memukul. Mereka menargetkan kepalaku dan tanganku,” katanya.

Rekaman video dari ruang gawat darurat memperlihatkan luka serius di lengan dan pinggangnya.

Tim medis menemukan tiga tulang retak di siku kanannya dan luka di kepala akibat hantaman batu.

“Rompi pers-lah yang menyelamatkan hidupku dari kematian,” ucapnya pelan.

Selama bertahun-tahun bekerja sebagai jurnalis foto, Sawafteh sudah berkali-kali diserang oleh tentara Israel.

Tertembak peluru tajam dan karet, dipukul, dicekik gas air mata, ditahan, dan dilarang meliput.

“Serangan kali ini adalah yang paling brutal sepanjang hidup saya,” katanya.

Kekerasan tanpa hukuman

Fotografer Nasser Ishtayeh, rekan Sawafteh, juga menjadi korban dalam serangan yang sama.

Ia terkena lemparan batu besar di leher saat merekam kekerasan terhadap Sawafteh.

Batu itu merusak saraf utama dan menyebabkan luka serius di tangan kanannya akibat terjatuh berulang kali saat mencoba melarikan diri.

Ishtayeh mengisahkan kepada Al Jazeera Net bahwa ia tiba di lokasi sekitar pukul 11 pagi untuk meliput kegiatan panen warga dan relawan asing.

“Tiba-tiba, sekitar 30 sampai 40 pemukim datang membawa tongkat dan batu. Mereka langsung menyerang jurnalis dan para relawan,” katanya.

Dalam 33 tahun karier jurnalistik lapangannya—dari intifada pertama hingga hari ini—Ishtayeh sudah puluhan kali diserang pasukan pendudukan, tetapi menurutnya, “yang kali ini paling berbahaya.”

Dua bulan sebelumnya, ia juga diserang di kawasan Lembah Yordan: lensa kameranya dirampas, mobilnya dihancurkan, dan ia dipukuli.

“Kekerasan pemukim jauh lebih berbahaya. Mereka bergerak tanpa hukum dan tanpa bisa dihukum,” ujarnya.

Lebih dari 100 serangan

Selain Sawafteh dan Ishtayeh, korban lainnya termasuk koresponden Al Jazeera Mohammad al-Atrash, fotografer Luay al-Saeed, serta jurnalis foto kantor berita Tiongkok Xinhua, Nael Bouytel.

Menurut Ayman Nubani, fotografer senior sekaligus anggota Serikat Jurnalis Palestina, kekerasan pemukim terhadap jurnalis meningkat tajam sepanjang tahun terakhir.

“Kami menyaksikan upaya pembunuhan terhadap jurnalis. Tak ada satu pihak pun yang mampu melindungi mereka di lapangan,” ujarnya.

Data serikat menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir terjadi sekitar 100 serangan terhadap jurnalis oleh pemukim, dengan peningkatan tajam dalam beberapa bulan terakhir.

Di antaranya, serangan yang menewaskan fotografer Anadolu Agency Issam Rimawi, serta pembakaran mobil milik fotografer Jaafar Ishtayeh untuk mencegahnya meliput.

Nubani menambahkan bahwa serikat bekerja sama dengan Federasi Internasional Jurnalis (IFJ), Federasi Jurnalis Arab, dan lembaga internasional lain untuk mengungkap kekerasan ini dan menekan agar dihentikan.

“Namun, kekerasan terus meningkat. Tidak ada otoritas yang bisa menjamin keselamatan jurnalis Palestina,” tegasnya.

Melarikan diri dari kematian

Koresponden Al Jazeera Mohammad al-Atrash nyaris kehilangan nyawa. Ia mengaku sempat dikepung oleh puluhan pemukim dan hanya bisa menyelamatkan diri dengan melompat ke lembah berbatu.

“Serangan kali ini jauh lebih besar dari yang kami perkirakan. Semua rencana evakuasi darurat gagal total,” ujarnya.

Ia menjelaskan, tim jurnalis sebenarnya sudah berdiri di lokasi yang aman dengan pakaian pers lengkap dan tanda jelas di rompi mereka.

“Tiba-tiba mereka muncul dari berbagai arah, mengepung kami. Aku berada di tengah, mereka di sekeliling. Aku tidak punya pilihan selain melompat ke lembah, sementara batu terus menghujani,” kisahnya.

Dalam pelariannya, al-Atrash mendengar jeritan Sawafteh dan suara seorang pemukim yang berteriak, “Kami sudah membunuh jurnalis itu!”

Saat itulah ia sadar, target mereka memang pembunuhan.

“Video yang beredar hanya berdurasi tiga puluh detik, tapi sebenarnya mereka memukulinya selama lima atau enam menit penuh. Itu bukan serangan spontan—itu niat membunuh,” tegasnya.

Al-Atrash, yang sebelumnya pernah ditahan dan disiksa oleh otoritas Israel di awal perang, yakin bahwa serangan tersebut adalah jebakan yang direncanakan untuk membunuh jurnalis Palestina.

“Kelompok-kelompok pemukim itu dipenuhi kebencian dan dendam terhadap segala yang berbau Palestina, terutama terhadap jurnalis yang menjadi saksi dan pembongkar kejahatan mereka,” katanya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler