Kesepakatan yang terjalin antara Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS dan pemerintah Suriah dipandang sebagai langkah besar yang dapat membawa perubahan signifikan, meski masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi.
Kesepakatan yang ditandatangani pada hari Senin ini bertujuan untuk mengintegrasikan lembaga sipil dan militer yang dikelola oleh SDF dengan negara Suriah yang baru.
Kesepakatan tersebut mengundang perayaan spontan di beberapa kota di Suriah, di mana banyak pihak melihatnya sebagai jalan menuju kesetaraan lebih bagi Kurdi yang selama ini termarjinalkan.
Kesepakatan ini mengakui komponen Kurdi sebagai bagian integral dari negara, dengan hak kewarganegaraan dan hak konstitusional penuh.
Mohammed A. Salih, seorang peneliti senior di Foreign Policy Research Institute, menyebutkan bahwa kesepakatan ini merupakan perkembangan positif, terutama bagi komunitas Kurdi.
Menurutnya, kesepakatan ini menyelesaikan dua masalah besar bagi Kurdi: pemberian kewarganegaraan kepada ratusan ribu orang yang tak memiliki kewarganegaraan sejak 1962 dan memastikan kembalinya mereka yang terpaksa mengungsi perang dengan Turki, seperti di Afrin.
Kesepakatan yang terdiri dari delapan poin ini juga menggarisbawahi hak semua warga Suriah untuk berpartisipasi dalam institusi negara berdasarkan kompetensi, tanpa memandang latar belakang agama atau etnis.
Komandan SDF, Mazloum Abdi, melalui akun X (sebelumnya Twitter) mengatakan bahwa koalisi yang dipimpin Kurdi ini bekerja sama dengan Damaskus untuk memastikan adanya fase transisi yang mencerminkan aspirasi rakyat mereka akan keadilan dan stabilitas.
Abdi menyatakan bahwa ini adalah kesempatan nyata untuk membangun Suriah baru yang dapat merangkul seluruh komponen masyarakat dan menjaga hubungan baik antar tetangga, kemungkinan besar merujuk pada Turki yang selama ini menentang kontrol SDF atas Suriah timur laut.
Langkah bangun Suriah baru
Kesepakatan ini juga mencakup pengintegrasian seluruh entitas yang dikuasai SDF, termasuk pos perbatasan, bandara, serta ladang minyak dan gas, ke dalam institusi negara.
Setelah kejatuhan Bashar al-Assad pada akhir Desember 2024, Kurdi mengambil alih Bandara Internasional Qamishli, meski mereka belum bisa mengoperasikannya.
Kesepakatan ini juga mencakup isu pengembalian dan perlindungan pengungsi internal, mendukung upaya memerangi terorisme, serta menanggulangi ancaman terhadap keamanan dan kesatuan Suriah, serta menolak perpecahan dan ujaran kebencian.
Secara keseluruhan, kesepakatan ini mencatatkan langkah penting menuju pembentukan Suriah yang lebih demokratis dan pluralistik, yang menghormati hak-hak semua komponen masyarakatnya.
Peran mediasi AS
Sumber dari SDF mengungkapkan bahwa kesepakatan ini merupakan hasil dari proses negosiasi yang dimediasi oleh AS.
Dalam pertemuan pertama antara Abdi dan Presiden sementara Suriah, Ahmed al-Sharaa, yang terjadi pada 30 Desember 2024, negosiasi berlangsung selama lebih dari dua bulan sebelum kesepakatan tercapai.
Nadine Maenza, Presiden Sekretariat Kebebasan Beragama Internasional, menilai bahwa kesepakatan ini adalah satu-satunya jalan menuju perdamaian sejati di Suriah. P
ara pemimpin di timur laut Suriah memiliki pengalaman dalam memerintah wilayah yang terdiri dari beragam agama dan etnis, yang merupakan keuntungan besar bagi pemerintahan baru ini.
Meskipun kesepakatan ini dianggap sebagai langkah positif, banyak yang memperingatkan bahwa mengubah kesepakatan luas ini menjadi langkah-langkah konkret yang memuaskan kedua belah pihak akan menjadi perjalanan panjang yang penuh tantangan, terlebih dengan pengaruh eksternal yang kompleks dalam situasi Suriah.
Sumber diplomatik dari beberapa negara Barat, termasuk Prancis dan Inggris, mendukung kesepakatan ini.
Namun, banyak yang menyebutkan bahwa meskipun kesepakatan ini bisa mengarah pada solusi yang lebih berkelanjutan bagi Suriah timur laut, namun detailnya masih menjadi tantangan besar.
Seorang ahli politik Suriah, Mohammad Ibrahim, menyatakan bahwa kesepakatan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat internasional untuk mendukung proses ini dengan memberikan alat dan kondisi yang diperlukan untuk mencapai stabilitas dan kemakmuran yang berkelanjutan di Suriah.
Namun, dengan ketegangan sektarian yang terus melanda, terutama di wilayah pantai Suriah yang mayoritas dihuni komunitas Alawi, upaya untuk mewujudkan perdamaian di Suriah masih jauh dari kata selesai.